Berkenalan Dengan Suku Sasak dari Dusun Sade Yuk!

Berkenalan Dengan Suku Sasak dari Dusun Sade Yuk!
info gambar utama

“Welcome to Sasak Village, Sade, Rembitan, Lombok.” Begitu bunyi plang nama berbentuk rumah adat Sasak di tepian jalan di Lombok. Tak jauh dari sana, beberapa pemuda pemandu berdiri menyambut.

“Mau berkunjung ke Sade?” kata Haryadi, pemandu, seraya menunjuk seberang jalan.

“Mari saya antarkan.” Dia tersenyum, ramah.

Kamipun memasuki Sade. Setelah mengisi buku tamu dan memberikan donasi sukarela, kami mulai mengelilingi kampung yang masih mempertahankan keaslian desa sesuai adat Sasak ini.

Pintu gerbang memasuki Sade | Foto: Sapariah Saturi
info gambar

Dusun ini berada di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dusun inipun menjadi salah satu tujuan wisata di Lombok.

Dari luar, keunikan perkampungan ini hanya tampak dari bentuk rumah adat dan bahan pembuatan rumah, seluruh beratap ilalang. Ketika di dalam, kampung lebih menarik dan unik sekali. Hampir setiap rumah menjual kerajinan dari kain tenun, sampai pernak pernik seperti gelang, gantungan kunci sampai hiasan kecil buat di rumah. Etalase produksi kerajinan mereka di balai atau bangunan berdinding sebagian—digunakan menata kain atau kerajinan. Balai (bale) ini berada di depan atau samping rumah.

Hampir setiap rumah warga, memiliki bale untuk menjual produk kerajinan mereka | Foto: Sapariah Saturi
info gambar

Bahan pembuatan rumahpun dari bahan alami, yakni, tanah liat, sekam padi dan beratap alang-alang. Yang unik cara mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau. “Ini untuk mengendapkan debu dan menghindari binatang seperti nyamuk,” kata Haryadi.

Pengepelan lantai, katanya, dalam seminggu dua kali. “Sudah dari dulu seperti ini. Tradisi. Kotoran sapi sendiri kami dapat dari beberapa lokasi di Lombok ini.”

Untuk atap alang-alang, waktu penggantian berkisar antara lima sampai 15 tahun. Menurut Haryadi, tergantung kerapatan pemasangan. “Makin rapat makin tahan lama.”

Adapun bahan-bahan pembuatan rumah ini, didapat dari kawasan sekitar, baik tanah liat, sekam padi, bambu sampai alang-alang.

Atap rumah adat Sasak ini dari alang-alang dengan masa ganti berkisar lima sampai 15 tahun tergantung kerapatan pemasangan | Foto: Sapariah Saturi
info gambar

Haryadi mengatakan, rumah adat ini ada beberapa bentuk dan fungsi antara lain, bale tani. Ini sebagai tempat tinggal warga sehari-hari. Lalu bale barugak atau balai pertemuan ini untuk tempat membahas (memecahkan masalah), perkawinan sampai sunatan; lumbung padi dan bale kodong (rumah sementara bagi pasangan muda).

“Lumbung penyimpanan padi Suku Sasak ini simbol Pulau Lombok. Satu lumbung ini dipakai lima sampai enam keluarga.”

Sedang bale tani, kata Haryadi, terdiri dari tiga bagian. Bagian dalam, tempat anak gadis, memasak dan melahirkan. Bagian luar (sebelah kanan) untuk ibu bapak, dan sebelah kiri tempat anak laki-laki plus ruang tamu.

Memintal kapas menjadi benang | Foto: Sapariah Saturi
info gambar

Kala memasuki rumah ini, harus menunduk karena bangunan dibikin pendek. “Itu ada makna. Sebagai tanda menghormati pemilik rumah.” Sedang anak tangga dari rumah bagian luar ke dalam ada tiga. “Ini bermakna, paling atas itu Tuhan, kedua ibu dan ketiga ayah. Ketiga unsur yang harus dihormati. Jadi rata-rata rumah di sini punya tiga anak tangga,” ucap Haryadi.

Bertani dan menenun

Pekerjaan masyarakat Sade ini mayoritas bertani, seperti padi dan sayur mayur. Kalau padi, tadah hujan dan hanya sekali tanam dalam setahun. “Cuma air dari hujan. Irigasi gak ada sama sekali. Sudah diupayakan tapi sulit.”

Untuk tambahan pendapatan itulah, hampir semua warga menjadi perajin tenunan. Untuk benang tenun, warga membuat sendiri dengan memintal kapas. Tak hanya membuat benang sendiri, pewarnaan mereka juga menggunakan warna-warna alami dengan memanfaatkan tumbuhan atau tanaman sekitar.

Lumbung padi Suku Sasak | Foto: Sapariah Saturi
info gambar

“Bikin dari kulit kayu, dedaunan atau tumbuhan lain. Kalau dari daun ambil yang masih muda lalu ambil karang, campurkan biar warna kuat. Misal, warna orange itu kapur sirih dengan kunyit. Dicampur jadi satu.”

Kawin culik

Perkampungan Sade ini berjumlah 700 jiwa, dengan satu rumpun keluarga. Dalam sistem perkawinan Suku Sasak, dikenal dengan kawin lari atau kawin culik.

“Maksudnya, gak perlu dilamar. Yang penting si cowok sama gadis saling suka. Ambil diem-diem, lalu bawa kabur, lari.”

Sang gadis lalu disembunyikan di rumah orang yang tak diketahui oleh orangtuanya. “Soalnya kalau ketahuan bakal diambil lagi.”

Setelah itu, sang lelaki mengutarakan keinginan menikah kepada orangtua sang gadis. Proses terakhir, disebut nyongkolan, berupa iringan pengantin pria dan perempuan kembali ke rumah orangtua mempelai perempuan.

Nanti, pasangan baru itu akan menempati rumah sementara atau bale kodong. “Bale itu rumah, kodong itu kecil. Artinya rumah kecil. Bali kodong ini rumah sementara waktu sebelum bisa membuat rumah lebih besar. Mereka akan menggunakan untuk bulan madu.”

Setelah kapas dipintal menjadi benang, siap untuk menjadi tenunan. Warna-warna benangpun menggunakan kulit-kulitan kayu dan tanaman juga dedaunan | Foto: Sapariah Saturi
info gambar
Kerajinan tangan warga Sade, selain tenunan dan kain | Foto: Sapariah Saturi
info gambar
Anak-anak di Dusun Sade, tengah asik bermain | Foto: Sapariah Saturi
info gambar
Dusun Sade, yang masih mempertahankan adat dengan berbagai produk kerajinan tangan mereka | Foto: Sapariah Saturi
info gambar


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini