Mau Menjadi Mesin, atau Berdiam Diri dan Terus Tertinggal

Mau Menjadi Mesin, atau Berdiam Diri dan Terus Tertinggal
info gambar utama

Beberapa bulan lalu, saya diminta oleh teman saya, seorang pengajar di salah satu perguruan tinggi di Jogja, untuk menggantikannya mengisi kelas Ekonomi Internasional selama satu sesi. Teman saya sendiri akan berada di luar Indonesia selama beberapa hari. Saya tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Yang saya tahu, mahasiswa-mahasiswa yang akan saya ajar, adalah mahasiswa-mahasiswa yang punya kelebihan, karena fakultas mereka adalah salah satu fakultas paling favorit di universitas tersebut. Mereka pun tahu saya dari Good News From Indonesia.

Saya memutuskan, pagi itu akan saya gunakan untuk tanya jawab dan diskusi. Tidak ada pengajaran. Dan benar saja, pertanyaan para mahasiswa meluncur sejak menit pertama . Ada belasan pertanyaan, dan inilah beberapa yang masih saya ingat dengan baik.

T: "Apa benar, Indonesia tertinggal dari negara-negara lain karena kita dijajah Belanda dan mereka dijajah Inggris? Saya rasa itu excuseyang tidak berdasar."

Saya tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.

J: "Ada benarnya. Ketika Inggris menguasai Hongkong, Malaysia, Brunei, Singapura, mereka membangun infrastruktur fisik, jalan, jembatan, gedung-gedung, sekolah, rumah sakit, dan non fisik, seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan publik lain. Mereka juga mengedukasi masyarakat lokal, karena Inggris menganggap mereka sebagai wilayah penting untuk pasar barang-barang produksi inggris, juga untuk pengaruh global. Seperti bahasa, sistem politik, dan lain-lain." Itu jawaban awal saya, dan tentu saya lanjutkan dengan jajahan-jajahan inggris lain yang hingga kini belum juga maju, dan masih cukup jauh tertinggal.

"Belanda, benar-benar menjajah dalam arti menguasai, dan mengambil paksa apa saja yang ada di Indonesia, tanpa punya niat mengembalikannya dalam bentuk layanan pendidikan, dll. Kalaupun ada orang-orang Indonesia yang mengenyam pendidikan, mereka adalah para priyayi, atau kalangan kaya. " Lanjut saya.

T: "Melihat kondisi Indonesia yang seperti ini, rasanya tidak mungkin Indonesia mengejar Singapura dan Malaysia dalam ketertinggalan ekonomi. Bagaimana menurut Anda?" Pertanyaan lain meluncur.

J: (Saya tanyanya, kondisi seperti apa, dan jawabnya adalah terlalu banyak politik di kehidupan bangsa dan negara di Indonesia). "Ada 2 hal yang perlu ditekankan. Indonesia memang belum sempurna, namun dibalik segala tantangan yang anda bilang, ekonomi Indonesia tetap tumbuh, ekspor tumbuh, jumlah wisman naik, devisa naik, perbankan tumbuh, kredit perbankan tumbuh, inflasi terkendali, pasar saham bergairah. Hal-hal yang bahkan orang-orang Eropa dan Amerika pun, dalam kondisi sekarang, tak berani bermimpi tumbuh seperti tumbuhnya Indonesia.

Kedua, kita perlu melihat jernih, Malaysia dan Singapura, adalah 2 negara dengan populasi kecil atau jauh lebih kecil dari Indonesia. Bayangkan penduduk Malaysia adalah sekitar 27 juta, hanya (hampir) sama dengan penduduk Jabodetabekjur, namun mendiami wilayah seluas Pulau Sumatera, dengan kekayaan alamnya yang luar biasa. Membandingkan ekonomi Indonesia dengan Malaysia sangat tidak adil, sama tidak adilnya membandingkan ekonomi Malaysia dengan Singapura.

Sementara Singapura sudah berlenggang kangkung di surga, Indonesia akan sulit mengejar Singapura dalam bidang pendapatan per kapita. Namun Indonesia, dengan pertumbuhan yang lebih cepat dari Malaysia, bisa jadi kita akan dapat melewati per kapita Malaysia ."

T: "Apa gunanya pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan? Non-sense saja!"

J: "Ekonomi Indonesia harus tetap tumbuh, sementara semua pihak, tidak hanya pemerintah, harus membantu memeratakan ekonomi. Wilayah Indonesia yang terpisah-pisah oleh lautan, selain menjadikan bangsa ini begitu kaya akan keragaman budaya, juga menjadi penghambat pemerataan pembangunan. Namun sekali lagi, ekonomi harus terus tumbuh, paling tidak 3x lipat pertumbuhan penduduk. Jangan sampai, sudah tidak merata, gak tumbuh pula."

Otonomi daerah, meski tertatih-tatih, ternyata membawa dampak baik bagi pemerataan. Sekarang, daerah berlomba membangun masing-masing, tidak mau kalah dari daerah lain. Memang belum sempurna, namun arah ke situ sudah mulai terlihat."

T: "Tapi kenapa saya masih pesimis terus ya?"

J: "Pada masa penjajahan Belanda, mungkin hanya segelintir orang yang percaya bahwa suatu saat Indonesia akan memenangkan perang dan menjadi negara merdeka. Pada tahun 1990, berapa orang yang punya pikiran bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara paling demokratis di dunia? Ternyata, orang-orang dengan harapan tinggi dan optimisme besar lah yang mengubah semuanya. Mereka yang memerdekakan Indonesia, dan menurunkan otoriterisme, bekerja bukan untuk mereka sendiri. Mereka bekerja untuk bangsa. Larger than life. Merekalah generasi-generasi terbaik yang pernah kita miliki.

Sekarang, pilihan ada di tangan kalian, mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Mau ikut menjadi mesin dan lokomotif perubahan, bergerak selalu ke depan, atau berdiam diri dan terus tertinggal?"

Ruang kelas yang besar itu tiba-tiba terdiam cukup lama...

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini