Belajar Sejarah Bangsa Melalui Pameran Di Jogja

Belajar Sejarah Bangsa Melalui Pameran Di Jogja
info gambar utama
Key milestone: A visitor looks at national newspaper Kompas’ first edition published on June 28, 1965, at an exhibition of old newspapers and magazines at Bentara Budaya Yogyakarta. Kicked off on July 3, the exhibition will run until July 11. (JP/Bambang Muryanto)
info gambar

Sebuah harian surat kabar berjudul Bintang-Barat yang diterbitkan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1871 ditampilkan di dinding Bentara Budaya, sebuah gedung pameran di Yogyakarta. Di halaman utama harian surat kabar yang sudah menguning tersebut, terlihat jadwal keberangkatan kapal yang berlayar dari dan menuju Hindia Belanda sepanjang May 1871.

Bintang-Barat merupakan harian surat kabar tertua yang ditampilkan di pameran majalah dan harian surat kabar kuno, yang berlangsung dari 3 Juli hingga 11 Juli ini. Diadakan sebagai hasil kerjasama dari Bentara Budaya dan harian surat kabar nasional Kompas. Pameran tersebut menampilkan puluhan harian surat kabar dan majalah yang diterbitkan di Indonesia dalam kurun waktu 1871 hingga 1972, yang semuanya menggunakan ejaan lama.

Salah satu majalah yang ditampilkan adalah Varia, yang terbit pada 18 September, 1963. Dari majalah tersebut, pembaca dapat mengetahui bahwa konstruksi Monumen Nasional (Monas) sesungguhnya dibiayai oleh publik. Varia mengumumkan bahwa pembelian majalah tersebut, yang dijual dengan harga 54,50 rupiah di Jawa dan 59.50 rupiah di luar jawa, pembaca telah berkontribusi untuk pembangunan monumen tersebut.

Kurator pameran ini, Hermanu, mengatakan bahwa harian surat kabar dan majalah kuno ini memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat mengenai sejarah negara ini. Benda-benda ini berkontribusi banyak terhadap pengetahuan masyarakat kini dalam berbagai bidang, seperti politik, agama, korupsi, perang, dan iklan.

"Harian surat kabar dan majalah yang terbit di jaman dulu selalu memberikan informasi pada pembacanya mengenai kejadian penting yang terjadi setiap harinya," ucap Hermanu.

Witnesses of RI history: Visitors look at old magazines published in Indonesia during the period of 1871 to 1972 during an exhibition at Bentara Budaya Yogyakarta. (JP/Bambang Muryanto)
info gambar

Pengamat budaya Sindhunata mengatakan bahwa sebuah harian surat kabar yang telah dibaca bisa saja berakhir di tempat sampah atau dijadikan bungkus kacang. Namun 100 tahun kemudian, dapat menjadi sebuah dokumen sejarah yang penting.

"Harian surat kabar dan majalah yang mencatatkan kejadian harian mungkin tidak selalu terlihat spesial namun nyatanya mereka dapat menjadi dokumen sejarah yang sangat hebat," ucap Sindhunata.

Kebanyakan dari koleksi majalah dan harian surat kabar yang ditampilkan di pameran ini merupakan milik dari Haris Kertoharjo, seorang kontraktor yang juga merupakan kolektor benda antik. Di masa lalu, banyak majalah dan harian surat kabar berisikan isu sensitif, tambahnya.

"Sebelum presiden Soekarno digulingkan, berita-berita yang tertuang di majalah dan harian surat kabar sama persis seperti berita-berita yang tertuang saat pemberitaan mengenai Ahok. Soekarno selalu dipojokkan," ucap Haris.

Pameran tersebut dibuka oleh Budi Ubrux, seorang seniman yang membuat banyak karya seni yang selalu melibatkan harian surat kabar sebagai salah satu komponennya. Di pesan singkatnya, Budi mengatakan bahwa pameran ini sangatlah penting bagi generasi muda Indonesia.

"Harian surat kabar dan majalah merupakan batu loncatan sejarah dari peradaban manusia," ucap Budi.

Sebuah komunitas literasi yang dikelola oleh Bandung Mawardi dari Colomadu, Surakarta, selalu terlibat dalam pameran.

Pada Sabtu lalu, para mahasiswa diundang untuk datang ke pameran tersebut untuk belajar mengabadikan momen tersebut bukan menggunakan kamera namun kata-kata.


Sumber: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini