Indonesia Cetak Sejarah Baru dalam Upaya Pemberantasan Terorisme

Indonesia Cetak Sejarah Baru dalam Upaya Pemberantasan Terorisme
info gambar utama

Pada Senin hingga Rabu, 26 – 28 Februari 2018 diadakan pertemuan antara eks narapidana dan korban kasus terorisme yang pernah terjadi di Indonesia. Pertemuan yang berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta dihadiri oleh lebih dari 120 narapidana serta sekitar 50 orang korban berbagai kasus terorisme mulai dari kasus bom Bali 2002, Poso, Ritz Carlton, JW Marriot, hingga Bom Kampung Melayu di Jakarta. Selama tiga hari, para narapidana dan korban diajak untuk melakukan rekonsiliasi melalui berbagai kegiatan seperti diskusi, dialog dan tatap muka.

Pertemuan antara narapidana dan korban kasus terorisme ini adalah untuk yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia, dan bahkan bisa dikatakan bahwa jenis pertemuan seperti ini adalah yang pertama kalinya dilakukan di dunia. Harus kita akui, bahwa upaya pemerintah Indonesia, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) untuk menekan keras permasalahan terorisme di negeri ini merupakan sebuah terobosan yang luar biasa.

Para penyintas aksi terorisme di Hotel Borobudur, Jakarta (tirto.id)
info gambar

Selama ini, pemberantasan terorisme di Indonesia dilakukan melalui cara hard power (pendekatan keras). Dengan cara ini, pemerintah melakukan pencarian, penangkapan hingga penindakan pelaku terorisme. Dalam upaya tersebut, Indonesia telah dikenal duia sebagai salah satu negara yang paling berhasil dalam memberantas terorisme. Meski demikian, pemberantasan terorisme ini tidak berjalan selaras dengan bagaimana memulihkan trauma korban kasus terorisme tersebut.

Kali ini, terobosan yang dilakukan merupakan salah satu cara yang mencakup kedua tujuan tersebut : pemberantasan terorisme dan pemulihan trauma para korban. Cara ini dikenal sebagai pendekatan lunak (soft power), yaitu kegiatan – kegiatan yang bertujuan untuk deradikalisasi. Rekonsiliasi dilakukan dengan cara mempertemukan pelaku dan korban, serta berlanjut pada kegiatan – kegiatan yang bisa membantu bagaimana pelaku dan korban bisa berdamai. Lewat rekonsiliasi, pelaku akan disadarkan tentang betapa berbahaya dan mengerikannya kejahatan yang telah dilakukan, sementara pihak korban diharapkan agar bisa memberikan maaf pada para pelaku sehingga tidak ada dendam berkepanjangan antara pihak korban dan pelaku terorisme.

Terlihat sederhana, memang. Namun tidak bisa dianggap sebelah mata bahwa proses rekonsiliasi antara pelaku dan korban kejahatan terorisme bukanlah sesuatu yang gampang untuk dilakukan. mengundang para narapidana terorisme untuk duduk bersama korban dari kejahatan yang dilakukan bukanlah hal yang gampang, sebab trauma yang timbul dari terorisme adalah sesuatu yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Luka mendalam dan kepahitan dari korban, apalagi mereka diharuskan untuk duduk bersama dengan para pelaku kejahatan tersebut untuk saling berdamai membutuhkan ketegaran serta sikap besar hati. Karena itu, tidak mengherankan bahwa jumlah peserta rekonsiliasi tersebut tidaklah mencapai target yang diinginkan.

Korban Bom Ritz Carlton, Juli 2009 (bbc.com)
info gambar

Komjen Suhardi Alius, Kepala BNPT menyampaikan bahwa undangan ini disebar kepada lebih dari 1.000 orang, namun kehadiran para peserta hanyalah sepersepuluh dari target. “Ini sifatnya sukarela. Kami bisa memahami karena ‎tidak semua orang bisa begitu cepat menghilangan trauma masa lalunya. Mungkin masih ada yang menyimpan dendam," ujar Alius seperti dilansir dari beritasatu.com. Meski demikian, langkah awal rekonsiliasi antara narapidana dan korban terorisme ini memberikan angin segar bagi upaya pemerintah memberantas terorisme melalui pendekatan lunak.

Ke depan, acara pertemuan rekonsiliasi seperti ini akan terus dilakukan, mengingat efek yang ditimbulkan dari acara ini cukup besar dan berpengaruh secara luar biasa. para eks napi terorisme yang telah mengikuti acara ini diharapkan agar data meyakinkan keluarga, kolega dan orang – orang terdekatnya agar tidak terlibat dalam penyebarluasan tindakan radikalisme. Dari sisi korban, pemaafan yang diberikan tidak hanya menjadi penolong bagi upaya perdamaian antara kedua belah pihak namun juga sebagai sarana untuk menyembuhkan luka dan trauma yang dialami korban itu sendiri. Dengan saling menerima dan memberi maaf, tindakan tersebut akan memicu munculnya perdamaian dan bisa menekan upaya – upaya radikalisme teroris di masa yang akan datang.


Sumber: BBC Indonesia || Berita Satu

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini