Selain Wae Rebo, NTT Juga Punya Kampung Adat yang Sudah Ada Sejak Zaman Purba

Selain Wae Rebo, NTT Juga Punya Kampung Adat yang Sudah Ada Sejak Zaman Purba
info gambar utama

Salah satu benteng untuk menjaga kelestarian budaya Indonesia di tengah masuknya berbagai budaya dari luar adalah dengan adanya desa adat sebagai objek wisata. Maka tak heran, ada beberapa kawasan di Tanah Air yang masih mempertahankan adat istiadat di kampungnya. Salah satu yang cukup terkenal adalah Desa Wae Rebo di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang juga menjadi Warisan Budaya Asia-Pasifik UNESCO.

Namun ternyata di NTT juga menyimpan desa/kampung adat lainnya. Jika ke arah timur dari Desa Wae Rebo, tepatnya ke Kabupaten Ngada, pelancong akan menemui Kampung Bena. Selain dari Desa Wae Rebo di Manggarai, bisa juga menjangkau Bena dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, juga dari arah Ende.

Terletak di kaki Gunung Inerie (2.245 MDPL) atau tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kampung Bena ini diperkirakan sudah ada sejak 1.200 tahun yang lalu. Oleh karenanya, kampung ini menjadi yang tertua di NTT.

Kampung Bena juga terkenal dengan rumah adat Bena dan tradisi nenek moyang mereka. Di sini, terdapat lebih dari 40 rumah di kampung ini dengan 9 suku yang berbeda.

Sembilan suku tersebut di antaranya adalah suku Dizi, Dizi Azi, Wahto, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khopa, Ago, dan suku Bena sendiri. Suku-suku ini hidup dengan damai dengan pertalian saudara yang sangat kuat. Bisa dilihat dari kegiatan bersama seperti gotong royong dalam pembangunan rumah dan acara adat.

Rumah-rumah adat di Kampung Bena | Foto: Okezone
info gambar

Secara arsitektur, rumah tradisional masyarakat Bena beratap alang-alang dengan lantai yang merupakan padu padan batu-batu gunung. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa kampung ini merupakan sisa peradaban megalitikum yang masih bertahan. Oleh karena itu, tak heran jika masyarakat di sini begitu menghormati batu maupun hewan-hewan. Mereka menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan.

Selain itu, masyarakat Bena pun juga sangat menghormati Gunung Inerie. Mereka percaya bahwa gunung ini sebagai tempat bersemayamnya Dewa Zeta yang melindungi Kampung Bena.

Kampung yang memanjang dari utara hingga selatan | Foto: wisataterindah.net
info gambar

Struktur geografis kampung ini berundak, yaitu terdiri atas undak-undakan. Selain itu, kampung ini juga memanjang dari utara ke selatan menyerupai perahu. Sebagian rumah penduduk terletak di bawah, sementara sebagian lainnya terletak di atas yang dibatasi dengan tanah lapang tempat diadakannya acara adat. Suku Bena, sebagai suku tertua dan pendiri kampung, menempati undakan bagian tengah.

Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu | Foto: Indonesiakaya
info gambar

Di area tengah kampung tersebut terdapat pula Ngadu dan Bhaga, simbol hubungan kekerabatan antara leluhur dan generasi itu hingga seterusnya. Ngadu berarti simbol nenek moyang laki-laki dan bentuknya menyerupai sebuah batu runcing yang menjulang. Sedangkan Bhaga berati symbol nenek moyang perempuan yang bentuknya menyerupai bentuk miniatur rumah.

Foto: javajunkie.travellerspoint.com
info gambar

Secara umum, mata pencarian penduduk bagi kaum laki-laki adalah berladang. Selain hasil pangan jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan, mereka juga menanam kopi, kemiri, yang tumbuh subur di kaki Gunung Inerie. Sementara kaum perempuannya lebih tekun menenun yang hasilnya dijual kepada pelancong, atau dikirim ke kota Bajawa.

Warga kampung Bena juga menganut kekerabatan dengan mengikuti garis keturunan pihak ibu. Hal ini menyebabkan bila lelaki Bena menika dengan wanita suku lain, maka akan menjadi bagian dari klan istrinya itu.


Sumber: Beritagar, Kompas

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini