Kampungku, Kangean.

Kampungku, Kangean.
info gambar utama

Di sebelah timur Pulau Madura pulau kecil nan eksotis itu berada. Jaraknya sekira 100 KM dari Kabupaten Sumenep. Butuh waktu kurang lebih 12 jam −sebelum ada kapal express bahari− untuk sampai kesana. Namun jarak tempuh yang demikian jauh tak akan berarti ketika sudah menginjakkan kaki di sana. Dengan pulau kecil Mamburit sebagai pintu awal masuk pulau Kangean, hamparan pasir putih siap menyambut siapapun yang datang, seolah menggoda mata untuk sekedar bermain melepas lelah. Nyiur menari-nari sepanjang hari, desir angin bak alunan musik yang mengiringi tarian nyiur itu. Semua dapat dinikmati secara cuma-cuma. Sungguh beruntung saya terlahir dan tumbuh di surga yang kini mulai tak tersembunyi itu.

Pantai Kangean (©instagram: Kangean Travel)
info gambar

Mengapa pulau itu diberi nama "Kangean" tidak ada catatan sejarah yang pasti. Cerita yang berkembang dan masih dipercaya hingga kini bahwa pulau itu pada mulanya merupakan gundukan-gundukan tanah yang timbul tenggelam mengikuti pasang surut air laut. Saat air laut pasang pulau itu tidak tampak dari kejauhan, sebaliknya pulau itu akan muncul atau tampak ke permukaan saat air laut surut. Dari situlah orang tua zaman dulu menyebutnya "kaaengan" −bahasa madura yang artinya terendam air− yang kemudian menjadi "Kangean".

Dahulu Kangean sering disebut paru-paru Madura, hal itu tidak berlebihan mengingat data yang diperoleh dari Kangean.net, Kangean memiliki luas hutan 38.244,10 Ha dari 47.121,20 Ha keseluruhan luas hutan Madura. Meski kini akibat tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab hutan lebat itu sudah mengalami banyak kerusakan, setidaknya masih bisa dibayangkan betapa sejuk dan rindang Kangean di masa lalu. Membayangkan Kangean dengan hutan yang begitu luas, dapat dipahami mengapa ayam bekisar begitu betah tinggal di Kangean, ayam jenis ini yang kelak menjadi ikon Pulau Kangean. Kini, hutan lebat itu hampir tersisa lahan gersang. Maka tak mengherankan jika Ayam bekisar yang selama ini menjadi ikon dari pulau Kangean kini menjadi sangat langka dan sulit dijumpai. Sungguh sangat disayangkan bahwa anak-anak yang lahir di masa mendatang tidak akan pernah tahu betapa merdu suara ayam itu dan betapa cantik warna yang melekat pada bulunya.

Kondisi Hutan Kangean (©Kangean.net)
info gambar

Pada umumnya penduduk Kangean termasuk suku Madura, walaupun terdapat juga pendatang dari Sulawesi Selatan −suku Mandar, Bugis atau Wajo− yang menempati pulau Kangean. Terkait suku ini masih terdapat perdebatan di sana-sini, namun setidaknya begitulah yang diceritakan Bapak Sahwanoedin dalam bukunya "KANGEAN, dari zaman Wilwatikta sampai Republik Indonesia (1350-1950)". Dikatakan bahwa jauh sebelum pendatang dari Sulawesi menginjakkan kaki di Pulau Kangean, suku Madura telah menempati dan mengelola sebagian tanah di Pulau Kangean.

Secara sosial, masyarakat Kangean dapat dikategorikan sebagai masyarakat pedesaan dimana dalam banyak hal selalu mengutamakan gotong royong dan kerjasama, mulai dari kegiatan yang berskala kecil hingga kegiatan yang melibatkan orang banyak. Tingkat kepedulian terhadap sesama warga masih sangat tinggi, dalam masyarakat Kangean dikenal istilah "ta' endi' buje minta' ka tatangghe" yang artinya "tidak punya garam minta ke tetangga". Istilah ini memiliki makna yang cukup mendalam, bahwa bagi masyarakat Kangean tetangga adalah saudara, artinya ketika salah satu warga mengalami kesulitan maka tetangga yang lain akan dengan suka rela membantu. Meskipun dalam beberapa hal masyarakat Kangean terlihat seperti masyarakat transisi bahkan modern, namun setidaknya begitulah salah satu ciri dan karakteristik masyarakat pedesaan yang dikemukakan oleh Talcott Parsons.

Meski masyarakat Kangean tergolong masyarakat pedesaan namun kesadaran akan pentingnya pendidikan lambat laun terus meningkat, hal ini terlihat dari semakin banyaknya masyarakat Kangean yang menuntut ilmu hingga perguruan tinggi di kota-kota besar seperti Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, Banjarmasin dan kota-kota lain. Merujuk data Kecamatan Arjasa Dalam Angka 2016, sedikitnya terdapat 707 lulusan sarjana di Kecamatan Arjasa (salah satu kecamatan di Pulau Kangean). Data tersebut menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan jumlah lulusan sarjana pada tahun 2013 yakni 446. Peningkatan angka tersebut dapat menjadi gambaran betapa masyarakat Kangean saat ini percaya bahwa melalui pendidikan masa depan pulau Kangean akan jauh lebih baik, melalui pendidikan pula diharapkan dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat Kangean.

Meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan tidak terlepas dari arus globalisasi dan modernisasi yang tak lagi dapat dibendung mengalir deras menuju pulau kecil nan cantik itu, menghantam keras sendi-sendi kehidupan masyarakat Kangean. Tuntutan hidup menjadi semakin meningkat, pola hidup perlahan berubah, reifikasi memenuhi isi kepala, masyarakat Kangean seakan telah terjebak dalam perangkap dan buaian modernisasi. Hal ini menyebabkan penduduk Kangean semakin berlomba-lomba mengadu nasib ke kota-kota hingga ke negeri tetangga meninggalkan Kangean dengan segala potensi dan keindahannya. Sebagaimana orang Madura pada umumnya, orang Kangean juga merupakan petualang sejati, hampir di setiap kota di Indonesia orang Kangean dapat dijumpai, bahkan hingga ke negeri tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Tentu tidak ada yang salah dengan semangat yang ditunjukkan masyarakat Kangean dalam mewujudkan mimpi mereka. Namun, yang tidak bisa begitu saja dilupakan bahwa mereka yang berada di perantauan −TKI dan Mahasiswa− seringkali kembali ke Kangean dengan membawa kebudayaan-kebudayaan baru. Sesuatu yang dapat menjadi ancaman bagi masyarakat Kangean apabila tidak disikapi dengan bijak. Meskipun kesadaran masyarakat Kangean akan pentingnya pendidikan telah jauh meningkat, namun ini tidak menjadi jaminan masyarakat Kangean siap terhadap budaya baru yang harus mereka hadapi. Sehingga hal ini membuka kemungkinan masyarakat Kangean mengalami apa yang oleh Littlejohn disebut Culture Shock atau kondisi dimana sesorang merasakan kegelisahan atau ketidaknyamanan psikis dan fisik akibat adanya kontak dengan budaya lain. Maka salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi tantangan yang muncul ialah dengan terus melestarikan kearifan lokal serta mengembangkan potensi yang pulau Kangean miliki.

Pantai Pulau Mamburit (©instagram: KangeanTravel)
info gambar

Sejatinya Pulau Kangean bukan merupakan pulau yang tanpa ciri khas dan tradisi-tradisi unik, bukan pula pulau mati yang tak memiliki potensi untuk berkembang. Namun, hal itu seringkali luput dari perhatian, masyarakat Kangean lebih memilih cara yang menurut mereka lebih instan yaitu dengan merantau dan kembali dengan hasil yang melimpah. Padahal semestinya dengan melestarikan keunikan-keunikan yang ada di Kangean serta memaksimalkan segala potensi yang dimiliki tidak hanya akan memajukan Pulau Kangean namun juga dapat menjadi solusi terkait kesejahteraan sehingga masyarakat tidak harus meninggalkan Kangean, tidak lagi terpisah jauh dari keluarga. Pulau Kangean memiliki potensi wisata yang sangat baik meskipun untuk memaksimalkan potensi tersebut bukan perkara mudah. Namun, dengan usaha, kerja keras, dan sinergisme dari seluruh lapisan masyarakat hal ini juga bukan sesuatu yang mustahil. Terlebih dengan adanya dana desa semakin membuka lebar jalan untuk mewujudkan Kangean yang lebih baik dan mandiri. Perlu diingat bahwa salah satu tujuan dana desa ialah bagaimana pembangunan dapat dimulai dari desa, maka dengan mencintai sekaligus membangun desa (Pulau Kangean) berarti juga mencintai dan turut serta membangun bangsa ini.

Merdeka!!!


Sumber data: Kangean.net Ι Kecamatan Arjasa Dalam Angka

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini