Ini yang Dilakukan Warga Pinggiran Hutan Maknai Hari Bumi

Ini yang Dilakukan Warga Pinggiran Hutan Maknai Hari Bumi
info gambar utama

Langit gelap, tak lama gerimis datang. Namun, ratusan warga pantang surut untuk berangkat bersama menuju perbukitan yang disebut Wana Pramuka di Dusun Baron, Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jateng.

Mereka bersemangat, apalagi ada musik kentongan yang mengiringi mereka berjalan menuju puncak bukit. Di belakang rombongan musik kentongan, ada gunungan sayur yang dipadu dengan gula kelapa. Sementara ratusan warga di belakangnya membawa berbagai jenis bibit pohon. Ada pramuka, anggota kepolisian, dan masyarakat.

Uniknya, para ibu menggendong tenggok atau bakul kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalam tenggok itulah, berbagai jenis bibit dibawa untuk ditanam di sekitar Wana Pramuka.

Arak-arakan gerakan Nusantara Menanam yang dilakukan oleh warga Desa Sokawera, Cilongok, Banyumas, Jateng pada Sabtu (21/4/2018) untuk memaknai Hari Bumi 2018 | Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Salah seorang warga Desa Sokawera, Komisah, (63 thn) mengungkapkan kalau dirinya membawa bibit jengkol untuk ditanam di sana. “Ada ratusan warga yang ikut serta gerakan menanam ini. Meski saya sudah tua, tetapi tetap semangat untuk jalan dan menenam di sana,” ungkap Komisah yang ditemui Mongabay pada Sabtu (21/4) lalu.

Penduduk lainnya, Karsitem, (60 thn), menambahkan kalau para ibu bersemangat, karena tanaman tersebut akan mampu menghasilkan kalau sudah besar. “Ada tanaman pete dan jengkol. Pete dan jengkol tidak akan ditebang, melainkan hanya dipanen buahnya saja. Sehingga masyarakat akan menjaganya untuk tidak ditebang. Sebab, kalau ditebang tidak bisa panen lagi,” ungkapnya.

Inisiator acara Muhammad Toha yang juga Direktur Yayasan Argowilis mengatakan bahwa acara yang bertajuk ‘Nusantara Menanam’ tersebut merupakan bagian dari kepedulian masyarakat khususnya Desa Sokawera terhadap kelestarian lingkungan. “Hari Bumi kami jadikan momentum untuk melakukan penanaman pada lahan hutan rakyat. Kami menanam berbagai jenis pohon keras yang menghasilkan. Secara total, kami bakal menanam 10 ribu bibit,” ungkap Toha.

Dengan wajah berseri-seri, warga Desa Sokawera, Cilongok, Banyumas, Jateng pada Sabtu (21/4/2018) membawa bibit pohon untuk ditanam | Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Menurutnya, saat sekarang di perbukitan yang merupakan kawasan hutan rakyat telah ternanam 1.300 pohon pete dan 8 ribu pohon jengkol. “Jadi, pohon yang kami tanam tidak hanya bernilai ekologis atau tanaman yang mampu menahan erosi, tetapi juga bernilai ekonomis, terutama bagi masyarakat Desa Sokawera yang tinggal di lereng sebelah barat daya,” kata Toha.

Dijelaskan oleh Toha, pada peringatan Hari Bumi, pihaknya mengkolaborasikan antara gerakan menanam yang merupakan aspek peduli lingkungan dengan budaya.

“Makanya, ada gunungan dan iring-iringan masyarakat yang akan menanam. Ada juga seni kentongan yang mengiringi. Kami ingin, agar ada kolaborasi budaya dengan gerakan lingkungan di Desa Sokawera. Gunung yang diarak ada sayur mayur dan gula kelapa. Makna dari sayuran atau hijauan adalah harapan masyarakat agar lingkungan Sokawera subur dan masyarakatnya makmur. Di ujung tumpeng ada gula kelapa. Maknanya, masyarakat di sini adalah para perajin gula kepala. Arti lainnya adalah supaya masyarakat hidupnya akan manis,” ungkapnya.

Gunungan sayur dan gula merah yang siap diarak warga Desa Sokawera, Cilongok, Banyumas, Jateng pada Sabtu (21/4/2018) | Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Kenapa gerakan menanam penting dilakukan? Supaya wilayah Sokawera aman dari bahaya longsor. Desa Sokawera merupakan daerah yang berada di bawah lereng barat daya Gunung Slamet dengan kemiringan cukup ekstrem. Sehingga diperlukan pepohonan yang cukup kuat mencengkeram tanah, sehingga mampu menahan erosi dan longsor.

“Tentu saja, masyarakat juga harus mendapatkan manfaat dari penanaman. Oleh karena itu, kami menanam pohon keras tetapi menghasilkan. Bukan kayunya yang diambil tetapi buahnya. Selain itu, kami juga tengah mengembangkan wisata berbasis agroforestry. Sehingga dengan adanya wisata agroforestry, masyarakat juga turut serta dalam menjaga pepohonan yang ada. Sebab, kalau tidak ada pohon, maka wisata juga tidak ada,” jelasnya.

Camat Cilongok Lukman Nazarudin mengatakan gerakan Nusantara Menanam yang digelar untuk kali ketiga di Cilongok tersebut patut diapresiasi. “Kegiatan ini sangat positif, apalagi melibatkan banyak warga di Desa Sokawera. Saya juga bangga karena gerakan lingkungan ini dikolaborasikan dengan seni dan budaya masyarakat. Sehingga hal ini akan lebih menyatu dengan warga,” kata Camat.

Bibit tanaman siap ditanam pada acara Nusantara Menanam yang dilakukan oleh warga Desa Sokawera, Cilongok, Banyumas, Jateng pada Sabtu (21/4/2018) untuk memaknai Hari Bumi 2018 | Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Pohon yang ditanam tak hanya menghasilkan secara ekonomis, tetapi juga akan mempu menjadikan penguatan lereng untuk mengantisipasi bencana longsor. “Di wilayah Cilongok, terutama daerah utara merupakan wilayah pegunungan yang memiliki kemiringan cukup curam. Sehingga dibutuhkan penguatan-penguatan salah satunya dengan menanam pepohonan yang memiliki akar kuat. Maka, dengan kegiatan menanam yang dilakukan sama saja dengan melakukan mitigasi bencana khususnya longsor,” ujarnya.

Sementara Wakil Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur Muhammad Arta menambahkan kegiatan menanam tersebut patut mendapat apresiasi. Pasalnya, dengan kegiatan menanam, maka tidak ada lagi niat untuk melakukan penebangan. “Artinya hutan dapat terjaga dengan baik,” ujar Arta.

Apalagi, kata Arta, masyarakat di sini sudah merasakan betul manfaat rimbunnya hutan di sekitar Sokawera. “Saya mengecek di rumah-rumah warga, mereka mengalirkan air dari sumber mata air yang ada di hutan. Air dialirkan secara gratis, karena memang ada sumber mata air. Dengan demikian, mereka juga mencegah adanya penebangan hutan. Warga sadar, kalau hutan ditebang dan pohon tidak ada, maka sumber mata air bakal musnah. Jadi menyelamatkan mata air dengan menjaga hutan sama saja dengan menyelamatkan kehidupan masyarakat,” tegasnya.

Warga di sini sungguh beruntung, karena dapat memanfaatkan air bersih secara gratis. Tidak seperti orang-orang kota yang harus membayar untuk memperoleh air bersih.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini