Masa Depan Cara Bekerja di Indonesia, Bermula dari Ruang Kerja?

Masa Depan Cara Bekerja di Indonesia, Bermula dari Ruang Kerja?
info gambar utama
Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia yang sangat pesat mendorong berbagai perubahan di beberapa sektor industri. Selain memengaruhi sektor industri pendidikan di Tanah Air, ekonomi digital rupanya juga turut mengubah perilaku industri perkantoran. Perubahan tersebut tampak dari bermunculannya coworking space atau ruang kerja kolaboratif yang mulai menjamur di beberapa kota besar di Indonesia. Tren bermunculannya ruang kerja kolaboratif ini diprediksi akan semakin meningkat pada tahun 2018.

Dikutip dari laporan Cushman Wakefield yang meneliti tentang co-working space di Asia Tenggara pada tahun 2017 terungkap bahwa permintaan coworking space mengalami peningkatan 15 persen. Jumlah tersebut diprediksi akan terus meningkat mengikuti budaya kerja baru yang dilakukan oleh para pengusaha digital, pekerja lepas profesional dan kelas pekerja baru.

Di Indonesia sendiri, coworking space bermunculan meski masih terbatas di kota-kota besar saja seperti Jakarta, Depok, Bandung, Yogjakarta dan Surabaya. Dan di setiap kota, coworking space memiliki karakter dan gaya yang berbeda-beda dalam mengembangkan ekosistem kerja kolaboratif.

Peony Tang, co-founder dari Go-Work seperti dikutip dari Tech In Asia Indonesia, menjelaskan bahwa munculnya coworking space di Indonesia disebabkan oleh teknologi yang membuat lingkungan kerja semakin fleksibel. Ia juga menjelaskan bahwa peluang industri kantor coworking space ini cukup terbuka bila melihat jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) yang aktif di Indonesia jumlahnya cukup besar.

"Saat ini terdapat 60 juta unit UKM di Indonesia. Apabila kita melihat pekermbangannya lalu menarik kesimpulan ada lebih dari 8,9 kepala entepreneur di luar sana dan sepuluh persennya membutuhkan itu berarti terdapat 890.000 pasar (bahkan bisa lebih) yang bisa dibidik pengelola coworking space tanah air," ujar Peony.

Meski peluangnya cukup besar, permasalahan utama dari industri yang baru muncul ini adalah bagaimana pasar bisa mengadopsi. Sebab sejauh ini, perkembangan coworking space di Indonesia masih berkutat pada edukasi pasar. Artinya masih banyak masyarakat di Tanah Air yang belum begitu memahami apa fungsi dari sebuah coworking space. Hal ini juga dijelaskan oleh Sekretaris Umum Coworking Indonesia, Felencia Hutabarat yang mengungkap bahwa masyarakat masih menganggap co-working space sebatas ruang kerja.

“Ketika orang memikirkan co-working space, kebanyakan dari mereka memaknainya sebagai sarana ruang untuk bekerja, bukan sebagai wadah berkolaborasi sebagaimana ditunjukkan oleh imbuhan co- yang terdapat di bagian depan kalimat coworking space,” ujar Felen.

Padahal menurutnya, esensi co-working space sebagai sarana kolaborasi adalah hal yang paling penting untuk dipahami. Sehingga setiap pihak yang berada di coworking space akan bisa mendapatkan manfaat yang lebih besar dari sekadar bekerja di ruangan bersama yang memiliki fasilitas lengkap.

Saat ini di Indonesia, masih belum banyak coworking space yang mampu untuk bertahan sebagai model ruang kerja kolaboratif yang ideal. Beberapa coworking space muncul tetapi sebagian juga turut tenggelam. Sejak konsep co-working space pertama kali diinisiasi oleh Yohan Totting dari Bandung dengan Hackerspacenya, tercatat beberapa coworking space telah menutup operasinya. Misal seperti Coworking Space Comma di Jakarta yang berhenti beroperasi pada tahun 2016 yang lalu. Padahal Comma merupakan salah satu pioner Coworking Space di Jakarta.

Di beberapa kota lain, coworking space agar bisa bertahan, harus melibatkan pemerintah kota. Seperti yang dilakukan oleh Koridor yang berada di Surabaya. Coworking space satu ini diintegrasikan dengan fasilitas mall pelayanan umum milik pemerintah kota Surabaya dan dibuka 24 jam untuk masyarakat.

Coworking Space, Koridor di Surabaya (Foto: facebook.com/humaspemkotsurabaya
info gambar

Di Indonesia sendiri, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pun mendukung berkembangnya model kantor baru ini. Deputi Infrastruktur Bekraf, Hari Santoso Sungkari dikutip dari Tirto.id menjelaskan bahwa co-working space intinya bukan sekadar tentang ruangan kerja. "Coworking space itu arwahnya bukan menyediakan ruangan. Kuncinya adalah menyediakan kegiatan, di mana para start up bertemu dengan mentor,” jelas Hari.

Sementara itu, CEO dan co-founder coworking space ReWork, Vanessa Hendriadi Li menjelaskan pada GNFI November lalu bahwa menurutnya perilaku bekerja masyarakat saat ini memang telah berubah. "Cara kerja orang sekaragn uda beda ya, dulu kan harus datang ke satu tempat, harus ke kantor. Dan kalo kita lihat dari wiraswasta dibandingkan 10 atau 5 tahun lalu sekarang jauh lebih banyak orang yang bisa bisnis sendiri, dan mereka gak harus invest kantor sendiri dan bisa saling membantu." ujarnya.

Vanessa pun menilai di daerah-daerah jika pengusaha-pengusaha kecil ini bisa bergabung dalam suatu komunitas baik di coworking atau semacamnya, meraka akan mendapat banyak ilmu dan pengetahuan dari perusahaan-perusahaan lainnya. Sebab komunitas memang kekuatan utama coworking space.

"Karena jiwanya itu komunitas kalau saya lihat, kalau cuma dari ruang kerja saja, kalau cuma kantor saja, di mana saja bisa. Bahkan di garasi pun juga bisa, tapi karena kekuatan komunitas itu. Komunitas tidak hanya ada di kota besar di Jakarta aja. Itu yang saya lihat bisa ditiru," jelasnya.

Ia pun menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membuat sebuah coworking space selain memperhatikan aspek komunitas. "Karena ini masih terkait dengan bisnis real estate, location masih sangat penting. Dari location itu bisa didefinisikan, lokasinya di sini, kira-kira siapa ya target marketnya? Posisinya bagaimana? Nilai-nilai keunggulanya (coworking space) berasal dari properti, komunitas, dan jaringan," ungkap Vanessa.

Berbicara tentang nilai, Vanessa juga menjelaskan bahwa aspek-aspek itu yang kemudian membuat sebuah jejaring coworking space di Amerika Serikat, WeWork yang mampu meraih nilai valuasi hingga US$ 20 milyar. "Kalau saya lihat bukan hanya dari lokasi atau aset fisik, tapi juga dari data yang mereka kumpulkan. Dari komunitas dan partner yang mereka bentuk. Lalu dari teknologi yang mereka bangun juga. Jadi bisnisnya bukan hanya lokasi, tetapi juga teknologi. Sehingga komunitas bisa jauh lebih pesat dan valuasi bisa muncul dari sana," ungkapnya.

Seiring semakin tumbuhnya ekonomi digital di Indonesia maka akan semakin besar jumlah perusahaan digital yang ada di Indonesia. Maka tren ini tidak menutup kemungkinan akan mampu mendorong permintaan ruang kerja kolaboratif semakin besar. Tantangannya kemudian adalah, bagaimana di setiap daerah mampu untuk membangun komunitas-komunitas yang kolaboratif dalam mengembangkan eksositem kerja yang kondusif. Mampukah Indonesia?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini