Diplomasi Kultural dan Pemuda Indonesia, Wujud Kematangan Generasi Penerus Bangsa

Diplomasi Kultural dan Pemuda Indonesia, Wujud Kematangan Generasi Penerus Bangsa
info gambar utama

Tulisan ini akan saya mulai dengan sebuah berita dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang. Terinspirasi oleh film “Filosofi Kopi” karya Dwimas Sasongko, Olivia Afina dan Kayla Azzahra yang merupakan mahasiswa hubungan internasional di kampus tersebut melakuka upaya diplomasi melalui kopi sebagai media untuk menyampaikan pesan damai di ASEAN. Upaya tersebut dilakukan dengan mengunjungi negara-negara ASEAN dan juga menyalurkan kopi-kopi yang telah dikemas oleh mereka sendiri, dengan pesan-pesan yang tertulis di bungkusnya.

Mereka berdua melakukan ini dengan dasar pemikiran bahwa kopi asli Indonesia belum banyak dikenal oleh masyarakat dunia. Sehingga mereka menggunakan momentum tersebut untuk berbicara mengenai diversitas di ASEAN melalui kopi-kopi tersebut. Terlebih, budaya minum kopi seringkali berhubungan dengan diskusi-diskusi informal, yang mampu menghasilkan ide-ide baru.

Ketika ditanya mengenai keunikan kopi, Olivia menyatakan bahwa “Kopi menjadi unik dengan karakter yang dimilikinya”. Sehingga ketika mereka berdua menyebarkan kopi-kopi khas Indonesia yang telah dibungkus dengan unik, pesan perdamaian ke ASEAN juga tersampaikan. ASEAN juga dipilih oleh keduanya melihat banyaknya masyarakat ASEAN yang pesimis akan apa yang dimilikinya. Perjalanan kedua mahasiswi ini kemudian dikumpulkan menjadi satu video untuk menceritakan perjalanan yang dilakukannya.

Langkah yang diambil oleh kedua mahasiswa tersebut tentu memperluas pandangan kita akan apa yang kita sebut sebagai “diplomasi”. Sebagai salah satu instrumen penting dalam konteks hubungan antar negara, tentu diplomasi menjadi kunci bagi masing-masing negara untuk mencapai target-target yang dikejar.

Memang, selama ini yang terjadi adalah pola diplomasi yang dilakukan hanya dalam sebatas negara. Namun perlu dipahami bahwa diplomasi-diplomasi era tradisional yang cenderung tertutup dan hanya government to government tidak bisa mencakup seluruh kepentingan setiap negara. Aspek-aspek budaya dalam konteks soft politics tentu memerlukan pola-pola diplomasi baru agar tujuan-tujuan dapat tercapai dengan efisien.

Transisi Pola Diplomasi dari Masa Lalu

Sejarah juga telah menunjukkan adanya perubahan pola diplomasi yang dilakukan oleh negara, seperti diplomasi keamanan, diplomasi hak asasi manusia, diplomasi lingkungan, dan diplomasi lainnya. Negara-negara besar di masa lalu mengetahui betul setiap sisi negaranya, sehingga mampu memformulasikan model diplomasi apa yang sekiranya dapat berjalan efektif. Tentunya, pemahaman akan perkembangan jaman menjadi pertimbangan utama dalam menentukannya.

Tiongkok, negara dengan perindustrian yang masif dan juga budaya timur yang begitu ditonjolkan, justru menjadikan binatang panda sebagai kunci dari segala bentuk diplomasinya. Panda Diplomacy pada awalnya dilakukan oleh Tiongkok pada tahun 1941 dengan tujuan untuk berdiplomasi dengan Amerika Serikat. Panda sebagai simbol nasional Tiongkok, digunakan untuk meningkatkan citra dan martabat, karena dengan semakin banyak negara yang menerima panda menunjukkan adanya keberhasilan dalam diplomasi Tiongkok.

Panda, salah satu alat Tiongkok dalam berdiplomasi | Sumber: nowiknow.com
info gambar

Tidak hanya panda, Tiongkok juga menggunakan pingpong ke dalam salah satu bentuk diplomasinya. Diplomasi ini adalah yang pertama kali menggunakan olahraga sebagai instrumennya dalam berkomunikasi dengan negara lain. Diplomasi ini dilakukan denganlatar belakang hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat yang kurang baik pasca Perang Dingin. Di waktu itu, kedua atlet dari negara tersebut bertemu dan saling membantu di ajang kejuaraan tenis meja dunia di Jepang pada tahun 1971. Dengan kejadian tersebut, maka hubungan kedua negara dengan cepat mendingin dan sentimen satu sama lain berkurang.

Diplomasi Pingpong di Nagoya, Jepang | Sumber: img.washingtonpost.com
info gambar

Munculnya aspek-aspek lain yang lebih luas dari konteks pemerintahan, memunculkan pula model-model diplomasi baru yang tentunya menyesuaikan kondisi di masa kini. Salah satu diplomasi yang kini kerap kali digunakan adalah diplomasi publik. Diplomasi ini terbentuk ketika Perang Dunia II telah berakhir, disaat seluruh negara berusaha memperbaiki citranya masing-masing.

Langkah diplomasi publik dianggap cocok, karena dilakukan secara langsung oleh pemerintah terhadap kelompok masyarakat dengan harapan dapat menyebarkan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Sehingga diplomasi ini lebih berkaitan pada output berupa opini publik, yang merupakan pandangan-pandangan subjektif dari masyarakat.

Saat berbicara mengenai diplomasi publik pun, maka pembentukan opini seringkali berhubungan dengan menyalurkan budaya-budaya yang ada. Sehingga lambat laun muncul pula diplomasi budaya yang lebih menggunakan budaya sebagai alat untuk mencapai kepentingan dari negara tersebut. Langkah dari diplomasi budaya sangat ditentukan oleh bagaimana kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing negara.

Korea yang dahulu hanya berkaitan dengan teknologi Samsung dan juga otomotifnya, sekejap berubah dengan menawarkan budaya K-Pop yang menarik minat masyarakat dunia. Karena diplomasi tersebut pada dasarnya dilakukan dengan instrumen budaya seperti musik, tarian, bahkan makanan. Walaupun sejarah diplomasi ini berawal dari kompetisi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat yang begitu hard politics, namun efektivitasnya tidak bisa diragukan di masa sekarang.

K-Pop Culture, Salah satu tren dari Korea | Sumber: allkpop.com
info gambar

Diplomasi ala Indonesia: Diversitas Budaya dan Semangat Pemuda

Dari berbagai pola diplomasi yang terjadi di dunia, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah pola diplomasi apakah yang paling tepat digunakan oleh Indonesia?

Jika melihat Indonesia sendiri, terdapat dua potensi utama yang perlu dipertimbangkan yaitu budaya dan pemuda. Tampaknya tidak perlu diperdebatkan bahwa budaya Indonesia tidak kurang-kurang. 17.000 pulau telah menjadikan Indonesia kaya akan bahasa, tarian, makanan, dan aspek kultural lainnya. Setiap daerah membawa karakternya masing-masing, hingga dikenal dengan diversitasnya. Pemudanya pun potensial dengan jumlahya yang optimal, hingga disebut sebagai bonus demografi.

Salah satu tarian dari Indonesia | Sumber: squarespace.com
info gambar

Kedua hal tersebut lah yang seharusnya menjadi fokus bagi Indonesia di masa sekarang. Pemberdayaan pemuda dan budaya adalah langkah tepat untuk menciptakan citra yang baik di dunia. Ketika pemerintah gencar-gencarnya meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam sektor militer yang cenderung high politics, tampaknya kedua aspek yang telah disebutkan di atas juga harus dioptimalkan. Hal ini penting mengingat budaya dan pemuda akan menggambarkan apakah negara tersebut memiliki generasi penerus dan fondasi budaya yang kuat atau tidak.

Apakah pemerintah acuh dalam upaya diplomasi budaya dan pemuda? Tidak juga. Selama ini, pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Luar Negeri telah banyak mengadakan acara-acara kultural yang selalu diintegrasikan dengan pendidikan dan pemuda. Hal ini dilakukan untuk mengkultivasi kedua sektor tersebut agar terus berkembang. Salah satu program andalan dari Kementerian Luar Negeri adalah Program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI) yang ditawarkan pada pemuda-pemuda dari Indonesia maupun negara sahabat.

Penerima Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia mencoba salah satu tarian | Sumber: beritadaerah.co.id
info gambar

Sesuai dengan namanya, beasiswa ini menawarkan kesempatan bagi para pemuda untuk mempelajari seni dan budaya yang ada di Indonesia. Program beasiswa ini sudah berlangsung sejak 2003, dan terus dikembangkan seiring dengan komitmen Indonesia untuk terus mengembangkan kerja sama dalam aspek soft poitics antara Indonesia dengan negara-negara lainnya.

Selain itu, BSBI juga dilaksanakan untuk menciptakan pemahaman yang lebih dalam terkait diversitas budaya di Indonesia. Sehingga dalam jangka panjang program beasiswa ini akan menjadi sarana untuk berdiplomasi antar negara peserta.

Berbagai proyek internasional baik itu pemerintah maupun non-pemerintah, telah memperluas pemahaman bahwa siapapun kini bisa menjadi diplomat bagi negaranya. Jika dahulu orang-orang yang menjadi penghubung negara hanyalah para diplomat karier, kini dengan adanya kemajuan teknologi informasi, keterhubungan, dan globalisasi maka setiap orang mengemban peran sebagai diplomat ketika berhubungan dengan negara luar.

Sehingga menjadi penting untuk setiap pemuda agar terus mengembangkan wawasan budaya Indonesia, kemampuan komunikasi, dan juga keterbukaan terhadap globalisasi yang seringkali disebut “tidak terhindarkan”

Sumber:

Mayumi Itoh "The Origin of Ping-Pong Diplomacy: The Forgotten Architect of Sino-U.S. Rapprochement."

Ienaga Masaki "The Dawn of “Panda Diplomacy” and the Nationalist Regime, 1928–1949."

Carnes Lord "The Past and Future of Public Diplomacy."

Samendra Lal Roy "Diplomacy"

https://www.umm.ac.id/en/berita/dua-dara-cantik-umm-usung-misi-perdamaian-asean-melalui-diplomasi-kopi.html

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini