Hari Raya Nyepi Ternyata Berpengaruh Terhadap Laut dan Penghuninya

Hari Raya Nyepi Ternyata Berpengaruh Terhadap Laut dan Penghuninya
info gambar utama

Kolaborasi peneliti dari Amerika Serikat, Australia dan Indonesia melakukan kajian tentang bagaimana pengaruh Nyepi terhadap tingkat kebisingan suara di lautan. Benarkah ikan juga bisa bernyanyi seperti burung?

Keempat peneliti tersebut adalah Rob William dari Marine Conservation, Oceans Initiative, Seattle, Amerika Serikat; Christine Erbe, Direktur Pusat Sains dan Teknologi Kelautan Curtin University, Perth, Australia; I Made Iwan Dewantama, Manajer Jaringan Conservation International (CI) Indonesia dan I Gede Hendrawan, Kepala Laboratorium Komputasi Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana Bali.

Riset dilakukan pada Nyepi tahun 2017 lalu dengan rentang waktu tujuh hari termasuk tiga hari sebelum, selama Nyepi, dan tiga hari setelahnya. Namun, hasil riset tersebut baru dipublikasikan di Jurnal Oceanography, jurnal resmi Masyarakat Oseanografi pada 30 Mei 2018 lalu.

Iwan Dewantama mengatakan, CI Indonesia sebelumnya juga melakukan riset pada 2008 dan 2015 mengenai satwa laut di perairan Bali selatan. Hasil riset menunjukkan bahwa Bali memiliki kelimpahan satwa laut baik ikan maupun mamalia laut.

Sebuah jukung nelayan ditambatkan di karang saat Nyepi Segara | Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Di sisi lain, Bali selatan juga menjadi pusat aktivitas transportasi laut Bali, termasuk Pelabuhan Benoa maupun kapal-kapal cepat ke kawasan Pulau Nusa Penida. Kawasan pariwisata pantai, seperti Tanjung Benoa dan Pulau Serangan juga berada di Bali selatan.

“Karena itu penting untuk melihat bagaimana dampak kebisingan laut ini terhadap kehidupan satwa laut di bawah permukaan,” kata Iwan.

Melalui penelitian bersama ini, tim peneliti ingin membandingkan apakah ada hubungan antara kebisingan laut terhadap aktivitas satwa laut. Momennya tepat pada saat Nyepi di mana Bali beristirahat selama 24 jam mulai pukul 6 pagi hingga 6 pagi keesokan harinya.

Gangguan terhadap Suara

Bagi satwa laut, suara merupakan hal sangat penting. Suara menjadi serupa penglihatan pada manusia, kemampuan penting untuk berkomunikasi. Hiu, misalnya, mengirim dan menerima sinyal untuk memeriksa apakah fungsi tubuhnya masih berfungsi. Ikan karang juga bisa bernyanyi, sesuatu yang selama ini dilakukan burung.

Namun, seiring dengan tingginya aktivitas di laut, terutama transportasi, satwa laut juga mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Penelitian oleh N. Ross Chapman dan Andrea Price pada 2011 menunjukkan bahwa banyaknya lalulintas laut dan aktivitas manusia lain telah meningkatkan tingkat gangguan suara hingga sekitar 3 dB per dekade atau 0,55 dB tiap tahun.

Tingginya aktivitas manusia berpengaruh terhadap kebisingan laut di perairan Bali selatan | Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Beberapa literatur juga menunjukkan dampak gangguan suara antropogenik terhadap sejumlah organisme, termasuk ikan, penyu, dan mamalia laut.

Mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian dampak Nyepi pada satwa laut di Bali kali ini pun menggunakan apa yang disebut dengan

International Quiet Ocean Experiment (IQOE), yang menggabungkan ilmu lingkungan akustik dan organisme kelautan selama penelitian.

“Terinspirasi dari model IQOE, kami memanfaatkan Nyepi yang mengurangi kegiatan manusia selama sehari. Selama 24 jam, bandara dan pelabuhan menghentikan kegiatannya. Turis kembali ke hotel. Lampu-lampu dimatikan dan semua pekerjaan dilarang,” tulis laporan itu.

Untuk merekam suara-suara satwa laut tersebut, para peneliti menempatkan enam alat rekam di bawah laut selama seminggu yaitu tiga hari sebelumnya, selama Nyepi, dan setelahnya. Lokasinya di Pulau Serangan, Tanjung Benoa, Nusa Dua, dan sekitar Bandara Internasional Ngurah Rai.

Serombongan ikan terlihat di perairan Tulamben, Bali | Foto : Nyoman Suastika/Mongabay Indonesia
info gambar

Mereka mengikat alat perekam suara itu di kedalaman antara 3-21 meter di bawah permukaan laut. Alat perekam berukuran sektar 50×50 meter itu diikat di pelat baja.

Namun, dari enam alat itu mereka hanya bisa mendapatkan kembali dua alat perekam. Itu pun satu di antaranya dalam kondisi rusak. Hanya satu alat yang berhasil merekam suara dengan kualitas bagus yaitu di perairan sebelah utara Bandara Ngura Rai dengan koordinat 8°44’59.14”S, 115°8’37.29”E.

Alat ini berada di kedalaman sekitar 11 meter dengan posisi 0,5 meter dari dasar laut, terikat di sebuah kerangka baja. Dia mengirimkan sampel suara pada kecepatan 96 kHZ, 16 bits, selama 4 menit dan 40 detik tiap 5 menit.

Iwan menyebutkan setidaknya ada dua alasan kenapa alat perekam tidak bisa ditemukan kembali. Pertama karena peneliti memang melakukannya untuk pertama kali sehingga belum berpengalaman menjaga agar alat itu tetap berada di lokasi yang sama saat dipasang dan diambil. “Kemungkinan alatnya bergeser setelah ditanam,” kata Iwan.

Kedua, Iwan melanjutkan, kondisi perairan laut sangat keruh pada saat pengambilan sehingga mereka tidak bisa menemukan alat perekam itu. “Ini jadi pembelajaran bagaimana ke depannya kami harus menempatkan alat agar bisa diambil kembali,” ujarnya.

Tingkat kebisingan berpengaruh terhadap aktivitas satwa laut | Foto Nyoman Suastika/Mongabay Indonesia
info gambar

Ikan Bernyanyi

Meskipun hanya satu alat yang berhasil merekam, para peneliti menyatakan hasilnya bisa menunjukkan kegiatan ekologis fauna maupun manusia yang kaya. Selama satu minggu perekaman, suara udang gertak (snapping shrimp) cukup mendominasi frekuensi 2-48 kHz. “Pada malam hari, suaranya lebih tinggi 3 dB,” tulis laporan tersebut.

Hasil lainnya, setidaknya ada empat jenis ikan yang menyanyi tiap malam mulai pukul 7 malam hingga 2 pagi dengan kekuatan 60 Hz hingga 3 kHz.

Sebagai gambaran, tinggi suara yang bisa didengar manusia berada pada rentang 20 Hz hingga 20 kHz. Kemampuan mendengar ini dipengaruhi oleh lingkungan. Suara rendah di bawah 20 Hz lebih mudah dirasakan daripada didengarkan.

Artinya, suara gertakan udang dan nyanyian ikan-ikan itu bisa didengar oleh telinga manusia jika berada di tempat yang sama. Apalagi, suara di laut bisa terdengar lebih keras 7 kali lipat jika menggunakan medium air.

Terkait dengan aktivitas manusia, rekaman itu menunjukkan bahwa terdengar sekitar 10 perahu kecil yang lewat tiap hari, sebagian besar pada siang hari, kecuali saat Nyepi. Adapun suara pesawat yang terbang terdengar hingga bawah laut dengan kekuatan 20 Hz hingga 10 kHz, dengan setidaknya satu pesawat tiap tujuh menit. Tidak ada pesawat pada sekitar pukul 2 pagi hingga 7 pagi, termasuk pada saat Nyepi.

Selama Nyepi, terjadi penurunan substansial tingkat kebisingan antropogenik. Penurunan 6-10 dB terdeteksi selama Nyepi dengan tingkat kebisingan paling tinggi pada kisaran 60-500 Hz. “Penurunan tingkat kebisingan itu, menurut kami cukup besar sehingga memunculkan peluang riset lain untuk memantau bagaimana organisme laut merespon peningkatan suara ruang akustik,” tulis laporan itu.

Kegiatan wisata air merupakan salah satu penyumbang tingkat kebisingan terhadap ekosistem bawah laut | Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Menurut laporan itu penurunan 6dB pada kebisingan antropogenik selama Nyepi termasuk substansial. Sebagai perbandingan, mereka mengutip penelitian Rosalind M. Rolland dkk pada 2012 bahwa penurunan kebisingan 6dB terjadi ketika kapal tidak berlayar setelah terjadinya serangan teroris pada 11 September 2001. Mereka menemukan bahwa tingkat stress hiu juga langsung turun seiring turunnya tingkat kebisingan lalulintas kapal.

Sayangnya, riset awalan ini memang belum sampai pada tahap bagaimana perubahan terjadi di kalangan satwa laut setelah adanya penurunan tingkat kebisingan selama Nyepi. Namun, peneliti menduga bahwa Nyepi mungkin bisa meningkatkan kemampuan didengar (audibility) suara ikan yang kawin tetapi pada saat yang sama juga meningkatkan risiko mereka didengar oleh pemangsa.

“Kami termotiviasi oleh temuan kami untuk kembali ke Bali dengan sumber daya yang cukup untuk menguji di air dalam, mengkaji keheningan lautan, dan memperluas kajian menggunakan metode akustik dan visual untuk mendeteksi respons satwa liar laut selama periode hening,” demikian laporan itu memberikan rekomendasi.

Iwan menambahkan, riset ini memang baru sebatas awalan sehingga perlu ada penelitian lebih lanjut di masa depan.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini