Merangkul Tiongkok Sebagai Peluang, Bukan Ancaman

Merangkul Tiongkok Sebagai Peluang, Bukan Ancaman
info gambar utama

Pada saat pertama kali tahu permintaan wawancara kami diterima, sempat penasaran juga kira-kira akan seformal, sepintar, sekaligus “segarang” apa narasumber yang akan kami temui kali ini. Bagaimana tidak penasaran, perjalanannya sebagai diplomat karir begitu panjang dan banyak menorehkan jejak prestasi.

Dari berbagai referensi yang kami baca tentang sosoknya, semakin menegaskan kalau diplomat kelahiran Deo, Sangihe Talaud, Sulawesi Utara pada Juli 1957 ini benar cemerlang. Ambil contoh, pada saat bertugas selama 14 bulan sebagai Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) di Den Haag, saat itu Indonesia berhasil “memaksa” Belanda mengakui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 pada tahun 2005, tepat sehari sebelum peringatan kemerdekaan RI ke-60.

“Mereka berkeras kita merdeka pada 27 Desember 1949. Itu pun mereka anggap kemerdekaan sebagai hadiah, padahal kita merebut kemerdekaan. Akhirnya Belanda berubah dan sejak itu hubungan bilateral mencair,” begitu kata pria yang selalu bangga dengan asalnya yang dari Indonesia Timur ini seperti ditulis oleh Harian Kompas 20 Januari 2012.

Sosok yang kita sedang bicarakan ini bernama Djauhari Oratmangun, yang pada 20 Februari 2018 lalu dilantik menjadi Duta Besar RI untuk Tiongkok merangkap Mongolia. Sebelumnya ia pernah bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus (2012-2016), dilanjutkan jabatan sebagai Staf Khusus Menteri Luar Negeri untuk Isu-isu Strategis, hingga pada bulan ini (April 2018) harus angkat koper ke Beijing untuk bertugas sebagai Duta Besar di negeri raksasa berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu.

Tiongkok saat ini menjadi perbincangan di mana-mana. Dianalisa sebagai peluang, tapi tak sedikit juga yang menganggapnya sebagai ancaman. Pertumbuhannya, kemajuannya, sekaligus pengaruhnya kuat menyebar ke seluruh penjuru dunia seperti tak terbendung. Pun di Indonesia, topik tentang Tiongkok ditanggapi beragam, dari yang positif hingga penuh syak wasangka. Berada di antara kondisi inilah peran Dubes dan para diplomat menjadi sangat sentral sekaligus menantang, dalam membangun relasi saling menguntungkan antara Indonesia dengan Tiongkok.

Beberapa hari sebelum keberangkatannya, Resti Octaviani dan Pandu Hidayat dari GNFI berkesempatan berbincang bersama bapak dari tiga orang anak ini di Kantin Diplomasi, di komplek kantor Kemlu yang berjarak sekitar 500 meter dari Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Berikut petikan wawancara dengan sosok yang ternyata penuh keakraban dan canda — namun tetap lugas dalam memberikan jawaban — ini:

Apa agenda khusus Anda sebagai Dubes RI untuk Tiongkok yang baru?

Agenda saya tentunya berdasarkan arahan dan instruksi yang diberikan oleh Bapak Presiden dan Menteri Luar Negeri, juga menteri-menteri lainnya.

Arahan presiden, nomor satu NKRI. Hak berdaulat, keutuhan wilayah, itu harga mati. Tidak akan bergeser seinci pun.

Kedua, kita ini negara besar di kawasan dengan penduduk lebih 250 juta, dengan GDP sudah di atas 1 trilliun, anggota G-20. Ekonomi kita pun besar dan diprediksi akan semakin besar, jadi sudah waktunya kita juga memberi, bukan hanya menerima. Selama ini kan tangan kita di bawah terus, nah sekarang tidak. Sebagai refleksi, salah satunya adalah yang sedang berlangsung saat ini di Bali, Indonesia Africa Forum. Nanti juga akan ada Indonesia South Pacific Forum, dan lain-lain.

Ketiga, tingkat pertumbuhan kita 5,07%, kita ingin akselerasi tingat pertumbuhan kita. Dua pendorong utama dari akselerasi pertumbuhan itu adalah ekspor dan investasi. Ekspor terbesar Indonesia saat ini adalah ke Tiongkok. Volume perdagangan kita sudah mendekati USD 65 miliar. Kemudian investor, investor terbesar kedua di Indonesia sekarang adalah Tiongkok, yang pertama Singapura. Lalu yang ketiga tourism economy kita sudah berkontribusi di atas Rp 10 triliun ke ekonomi Indonesia. Wisatawan asing yang paling banyak ke Indonesia dari Tiongkok.

Dengan demikian, inilah tiga prioritas saya: kedaulatan NKRI; mendorong ekspor, meningkatkan investasi both side baik investasi mereka ke kita dan kita ke mereka; dan yang ketiga adalah dengan meningkatkan wisatawan asing dari Tiongkok ke Indonesia.

Selain itu, keempat, adalah people to people contact, sosial budaya, ini akan membuat hubungan antara dua negara semakin baik. Itu bisa kerjasama di bidang pendidikan, juga bidang budaya. Tingkat pendidikan mereka sudah cukup maju, beberapa universitas mereka sudah masuk ke dalam beberapa universitas terbaik dunia. Mereka juga memberikan beasiswa kepada kita. Kita juga akan mengundang mahasiswa sana untuk belajar bahasa dan budaya Indonesia, dan lain-lain. Jadi kurang lebih inilah secara umum gambarannya.

Tapi Tiongkok begitu agresif dalam banyak bidang, ekonomi, militer, dan sebagainya. Apa yang bisa kita lakukan, terutama sebagai generasi milenial, untuk merespon hal tersebut?

Saya kira semua negara agresif dalam hubungan luar negeri. Mungkin kata agresif tidak terlalu pas ya, karena semua negara sebenarnya ingin meningkatkan hubungan dengan negara lain. Kita pun begitu, kita ingin berhubungan baik dengan siapa pun karena kita hidup dalam tatanan internasional.

Buat generasi milenial, pertama kita ini bangsa besar. Kedua, dengan tingkat pertumbuhan kita yang kalau bisa kita capai 7%, menurut prediksi badan-badan internasional kita akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat atau kelima di dunia. Sementara Tiongkok diprediksi menjadi kekuatan ekonomi nomor satu. Jadi kolaborasi antar dua negara besar ini akan berakibat pada arsitektur kawasan yang baru, termasuk arsitektur ekonomi, di mana generasi milenial akan berperan di situ.

Kita telah dan sedang menyiapkan pondasi-pondasi yang baik, yang kuat, sehingga kelak kalian berkompetisi di situ sudah siap semua. Dan Tiongkok adalah salah satu mitra strategis kita. Tiongkok pun melihat Indonesia sebagai mitra strategisnya. Kalau dua negara bermitra startegis di kawasan kan jadi luar biasa.

Nah, peran generasi milennial saat ini terutama mereka masuk ke dalam penciptaan opini, membangun perspektif, karena itu akan menata suatu nuansa yang baru untuk kerja sama. Nah, ciptakan perspektif dan opini yang baik mengenai hubungan antara dua negara tanpa harus merugikan masing-masing, itu akan membuat generasi milenial lebih percaya diri menyambut masa depan yang menurut saya akan cerah untuk kita semua.

Generasi Muda Tiongkok I Foto: qz.com
info gambar

Maksud Anda menciptakan opini positif?

Misalnya menciptakan opini positif mengenai Indonesia. Indonesia itu indah, ekonominya sedang bagus, bersahabat dengan banyak negara, lingkungan yang kondusif, tidak ada pertikaian. Coba bayangkan jika ada perang di kawasan sini. Siapa yang mau berdagang? Siapa yang mau berinvestasi?

Contoh sederhana saja, seandainya di depan situ ada tawuran (siang itu, kami berbincang sambil ngopi di Kantin Diplomasi yang suasananya sangat nyaman), siapa yang mau makan di kantin ini? Sederhananya seperti itu. Opinion creator dan perspective creator sekarang kan di tangan millennials yang mungkin 60% kan ya. Nah inilah kekuatan luar biasa, karena masa depan bangsa ini di tangan kalian. Kita semua berupaya menciptakan suasa kondusif. Kalau perspektifnya negatif, ya akan menjadi negatif. Lalu siapa yang mau ke sini?

Menurut Anda, apa resep Tiongkok bisa menjadi negara yang begitu maju dalam waktu cepat?

Kalau itu saya harus ke sana dulu ya untuk melihat. Tapi secara umum, mereka visinya satu, sehingga bisa bertransformasi dalam waktu 30 tahun. Itu kan luar biasa. Semangat untuk membuat suatu negara maju itu modalnya nasionalisme, cinta akan bangsa, bangga akan bangsa. Nah menurut saya, semangat nasionalisme ini yang mengarahkan mereka untuk maju.

Indonesia bisa seperti itu kalau semangat akan bangsa, cinta akan bangsa, sayang akan bangsa kita gelorakan. Itu yang menuntun kita untuk maju. Seperti kita punya pasangan, kita cinta dan sayang sama dia, kita ingin sama-sama maju.

Saya kira itu dasarnya. Saya melihat bangsa-bangsa yang maju itu nasionalismenya yang menggerakkan mereka. Jadi bukan economic growth, tapi nasionalisme yang men-drive sehingga bangsa itu maju lalu pertumbuhan ekonomi mengikuti.

Tiongkok meluncurkan program raksasa, one belt one road (OBOR). Apakah indonesia sudah cukup “agresif” untuk mengambil manfaat dari program ini?

Oh sangat agresif malahan. Besok ini Pak Menko Kemaritiman akan menjadi Utusan Khusus Presiden untuk berkunjung ke sana, agar dapat menarik menfaat semaksimal mungkin dari program itu.

Paling tidak sudah ada empat daerah yang menjadi sasaran, yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Bali dan sekitarnya, dan Sulawesi Utara. Saya juga ikut dalam pembahasan. Daftar program yang akan kita tawarkan, yang saling menguntungkan itu sudah dibuat dan ini yang akan dibawa oleh Pak Menko Kemaritiman ke sana. Jadi proses membuat bagaimana poros maritim dan OBOR saling melengkapi. Sudah ada proyek-proyek yang disiapkan, nilainya cukup besar.

Seberapa besar nilainya?

Belum. Ini kan baru negoisasi. Tapi pemerintah Tiongkok menyambut baik juga kunjungan ini. dan di sini kita sudah siapkan dengan baik. Nanti kalau sudah detail bisa saya infokan. Second round wawancara. Itu nanti bisa jarak jauh juga tidak apa-apa.

Ohiya, omong-omong soal wawancara, saya jadi ingat satu lagi yang merekatkan hubungan people to people. Selain pendidikan dan budaya itu ada kunjungan antar jurnalis.

Itu yang saya lakukan di Rusia. Karena jurnalislah yang membuat persepsi. Jadi persepsi terhadap suatu negara akan bagus karena jurnalisnya juga. Sehingga jurnalis juga perlu diatur untuk kerja sama. Dulu yang saya lakukan di Rusia, pemred-pemred dan jurnalis Rusia ke sini, pemred-pemred dan jurnalis Indonesia ke sana. Nah, dengan Tiongkok sudah dilakukan oleh duta besar-duta besar sebelumnya. Saya tinggal meneruskan saja program itu. Semakin kenal maka semakin sayang.

Kutub dunia mulai bergeser ke Asia, pertumbuhan ekonomi, teknologi, inovasi, dan lainnya. Menurut Anda, Indonesia berada di gerbong yg mana dalam pergeseran ini?

Kita di depan, seperti tadi saya singgung tentang regional architecture, yang diciptakan oleh Indonesia-ASEAN di kawasan ini kan melibatkan Tiongkok, Jepang, Korea, Australia, India, dan lainnya. Nah kita berusaha ciptakan sehingga pusat pertumbuhan bergeser ke sini.

Tetapi yang perlu diingat, pusat pertumbuhan itu pergeserannya masih sangat fluid. Kalau kita tidak bersama-sama menjaga ketertiban dan keamanan, akan sangat bahaya. Jadi hindari konflik.

Belajar dari ASEAN, yang sejak terbentuknya tidak ada konflik terbuka antara negara anggota. Nah ini bisa kita ciptakan dalam korteks ASEAN. Lalu kemudian ASEAN dengan mitra, ada ASEAN plus China, Korea, Jepang, India, Australia, New Zealand, lalu sejak 2011 Amerika Serikat dan Rusia masuk. Jadi kalo sama-sama kita ciptakan ekosistem yang kondusif, hasilnya akan sangat luar biasa.

Ke depan ini seperti yang sejak awal saya bilang, Tiongkok dan Indonesia akan di depan di kawasan ini, dengan pondasi pertumbuhan yang kuat. Kita akan masuk di 4 atau 5 besar dunia, ASEAN juga ada di sana. Partner kita kelak nomor satu itu Tiongkok, selain juga Rusia, Korea Jepang, Australia, dan lainnya.

Kita di depan to create a conducive environment, peace, and security environment di kawasan ini. Gagasan kita terbaru Indo-Pasifik, yang digagas oleh Pak Presiden dan Bu Menlu juga dalam konteks tersebut. Nah, karena itulah kita di depan.

Apakah membuat bebas visa masuk ke negara Tiongkok bagi pemegang paspor Indonesia ada dalam agenda Anda sebagai Dubes?

Oh, ya!

Tapi begini, visa itu soal berdaulat satu negara, jadi kita pasti akan lobi terus. Tentunya masing-masing punya pertimbangan karena kita juga tidak mau orang intervensi ke kebijakan visa kita. Itu hak kita untuk menentukan.

Nah kemarin memang ada pertimbangan khusus sehingga kita memberikan bebas visa ke beberapa negara, tentunya itu sudah menjadi kajian dari pemerintah kenapa kita berikan.

Tentunya itu (bebas visa) akan masuk rencana, paling tidak untuk para pemegang paspor diplomatik dan dinas sudah bebas. Ya kita lihat lah, itu salah satu hal yang perlu. Tapi kita sadar betul untuk memberikan bebas visa itu hak masing-masing negara.

Bagaimana sektor pariwisata kita? Kan turis asal Tiongkok banyak yang ke sini.

Kita itu punya banyak unggulan untuk Tiongkok. Saya menyebutnya dengan 6S: sun, kecuali musim hujan; sea, lautnya indah dan jernih. Saya baru dari Sorong jadi saya bisa cerita banyak; sand, pasir putih; smile, orang indonesia itu susah pun masih senyum dan itu membuat orang bahagia; services, mereka senang dengan orang Indonesia yang bisa melayani. Kalau service-nya bagus pasti mereka akan kembali; scene, dari Sabang sampai Merauke pemandangannya luar biasa.

Nah itu semua yang mereka butuh. Kalau mereka datang dan bisa dapat itu semua pasti mereka puas. Mereka pasti cerita ke saudara-saudaranya, teman-temannya, yang jumlahnya sangat banyak itu. []

Sesaat setelah dilantik menjadi Dubes RI untuk Tiongkok I Foto: Koleksi Pribadi
info gambar
Selalu bangga berasal dari Indonesia Timur I Foto: Koleksi pribadi
info gambar
Media menjulukinya sebagai
Media menjulukinya sebagai "Dubes Gaul", inilah salah satu hobinya I Foto: Koleksi pribadi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Wahyu Aji lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Wahyu Aji. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini