Dibalik Gelar Insinyur Soekarno, Ada Jasa Perempuan Ini!

Dibalik Gelar Insinyur Soekarno, Ada Jasa Perempuan Ini!
info gambar utama

Mungkin beberapa Kawan GNFI masih belum banyak tahu soal mantan istri Soekarno yang satu ini. Meski nama Fatmawati jauh lebih dikenal karena salah satu jasanya sebagai penjahit bendera pusaka yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945, meski perempuan ini tidak pernah menjadi ibu negara, mantan istri Soekarno yang bernama Inggit Garnasih ini juga berperan penting dalam hidup Soekarno.

Lantas siapa dan apakah yang diperbuat Inggit Garnasih untuk presiden pertama kita?

Inggit Garnasih | Foto: Kumparan/Dokumentasi Keluarga
info gambar

Inggit Garnasih yang dilahirkan pada 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Kabupaten Bandung, memang seorang perempuan biasa. Seperti perempuan lain pada zaman dahulu, hidupnya hanya bermakna bagi keluarga. Pendidikan pun hanya sampai Madrasah Ibtidaiyyah (setingkat Sekolah Dasar).

Nama perempuan ini sebenarnya hanya Garnasih. Tambahan Inggit dikarenakan ia sering menerima hadiah uang hingga satu ringgit dari para lelaki yang ingin membuktikan perhatiannya dan meminta cintanya. Jadi, dari kata ringgit menjadi inggit, lalu disematkan di depan nama Garnasih.

Dari banyak lelaki yang datang padanya, Inggit memilih menikah dengan Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun pernikahannya tidak bertahan lama.

Kali kedua Inggit menikah yaitu dengan Haji Sanusi, seorang pengusaha dan aktivis Sarekat Islam di Bandung. Pernikahan mereka ini baik-baik saja, meskipun tidak bisa dibilang bahagia karena suaminya yang jarang pulang ke rumah untuk sekadar bercengkerama dengan istri. Hingga akhirnya datanglah Soekarno dalam hidup Inggit.

Soekarno yang saat itu akan melanjutkan studi di Technische Hoge School (THS) −saat ini adalah Institut Teknologi Bandung− sebenarnya sudah menikah. Ia menikahi putri dari H. O. S. Tjokroaminoto, Utari, untuk menghiburnya sepeninggal istri tercinta. Tapi rasa yang dimiliki Soekarno ke Utari ini tidak lebih dari rasa sayang sebagai adik, bukan sebagai istri.

Karena keluarga Soekarno tidak di Bandung, mertuanya, Tjokroaminoto meminta bantuan kepada temannya, Haji Sanusi untuk ‘menampung’ Soekarno di rumahnya. Sejak tinggal serumah inilah, Soekarno sering berinteraksi dengan Inggit hingga benih-benih cinta tumbuh di hati kedua insan ini.

Berkat rumah tangga yang tidak begitu harmonis, Soekarno maupun Inggit akhirnya bisa bercerai dengan pasangannya. Keduanya lalu menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.

Inggit Garnasih dan Soekarno | Foto: Kumparan
info gambar

Inggit Garnasih, yang menikahi seorang lelaki yang masih kuliah, sadar betul bahwa suaminya tidak memiliki penghasilan. Meski Soekarno menerima kiriman uang dari orang tuanya setiap bulan, uang tersebut hanya cukup untuk biaya kuliahnya. Oleh karena itu, Inggit merasa berkewajiban ‘mengemong’ Soekarno supaya cepat meraih gelar sarjana.

Inggit dengan ikhlas menjadi tulang punggung keluarga kecilnya itu. Ia meramu jamu, membuat bedak dan parem, hingga menjahit kutang lalu menitipkannya pada Toko Delima demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Melihat hal ini, tak bisa dibantah lagi bahwa keberhasilan Soekarno dalam meraih gelar insinyur tidak lepas dari jasa Inggit Garnasih. Soekarno bahkan mengakui kalau ia berhutang budi kepada Inggit Garnasih yang tak terlunaskan seumur hidupnya.

Ucapan hutang budi itu bukanlah basa-basi, melainkan begitulah sesungguhnya. Inggit Garnasih-lah yang mengemudikan rumah tangga dan ini bukanlah pekerjaan mudah mengingat waktu itu Soekarno tidak punya waktu untuk mencari nafkah.

Tapi selain membantu Soekarno dalam pendidikannya, Inggit juga turut andil dalam mengantar Soekarno mendapatkan cita-cita membebaskan negeri dari penjajahan. Ia merelakan rumahnya di Jalan Ciateul digunakan sebagai base camp para pejuang kemerdekaan.

Inggit juga dikenal selalu setia menemani setiap jengkal kehidupan Soekarno. Ia selalu menemani dan mendukung Soekarno baik saat dipenjara maupun diasingkan. Ia dan keluarga bahkan rela menjual rumahnya di Bandung untuk ikut pindah dengan Soekarno saat diasingkan di Flores.

Rumah pengasingan Bung Karno di Flores | Foto: blog.miraafianti.com
info gambar

Namun seperti yang sudah kita ketahui bahwa yang mendampingi Soekarno saat kemerdekaan adalah Ibu Fatmawati, bukan Inggit Garnasih. Inggit dan Soekarno bercerai dua tahun sebelum kemerdekaan, tepatnya pada 29 Januari 1943.

Inggit Garnasih berbesar hati melepas Soekarno yang ingin memperoleh keturunan untuk menikahi Fatmawati, walaupun telah hampir 20 tahun mengantarkan Soekarno di gerbang kemerdekaan. Ia tidak bersedia dimadu, begitu pula Fatmawati. Sehingga bercerai adalah jalan keluarnya meskipun Soekarno tidak menginginkan itu.

“Tidak usah meminta maaf, Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini,” begitu ucap Inggit Garnasih kepada Kusno (nama Soekarno saat masih kecil), mantan suaminya yang mendatangi rumah Inggit untuk meminta maaf karena telah melukai hatinya.

Selain telah memaafkan Soekarno, Inggit juga telah memberi maafnya kepada Fatmawati, yang menemuinya pada 7 Februari 1980 dengan mediasi Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.

4 tahun setelah pertemuan haru dengan Fatmawati, Inggit meninggal dunia. Inggit Garnasih, istri Soekarno yang setia menyertainya dalam kondisi paling sulit sekalipun, menutup mata pada 13 April 1984. Untuk mengenangnya, kediaman Inggit Garnasih dijadikan Rumah Bersejarah Inggit Garnasih atau Museum Inggit Garnasih. Jalan Ciateul di Bandung juga ikut diganti menjadi Jalan Inggit Garnasih.

Rumah Bersejarah Inggit Garnasih | Foto: Serba Bandung
info gambar

Begitulah kisah perempuan dibalik gelar insinyur yang ada di depan nama Soekarno. Meski ceritanya cukup mengharukan, hal yang bisa diambil hikmah dan patut dicontoh dari kisah ini adalah kebesaran hati, kemandirian, dan kesetiaan Inggit Garnasih yang selalu mendukung dan menemani Soekarno.

Perjuangan Inggit Garnasih ini mengingatkan saya pada sosok Khadijah, perempuan tangguh yang sangat setia menemani Rasulullah yang berjuang dalam menyebarkan agama Islam. Mungkin, Inggit Garnasih memang salah satu Khadijah pada masa itu!

Sumber: Buku "Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah" karya Mulyono Atmosiswartoputra, Tirto

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini