Tanaman Musuh Alami Hama

Tanaman Musuh Alami Hama
info gambar utama

Tanaman bunga berwarna kuning berjejer rapi di tepian sawah Desa Pliken, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Bunga kenikir (Cosmos sulphureus), begitu nama bunga ini. Ia memiliki bau khas dan daun biasa untuk sayuran. Tanaman ini tumbuh liar. Ada juga yang rutin ditanam petani Kelompok Tani Sumber Rejeki II.

Sucipto, Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki II, menggoyangkan salah satu bunga kenikir berwarna kuning. Segerombolan serangga berterbangan. Ada lebah, kumbang helm, capung, tomcat, sampai laba-laba. Mereka itu predator alami hama sawah.

”Kita tanam bunga buat jagain ekosistem padi,” kata pria 51 tahun ini.

Deretan bunga di pematang sawah itu jadi refugia. Refugia itu dalam bahasa Spanyol (bentuk feminin dari refugio) berarti dalam bahasa Inggris adalah shelter. Refugia berada di kawasan dengan vegetasi di dalam atau sekitar lahan pertanian yang berfungsi sebagai sumber kehidupan musuh alami.

Dalam membentuk refugia ini, berbagai jenis tanaman dibudidayakan di sekitar tanaman pokok. Nanti, pembentukan itu yang berpotensi menjadi mikrohabitat bagi musuh alami. Ia menjadi rumah, tempat transit, tempat perlindungan, sumber pakan bagi musuh alami, seperti predator dan parasitoid. Desa Pliken ini jadi percontohan keberhasilan atas aplikasi tanaman bunga sebagai refugia.

Sucipto sempat putus asa, sejak tahun 2010, Kabupaten Banyumas seringkali terkena serangan penyakit dan hama terutama wereng batang coklat. Ada juga penggerek padi atau sundep, blas atau jamur pada pucuk batang, sampai penyakit kresek. Bahkan, Dinas Pertanian menetapkan, daerah ini salah satu zona merah wereng batang coklat di Pulau Jawa.

”Dahulu sekali terkena hama, bisa 80% kena serangan hama, sekarang tinggal 26,6% saja sejak ada bunga,” katanya.

Sejak mengaplikasikan refugia ini, kata Sucipto, ada kenaikan produksi walau sedikit, sekitar dua sampai empat kuintal dalam satu kali panen. Persisnya, dari 6,3 ton jadi 6,5 ton. ”Kalau kenaikan produksi gak menyolok, ya gak papa, tapi biaya produksi bisa sangat ditekan.”

Sebelum penanaman bunga sebagai refugia, Sucipto dan anggotanya gunakan pestisida. Mereka rutin menyemprotkan pestisida di lahan pertanian tanpa perhitungan tepat. Harapannya, hama segera berkurang dan musnah, tanpa mengetahui dampak lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Hal terpenting dalam pikiran mereka, adalah panen dan tidak rugi.

Bunga ini salah satu musuh alami hama | Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
info gambar

Zabidin, anggota Kelpmpok Tani Sumber Rejeki II bercerita, penggunaan pestisida itu memang pernah ada pelatihan tetapi tak tahu lebih dalam. Alhasil, membuat lahan rusak dan hama jadi kebal. Bahkan, ada dampak tak langsung menyebabkan kanker. ”Saya jadi takut,” katanya.

Satu kali masa tanam, biasa semprot tiga sampai empat kali, dengan biaya Rp400.000 per satu kali semprot. Setelah menanam bunga sebagai refugia, dia hanya perlu satu sampai dua kali. “Itu jadi alternatif terakhir, semprot kalau sudah parah, hama di atas ambang, ada wereng.”

Tak hanya mempercantik desa, bunga ini jadi rumah singgah atau tempat tinggal musuh alami agar tak mengganggu pertumbuhan padi.

Desa Pliken, awalnya mendapatkan pendampingan rekayasa ekosistem bersama dengan Food Organization and Agriculture Organization (FAO) pada 2014-2016.

Awalnya, hanya 25 hektar jadi percontohan, sekarang meluas 56 hektar. Sucipto bilang, tantangan terbesar dalam melakukan ini adalah ketekunan dan pengamatan dari setiap anggota.

”Itu memang kembali ke para petani, ada yang senang, ada yang males. Mayoritas banyak sudah merasakan dampak masih berjalan hingga sekarang.”

Para petani, secara berkelompok harus memantau dan mengecek ke sawah satu minggu sekali. Mereka perlu mencatat musuh alami di sawah untuk pertemuan bulanan. Selanjutnya, akan ada evaluasi untuk menentukan langkah selanjutnya. ”Sekarang saya jadi bisa membaca, jika banyak laba-laba di sawah itu berarti hama makin sedikit,” ucap Sucipto.

Andi Trisyono, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada saat itu jadi ketua tim ahli FAO menyebutkan, pemantauan jadi poin utama dan faktor paling sulit. ”Tanpa itu (pemantauan) bukan PHT (pengelolaan hama terpadu-red) namanya.”

PHT, seperti penanaman bunga sebagai refugia ini, bukan sesuatu hal baru. Ia ada sejak tahun 1990. Banyak pelatihan diberikan kepada para petani, ternyata hama tanaman masih muncul dan masih banyak gunakan pestisida. ”Kadang pelatihan itu hanya memberikan ilmu belum mengubah attitude.” Kepentingan pragmatis diandalkan karena lebih cepat dan mudah.

Pestisida, semestinya, jadi pilihan terakhir kala memang diperlukan. Dalam PHT, jika pestisida digunakan berlebih, maka tak akan berhasil.

Beragam hama pagi di sawah. Ia bisa dikendalikan dengan menanam tanaman yang berfungsi sebagai musuh alami hama | Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
info gambar

Bunga sebagai refugia

Ismail Wahab, Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi mengatakan, pengendalian hama dengan pestisida kimiawi ini tak hanya merusak alam, juga memunculkan spesies baru dari wereng atau wereng bio tipe baru. Populasi wereng meledak pun tak terelakkan. ”Agar tidak terulang, kita kembali pada pengendalian alami dengan agen hayati, dengan rekayasa ekologi berupa refugia,” katanya.

Pestisida yang berlebihan sekaligus menghilangkan musuh alami yang jadi keragaman pada ekosistem padi, berupa predator dan parasitoid. Menurut Andi Trisyono, sangat rasional dan mendesak strategi pengelolaan hama terpadu untuk ekologi lebih berkelanjutan.

”Kita sebut refugia karena memiliki arti suaka,” kata Andi.

Maksudnya, suaka bagi musuh alami tanaman padi. Musuh alami itu ada tiga jenis, yakni, predator (pemangsa seperti laba-laba, dan capung), parasitoid (serangga yang menghabiskan seluruh atau sebagian hidup berada di inang hama atau serangga lain bahkan bisa mematikan inang) dan patogen (kelompok jamur, virus, bakteri antagonis yang memarasit serangga).

Padi menjadi tanaman monokultur sangat rentan terhadap hama dan penyakit. Meski demikian, sebenarnya hama alami dapat dikendalikan dengan musuh alami. Parasitoid memiliki peran sangat besar dalam mengendalikan hama.

“Rekayasa ekosistem ini memanfaatkan musuh alami sebagai pengendali populasi organisme pengendali hayati,” kata Andi.

Meski demikian, pengendali hayati ini perlu dikelola. Ia memerlukan lingkungan biotik dan abiotik optimal dengan menyediakan pakan bagi perkembangan musuh alami. Salah satunya, menyediakan nektar dan polen.

Secara naluri, serangga musuh alami sangat menyukai tanaman yang menyediakan makanan bagi dirinya, yakni nektar ataupun polen. Kedua hal ini mampu meningkatkan kebugaran bagi para musuh alami untuk bergerak membasmi si hama tanaman.

Siklus hidup parasitoid sangatlah membantu para petani. Ia jadi parasit telur wereng cokelat. Anagrus dan Oligosita merupakan genus dari parasitoid telur dari hama wereng batang coklat yang paling banyak pada ekosistem sawah.

Parasitoid adalah serangga yang menghabiskan seluruh atau sebagian hidup pada inang serangga lain atau hama. Menurut Andi, parasitoid itu meletakkan telur di tubuh wereng batang cokelat dan mencegah telur menetas atau tak dapat berkembang. Ukuran parasitoid sangat kecil dibandingkan inangnya maupun predator pada ekosistem sawah.

Pada kondisi normal, katanya, Anargus jadi parasit di telur wereng batang coklat, hingga tak mampu membentuk individu baru. Artinya, tak mampu menetas atau tak dapat berkembang.

Nike Grace Hanjelina S, dkk. meneliti, genus kedua parasitoid itu pada tiga model ekosistem sawah berbeda, yakni, penanaman bunga sebagai refugia, jauh dari sawah dengan refugia (12 meter) dan tanpa refugia (lima kilometer).

Kata Nike, tanaman berbunga sebagai pelindung ini tak memberikan dampak signifikan dalam peningkatan parasitasi telur wereng batang cokelat pada ketiga model ekosistem berbeda itu. Namun, katanya, pada penelitian parasitoid yang muncul dan persentase telur tak menetas terlihat perbedaan.

”Kisaran kenaikan 5-11%.” Artinya, tanaman berbunga dapat meningkatkan layanan ekosistem melalui peningkatan jumlah parasitoid yang muncul dari telur wereng batang cokelat yang akan mempertahankan populasi parasitoid di lapangan.

Singkatnya, dengan penanaman bunga sebagai refugia, populasi parasitoid berhasil jadi dewasa lebih banyak, maka keseimbangan ekosistem akan stabil. Sebaliknya, jika lahan pertanian tanpa bunga, populasi parasitoid yang berhasil dewasa rendah. Keseimbangan ekosistem pun tak stabil dan wereng di alam akan bertambah.

Penelitian ini pun menyebutkan, jenis parasitoid yang mendapat pengaruh ketika pertanaman padi dengan bunga. ”Terlihat Anargus lebih sensitif dengan ketersediaan bunga di lapangan.”

Andi yang turut serta dalam penelitian ini menyebutkan, parasitoid sudah ada di alam. “Melalui pengelolaan agen hayati ini, kita meningkatkan kemampuan parasitoid. Salah satunya, melalui penanaman bunga sebagai refugia.”

Bunga sebagai sumber nektar mampu memberikan akses bagi para parasitoid meningkatkan kebugaran. Dengan peningkatan parasitoid, bisa mencegah wereng batang coklat lahir.

Meski begitu, perlu ada syarat kondisi ekosistem sehat, yakni, tak menggunakan pestisida jika tak diperlukan, memiliki keragaman hayati tinggi dan musuh alami banyak serta ada keseimbangan antara herbivora dan musuh alami.

Kemunculan Anargus dari telur wereng batang coklat ini lebih banyak ditemukan pada ekosistem yang dilindungi bunga sebagai refugia, dibandingkan ekosistem lain. Penanaman bunga sebagai refugia mampu meningkatkan kelangsungan hidup dan keturunan Anargus, tetapi tak berlaku pada Oligosita di sawah.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini