Bisakah Indonesia Kembali 'Menguasai' Asia Tenggara?

Bisakah Indonesia Kembali 'Menguasai'  Asia Tenggara?
info gambar utama

Saya teringat ketika pada tahun 2007, seorang teman saya dari Bangkok menulis tentang rencana Indonesia (dengan dukungan Rusia) membangun pusat peluncuran pesawat ruang angkasa di kawasan bandara Frans Kaisepo, Biak, Papua. Di blog-nya, dia menulis sesuatu yang membuat saya merinding, “When Indonesia comes across my mind, all I remember is about great warriors.“ Sebenarnya mudah saja menelaah hal tersebut. Kawan saya ini masa kecilnya sering membaca sejarah, dan seringkali menemukan Indonesia di dalamnya.

Satelit Palapa A1 | kabardewata.com
info gambar

Selain ini, Indonesia pada tahun 70-80-90an menjadi buah bibir di Asia Tenggara, masa itu adalah masa di mana para pemusik Indonesia sering melakukan konser di Malaysia, Singapura, atau Brunei; masa dimana peluncuran satelit Palapa AI menjadi bahan pelajaran di sekolah-sekolah dasar di Asia Tenggara (satelit pertama dari negara Asia); masa dimana Indonesia mengirimkan guru-guru ke Malaysia; masa dimana militer Indonesia adalah salah satu yang terkuat di kawasan; masa dimana Indonesia selalu unggul (dan sering menjadi juara umum) dalam ajang Sea Games; masa dimana Kontingen Garuda tersebar berbagai penjuru dunia; masa ketika Indonesia membawa inisitif perdamaian di Kamboja, Filipina selatan, dan lain lain.

Yayuk Basuki di Asian Games | bolasport,com
info gambar

Masa-masa itu kini seolah tenggelam dengan berbagai masalah yang mengitari bangsa ini dari waktu ke waktu. Indonesia seolah tak 'sebesar' dulu. Kita tak lagi mengirim ribuan guru ke negara tetangga, kita tak lagi langganan juara umum Sea Games, kita tak lagi terkuat atau terbaik. Saya pernah ke berapa negara di benua-benua lain yang jauh dari Indonesia, dan ketika saya tanyakan kepada mereka tentang Asia Tenggara, yang terlintas dalam benak mereka bukan Indonesia.
Jika pernah ke AS atau ke Jepang, seringkali kita dikira orang Filipina, bukan? Di sebuah taksi dalam perjalanan pulang ke hotel di Washington DC, saya mencoba peruntungan dan bertanya pada sang sopir tentang Asia Tenggara. Komentar dia singkat "Ah, Bangkok !"
Suka tak suka, itu yang memang terjadi. Mengapa kita tak lagi se-berpengaruh dulu, atau se-dikenal dulu?
Entahlah. Tapi meski begitu, secara perlahan, budaya, karya, dan pengaruh Indonesia kembali menembus batas dan merasuki generasi-generasi baru di Asia Tenggara. Hal ini tidak terlepas dari beberapa sebab, diantaranya menghamburnya turis-turis Indonesia ke Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan lain lain. Saya tidak memiliki jumlah akurat berapa turis Indonesia di negara-negara tersebut, tapi bayangkan saja, jumlah turis Indonesia ke Singapore adalah yang terbesar (setelah China) dibandingkan turis dari negara-negara lain, jumlah turis Indonesia di Malaysia adalah yang terbanyak ke dua setelah turis Singapura.
Selain itu juga tentu saja, banyaknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor-sektor swasta dan informal di kedua negara tersebut. Di lain pihak, makin banyak negara-negara Asia Tenggara yang berkunjung ke Indonesia. Jumlah turis Singapura dan Malaysia masuk dalam 10 besar turis asing ke Indonesia, dan jumlah ini terus bertambah.
Tari kecak Bali yang selalu mengagumkan turis (foto balithisweek.com)]
Karena faktor diatas, makin banyak saja kedai makanan Indonesia yang buka di Singapura atau Malaysia, bahkan sampai di Kamboja dan Vietnam. Warung Bali di Phnom Penh, Kamboja adalah salah satu restoran yang populer di sana. Ayam Penyet, nasi padang, rendang, cendol, dan masakan khas Indonesia yang lain, bisa menjadi begitu populer di Malaysia, Brunei dan Singapore karena faktor di atas.
Dan sepertinya, lagu-lagu Indonesia tetap akan sering diperdengarkan di Malaysia, Brunei dan Singapura, bahkan dinyanyikan dalam kontes-kontes musik di TV-TV dan media di negara tersebut. Tentu sesuatu yang hal wajar bila Indonesia yang begitu besar bisa memberi influence ke negara-negara lain di Asia Tenggara. Indonesia telah lama bisa jauh lebih besar menembus batas batas negara.

Di jaman Majapahit dan Sriwijaya, konon pengaruhnya menyebar sampai Filipina, Vietnam, Kamboja, Thailand selatan, Malaya, dan Sri Lanka. Kapal-kapal Phinisi dari Bugis dan Makassar telah lama mengarungi samudera dan menjangkau jauh ke tempat-tempat di benua lain. Jauh sebelum bangsa barat.

Sekarang?

Pertanyannya kini adalah, apakah Indonesia mampu mengulang pengaruh besarnya di masa lalu itu di era kita ini? Apakah Indonesia, bisa seperti India yang menjadi warna dominan di Asia Selatan? Jawabannya tergantung usaha keras kita memperkuat semua lini.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Kita perlu berbangga bahwa di Asia Tenggara, hanya ada 2 maskapai terbaik dunia (yang masuk 10 besar) dan berbintang lima, yakni sang langganan juara Singapore Airlines, dan Garuda Indonesia. Beberapa bulan terakhir ini, Batik Air selalu dinobatkan menjadi maskapai paling tepat waktu di Asia Tenggara. Belum lama ini menteri Sri Mulyani juga dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik di dunia, dan menyusul menjadi yang terbaik di Asia. Bisa jadi, mereka-mereka yang terbaik yang disebut tadi, bisa menjadi 'penunjuk jalan' dan tolok ukur, bagaimana menuju yang terbaik.

Banyak elemen dan faktor lain yang harus kita kejar, dan ini perlu kerja semua lini, semua pihak, dan harus dimulai dari sekarang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini