Kapal Besar Jung Jawa, Armada Terbesar Indonesia di Masa Lampau yang Jarang Orang Ketahui

Kapal Besar Jung Jawa, Armada Terbesar Indonesia di Masa Lampau yang Jarang Orang Ketahui
info gambar utama

Sejarah Indonesia terkait dengan lautnya memang tidak akan habisnya. Istilah “nenek moyangku seorang pelaut” semakin mengarah pada kebenaran. Karena pada dasarnya rakyat nusantara dikenal dengan kemampuannya berlayar dan melakukan eksplorasi laut. Bahkan jauh sebelum era Cheng Ho dan Colombus melakukan pelayaran dunia untuk mengeksplorasi bagian-bagian terjauh bumi, penjelajah laut Nusantara telah melakukan pelayaran hingga benua-benua lainnya. Jika melihat catatan perjalanan keagamaan yang ditulis oleh I-Tsing (671-695 M), ia melakukan perjalanan ke India Selatan menggunakan kapal dari Kerajaan Sriwijaya yang pada waktu itu dikenal sebagai penguasa Laut Selatan.

Kapal jung Tionghoa dekat Pulau Sambu pada tahun 1936 | Sumber: maritimeworld.web.id
info gambar

"Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa”. Itulah tulisan dari Diego de Couto dalam bukunya yang berjudul Da Asia yang terbit pada 1645, yang menggambarkan seberapa eksploratifnya masyarakat Jawa di waktu itu.

Salah satu bukti kejayaan dari masyarakat Jawa di masa lampau adalah Kapal Jung Jawa, yang merupakan kapal terbesar dalam sejarah dunia. Nama Jung jika diartikan dalam bahasa Jawa Kuno berarti perahu. Sedangkan khazanah Melayu juga mengartikan Jung sebagai kapal yang hanya dimiliki oleh orang Jawa. Sejarahnya bermula di era 1500-an ketika orang Jawa dikenal menguasai kawasan Asia Tenggara, dengan menguasai jalur rempah-rempah antara Maluku, Jawa, dan Malaka.

Sehingga lambat laun Pelabuhan Malaka menjadi pusat perdagangan pada waktu itu. Pedagang, nahkoda kapal, bahkan tukang kayu memilih untuk menetap di wilayah tersebut. Kemampuan orang Jawa dalam membangun kapal juga menjadi modal untuk terus mengembangkan kapal-kapal besarnya. Bahkan jika melihat relief pada Candi Borobudur tergambar bahwa masyarakat sana telah berhasil membangun perahu bercadik, yang kemudian disebut sebagai Kapal Borobudur.

Puncak kejayaan perkapalan di Jawa adalah ketika orang Jawa berhasil membuat kapal Jung Jawa pada abad ke 8. Kapal ini menjadi perhatian kawasan Asia Tenggara, karena teknologi yang digunakan dalam pembuatan kapal ini cukup unik. Jung Jawa dibangun tanpa menggunakan paku, seperti halnya pembuatan Kapal Borobudur. Kapal ini terdiri dari empat tiang layar dan dinding, yang merupakan gabungan dari empat lapis kayu sehingga tahan akan tembakan meriam dari kapal-kapal Portugis. Berat dari Jung Jawa juga bervariasi, dari kisaran 600 ton hingga 1000 ton seperti yang digunakan oleh Kerajaan Demak dalam peperangan di Malaka tahun 1513.

Ukuran Jung Jawa berdasarkan pada catatan Tome Pires dan Gaspar Correia juga sangat besar. Bahkan Jung Jawa tidak dapat menepi ke daratan karena ukurannya yang begitu besar. Sehingga diperlukan kapal kecil untuk melakukan bongkat muat. Selain itu Jung Jawa menurut Gaspar Correia melebihi besar dari kapal terbesar Portugis pada waktu itu, Kapal Flor de La Mar.

Kapal Flor de La Mar, dikenal memiliki kapasitas 500 orang pasukan dan 50 buah meriam. Data ini jika dibandingkan dengan kapasitas Jong Jawa, akan cukup timpang. Menurut buku “Majapahit Peradaban Maritim”, Jung Jawa memiliki ukuran 4 hingga 5 kali lipat Kapal Flor de La Mar. Jung Jawa memiliki panjang 300-400 meter. Sehingga jika dibandingkan dengan kapal milik Cheng Ho yang hanya memiliki panjang 138 meter, Jung Jawa jauh lebih besar dan setara dengan kapal induk di masa sekarang.

Perbandingan antara Kapal Jung Jawa dengan Kapal Cheng Ho
info gambar

Kehadiran Jung Jawa pada dasarnya berfungsi sebagai kapal dagang dan juga kapal angkut militer. Berdasarkan pada catatan Duarte Barosa, Jung Jawa digunakan untuk melakukan perdagangan dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah. Sedangkan barang dagangan yang dibawa adalah beras, daging sapi, kambing, babi, bawang, senjata tajam, emas, sutra, kamper, hingga kayu gaharu.

Namun keberadaan Jung Jawa tidak banyak diketahui oleh masyarakat banyak. Hal ini disebabkan oleh terjadinya Perang Jawa yang menyebabkan masyarakat tidak lagi bisa memperdagangkan hasil buminya ke berbagai wilayah. Serangan dari berbagai bangsa juga telah terjadi, sehingga pada tahun 1677 VOC mendata bahwa mayoritas masyarakat Jawa sudah tidak memiliki kapal besar lagi. Tepat setelah kekalahannya dengan Portugis dalam penyerbuan Malaka, Kerajaan Jawa lebih memusatkan perhatian pada kekuatan angkatan darat. Beberapa sejarawan kemudian menyimpulkan bahwa Jung Jawa – bahkan budaya maritim Indonesia – tidak lagi berjaya akibat kolonial Belanda dan Portugis. Selain itu gagalnya regenerasi maritim setelah Sultan Agung Mataram akibat sikap anti-perniagaan juga menyebabkan Jung Jawa hanya menjadi cerita lama.

Sumber: suratkabar.id| bombastis.com | maritimeworld.web.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini