Sensasi Menyantap Sambal Tumpang Khas Salatiga sejak dari Dapurnya

Sensasi Menyantap Sambal Tumpang Khas Salatiga sejak dari Dapurnya
info gambar utama

Waktu masih menunjukkan pukul 04.00 dini hari ketika Mbah Lasmi mulai berkutat di dapur yang terletak di Jalan Argosari Tetep Argomulyo ini. Sekitar pukul 06.00 WIB, warung ini sudah mulai terlihat ramai dipadati oleh pembeli yang sangat menggemari Bubur Tumpang buatan Mbah Lasmi. “Biasanya dalam satu hari saya menghabiskan beras sebanyak 5 kilogram, yang saya olah menjadi nasi maupun bubur,” ujarnya dalam logat bahasa Jawa yang kental. “Kadang semuanya habis terjual, tetapi pernah sisa juga meskipun hanya sedikit,” lanjutnya.

Banyaknya pembeli yang datang tentu tidak sebanding dengan luas dapur yang juga merangkap sebagai tempat makan tersebut, sehingga banyak pembeli yang makan di luar bangunan maupun berjongkok di dekat kompor kayu sembari menghangatkan badan. Meski demikian, mereka tetap menjadi pelanggan setia karena bubur yang dijual dengan harga 5.000 rupiah ini selalu terasa enak dan tidak berubah dari waktu ke waktu.

Seperti Daniel, yang sudah menjadi pelanggan sejak puluhan tahun yang lalu. “Saya langganan sudah lama, sudah dari puluhan tahun yang lalu. Menurut saya, bubur tumpang ini enak dan rasanya tetap sama,” tuturnya. “Dulu pertama kali beli belum menjadi di warung seperti ini, hanya ada meja panjang untuk menata dagangan,” ujarnya sambil melahap bubur tumpang yang baru saja dihidangkan.

Pembeli sedang membuat teh hangat untuk dirinya sendiri
info gambar

“Sudah dua puluh tahun lebih saya berjualan disini. Awalnya memang hanya meja biasa. Tapi setelah mengumpulkan uang, saya membuat warung sekaligus dapur untuk memasak, supaya saya tidak bolak balik dari rumah,” tutur Mbah Lasmi sambil melayani pembeli. Pukul 06.00 hingga 08.00 WIB adalah “jam sibuk” bagi Mbah Lasmi. Saking banyaknya pembeli yang datang, Mbah Lasmi hanya dapat menyajikan bubur atau nasi tumpang saja. Jika pembeli ingin minum teh, pembeli harus membuat sendiri dengan mencampur gula dan teh yang sudah disediakan di atas amben.

Meskipun harus membuat sendiri, tetapi pembeli tidak pernah keberatan. Justru hal ini menjadi sarana untuk membangun keakraban antara Mbah Lasmi dengan pembeli. Saking akrabnya, kadang Mbah Lasmi meminta pembeli yang sedang berada di dekat tungku untuk membolak balik rolade yang sedang digorengnya. Tidak ada pembeli yang keberatan jika dimintai bantuan oleh Mbah Lasmi. “Sudah biasa kalau dimintai tolong Mbah Lasmi, kan memang Mbah Lasmi selalu sibuk, jadi saya bantu daripada roladenya gosong,” ucap salah seorang pembeli yang kala itu diminta tolong meniriskan rolade sambil menggoda Mbah Lasmi yang masih sibuk melayani pembeli.

Rolade yang dijual seribu tiga itu memang termasuk salah satu primadona di warung tersebut. Banyak pembeli yang antre menunggu rolade matang. Kadang, rolade panas yang baru saja ditiriskan pun sudah langsung habis diserbu pembeli. Lagi-lagi pembeli mengambil sendiri, sambil adu cepat dengan pembeli lainnya. Ketika ditanya resepnya, Mbah Lasmi hanya tertawa, “Kalau saya tidak ada resep khusus, yang penting goreng saja,”. Mbah Lasmi memang tidak pernah secara khusus belajar memasak, ia hanya melanjutkan bakat Ibunya, yang dulu juga menjadi penjual bubur tumpang di daerah Senjoyo, kampung kelahirannya.

Rolade, salah satu primadona di warung Mbah Lasmi
info gambar

Begitu juga dengan bahan-bahannya, tidak ada bahan khusus yang membuat bubur tumpangnya terasa enak. “Semua bahan sudah ada yang mengantar, dari tahu hingga daun ketela sudah diantar kesini. Sudah langganan juga. Kayu pun begitu, setiap satu bulan sekali diantar kesini,” katanya.

Jika diperhatikan dari luar, warung ini memang jauh dari kesan mewah. Dindingnya menghitam karena setiap hari terkena asap masakan. Kuali-kuali juga dibiarkan berada di tempat tersebut. Kayu-kayu pun terlihat berserakan di dekat tungku. Bahkan jika berlama-lama di dalam, badan juga dapat bau asap masakan. Tetapi karena kelezatannya, pembeli tidak pernah peduli akan hal tersebut, “Justru makan disini ini malah seperti sedang makan dirumah, minum buat sendiri, rolade goreng sendiri,” ujar Bagyo yang tinggal di daerah Argomulyo.

Dapur sekaligus warung Mbah Lasmi
info gambar

Karena tempat yang sederhana itulah, Mbah Lasmi pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan. “Dulu ada yang meremehkan saya karena warung saya tidak bersih seperti di tempat makan mahal, tetapi saya tidak menanggapi karena masih banyak yang mau makan disini, termasuk Pak Wali, Bapak Walikota juga sering makan disini,” ujar Mbah Lasmi sambil tersenyum bangga.

Warungnya memang sederhana, semua serba dikerjakan sendiri, tapi setelah merasakan bubur tumpangnya, pasti pembeli akan kembali lagi karena rasa lezatnya yang ngangeni. Bahkan, banyak warga Salatiga yang kini tinggal di luar kota, yang sering merasa kangen dengan masakan Mbah Lasmi “Saudara saya tinggal di Jakarta, kalau saya kesana pasti disuruh membawakan sayur tumpang Mbah Lasmi. Di Jakarta tidak ada bubur tumpang yang seenak disini,” kata Hartono. Demikian juga Pipit, yang sudah langganan dari kecil, “Saya kalau pulang selalu makan bubur tumpang di Mbah Lasmi, sekalian nostalgia dengan kenangan masa kecil,” katanya.

“Yang penting saya sehat, bisa terus memasak, bisa terus mencari tambahan untuk hidup sehari-hari. Warung saya biar seperti ini saja,” ujar Mbah Lasmi ketika ditanya apakah akan memperluas dan memperbaiki warung tersebut. Mbah Lasmi memang sederhana, tapi bubur tumpangnya sangat luar biasa. Jadi, kapan Pembaca akan mampir?


Sumber: elyawulanjari

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini