Kenalkan, Baramang Sang Dokter Kakao

Kenalkan, Baramang Sang Dokter Kakao
info gambar utama

Namanya Baramang. Seorang petani kakao berusia 42 tahun dari Desa Saluparemang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Ia termasuk petani sukses dan berprestasi sehingga ditunjuk mewakili petani kakao se-Indonesia dalam Jakarta Food Security Summit (JFFS) 2018, di Jakarta Convention Center, 8-9 Maret 2018.

Cerita sukses Baramang memang tak biasa. Tak hanya untuk dirinya, Ia juga banyak membantu petani kakao lainnya, dalam perannya sebagai Cocoa Doctor. Sebuah program pendampingan petani yang diinisiasi oleh PT Mars Indonesia.

Baramang mampu bangkit dari keterpurukan, ketika produktivitas kakao menurun karena serangan hama PBK. Dan kemudian mengajak ratusan petani kakao lainnya untuk mencapai hasil yang sama.

Baramang, petani kakao dari Desa Saluparemang Selatan, Kamanre, Kabupaten Luwu, Sulsel. Berkat ketekunan, ia mampu bangkit dari keterpurukan produktivitas lahannya. Dari 400 kg per hektar menjadi 1,7 ton kering | Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.
info gambar

Baramang merupakan generasi kedua petani kakao di keluarganya, dengan kebun seluas 1,35 hektar warisan almarhum ayahnya yang meninggal pada 1999.

Ia teringat ketika masa jaya kakao di mana sekitar 81 petani kakao di desanya berangkat ke tanah suci, termasuk kedua orang tuanya.

“Dulu kakao sempat jaya, satu hektar bisa menghasilkan dua ton tanpa perlakuan apa-apa. Di saat yang sama harga juga sedang bagus-bagusnya. Tiba-tiba petani kakao menjadi kaya raya dan bisa naik haji bersamaan satu kampung,” katanya ketika ditemui Mongabay, Rabu (7/3/2018).

Kondisi itu tak berlangsung lama. Hama PBK mulai muncul beberapa waktu kemudian dan menggerogoti lahan petani sedikit demi sedikit. Lahan yang dulunya bisa menghasilkan 2 ton kakao per tahun kini hanya bisa sampai 400 kg saja. Banyak petani yang frustrasi dan mulai meninggalkan lahannya. Banyak petani mengonversi lahannya untuk komoditas pertanian lain yang dianggap menjanjikan. Di tengah kondisi ini, Baramang tetap bertahan sambil mencari cara mengatasi masalah tersebut.

Baramang mewakili petani kakao lain se-Indonesia mengikuti Jakarta Food Security Summit (JFFS) 2018, di Jakarta Convention Center, 8-9 Maret 2018. Ia berkesempatan menjelaskan beragam kondisi dan masalah yang dihadapi kakao kepada Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman | Foto: Moh. Khomeiny/MARS Indonesia.
info gambar

Kebangkitan Kakao

Harapan mulai muncul ketika adanya intervensi pemerintah dengan adanya sebuah Sekolah Lapang, melalui program Gernas Kakao. Program pemerintah didukung PT.Mars memberi pengetahuan baru budidaya kakao agar bisa lebih bersih dari serangan penyakit. Sejak saat itu, perlahan budidaya kakao pulih, produksi mulai meningkat kembali.

“Cuma memang saat itu, tak seperti sekarang, petani tak didampingi secara intens. Hanya sekadar diberi pengetahuan dan petani sendiri yang akan mengembangkan pengetahuannya di lapangan. Termasuk melakukan peremajaan, sambung samping dan sebagainya,” jelasnya.

Pada tahun 2015, Baramang mengikuti pelatihan Cocoa Doctor, di mana Ia mendapat banyak pengetahuan baru, termasuk budi daya, pemasaran dan penyuluhan. Namun yang paling berkesan baginya adalah teknik penyuluhan; tentang bagaimana berhadapan dengan petani lain berbagi pengetahuan tentang budidaya kakao.

“Ini hal baru bagi saya, karena mengubah kebiasaan dan perilaku petani itu ternyata susah. Butuh metode dan pengetahuan tertentu. Harus ada contoh yang ditunjukkan kepada mereka. Sebelum mengajari petani lain, diri pribadi dulu yang harus diperbaiki,” ujarnya.

Dari pelatihan, Baramang mendapat pengetahuan baru terkait agribisnis secara mandiri, membuat pembibitan kakao dan toko penjualan saprodi, khususnya pengadaan pupuk yang dianjurkan.

Sukses sebagai petani, Baramang tidak abai pada lingkungan sekitarnya. Ia kemudian aktif sebagai Cocoa Doctor, sebuah program pendampingan yang diinisiasi oleh PT Mars Sybioscience. Melalui program ini Baramang mampu membina sekitar 300 petani lain, baik dari desanya ataupun desa lain | Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.
info gambar

Meski penuh tantangan, sebagai Cocoa Doctor, Baramang mampu mendampingi sekitar 300 petani, baik dari desanya ataupun desa-desa tetangga. Proses mengajak petani lain lebih mudah karena ia memberi contoh langsung di lapangan melalui lahan percontohan wow farm! miliknya.

Karena ketekunan dan keinginan belajar yang besar, ia sukses meningkatkan produksi dari lahannya yang menghasilkan 2,1 ton/tahun kakao kering senilai sekitar Rp73 juta.

Sedangkan omzet pembibitan, sebesar Rp200 juta/tahun dari sekitar 50 ribu bibit, yang dijual Rp3.500 – Rp5.000/bibit. Belum lagi dari hasil penjualan pupuk.

Kelompok tani binaannya, Buah Harapan yang dibentuk 2007 juga cukup sukses dan kerap mendapat penghargaan. Kelompok yang diketuainya ini beranggotakan 41 orang, dari umumnya beranggotakan 20-25 petani per kelompok.

“Bahkan masih banyak yang mau masuk sebagai anggota kelompok namun kami terpaksa batasi. Rencananya akan dibentuk kelompok baru, sehingga anggota kelompok bisa terbagi secara merata,” katanya.

Ia juga didapuk sebagai Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Padaidi, yang beranggotakan 14 kelompok tani. Perannya di Gapoktan ini juga memberinya sejumlah penghargaan dari pemerintah.

Petani kakao di Luwu Raya dan Kolaka Utara, Sulsel, kini kembali merasakan masa jaya kakao. Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Mars dihasilkan sejumlah klon dengan produktivitas yang tinggi, tahan hama penyakit dan memiliki kadar lemak yang tinggi | Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
info gambar

Tantangan Kakao

Menurut Baramang, petani kakao saat ini memiliki banyak tantangan dan sangat berdampak pada produktivitas mereka. Salah satunya adalah kelangkaan pupuk, yang berdampak pada harga yang cukup mahal di tingkat petani.

“Perlu ada perhatian dari pemerintah untuk menyediakan pupuk yang sesuai untuk kakao dan juga adanya subsidi untuk petani,” katanya.

Tantangan lain adalah akses atas permodalan yang sulit, khususnya dari perbankan, karena siklus panen yang tidak tetap sehingga perbankan melihatnya berisiko tinggi jika tanpa ada lembaga penjamin. Ini berbeda dengan petani sawah yang memiliki siklus panen jelas per empat atau enam bulan.

“Mereka selalu minta adanya lembaga atau pihak penjamin. Ini yang sulit dipenuhi oleh petani.”

Masih terkait permodalan, tantangan lain bagi petani kakao karena proses produksi yang tidak bisa dilakukan segera, apalagi yang melakukan replantingatau peremajaan. Butuh waktu sekitar tiga tahun untuk produksi, sementara jika mengandalkan perbankan harus dibayar segera tanpa penundaan pembayaran.

“Kita berharap adanya perhatian dari perbankan dengan lebih memudahkan petani dalam mengakses permodalan, termasuk dalam pengurusan administrasi.”

Asep Ruhli Hakim, petani dari Luwu Timur, Sulsel, sempat putus asa dengan kondisi kebun kakaonya yang rusak berat akibat serangan hama PBK dan VSD. Melalui keikutsertaannya dalam pelatihan dan Cocoa Doctor ia berhasil mengembalikan kejayaan kakao di daerahnya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
info gambar

Masalah lain, khususnya di daerahnya, adalah terjadinya kerusakan tanah yang diakibatkan oleh penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, ditambah oleh kondisi kawasan pertanaman kakao di Luwu yang sering tergenang.

“Perlu ada upaya bersama pembuatan saluran pembuangan air di wilayah yang sering tergenang tersebut,” tambahnya.

Baramang juga melihat masih terdapat sebagian petani yang memiliki motivasi rendah untuk merawat tanaman kakao karena tingginya serangan hama dan penyakit, tanaman yang sudah tua, serta pengetahuan budidaya tanaman kakao yang kurang.

Sehingga, menurutnya, dibutuhkan pendampingan yang lebih intensif kepada petani untuk menjaga motivasi petani merawat tanaman kakaonya baik dari pihak swasta atau pun pemerintah.”

Ia selanjutnya berharap agar pertanian kakao tetap bisa berkelanjutan dan bernilai bisnis tinggi.

Di balik semua keberhasilan tersebut, Baramang mengakui semua hal itu tak bisa diraih tanpa dukungan petani-petani lainnya.

“Saya terpilih mewakili petani kakao bukanlah karena terbaik di antara mereka. Mungkin ini hanya karena nama saya yang sering muncul dalam sistem MARS sebagai pendamping, karena keaktifan dalam setiap kegiatan.”

Baramang juga tak menafikan peran serta keluarga, yaitu istrinya, Nurhayati dan kedua anaknya, Rahmat Hidayat dan Lestari.

“Kalau saya pergi keluar daerah seperti ini, semua pekerjaan diambil alih oleh istri saya. Begitu pun dengan pekerjaan keseharian, peran istri sangat besar. Anak saya yang pertama, Rahmat Hidayat, kini juga sudah membantu langsung di kebun. Ia sudah punya usaha sendiri.”

Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini