Belajar Toleransi dari Suku Tengger

Belajar Toleransi dari Suku Tengger
info gambar utama

Toleransi menurut Micheal Wazler (1997), merupakan keniscayaan terhadap ruang publik dan individu. Karena tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful coexistence) diantara berbagai kelompok masyarakat dari berbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan dan identitas.

Toleransi sudah sangat dikenal oleh para masyarakat suku Tengger, di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Hal inilah yang menjadikan masyarakat suku Tengger hidup penuh dengan kerukunan meskipun mereka memiliki perbedaan latar belakang agama. Pada dusun Ngadas sendiri, komposisi agama yang dianut oleh masyarakat suku ini sebagai berikut : umat Islam sekitar 30% dan umat Buddha 60% sedangkan sisanya merupakan umat Hindu dan Kristen.

Meskipun memiliki perbedaan, masyarakat suku Tengger memegang teguh Adat Tengger. Mereka percaya bahwa agama tidak hanya mengatur kehidupan manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan, tetapi juga mengatur sesama manusia walaupun berbeda keyakinan (Suryadi, 2016)

Keunikan mereka terletak pada kearifan lokal yang mereka masih pertahankan hingga saat ini. Mulai dari upacara ritual hingga melakukan tradisi dalam rangkaian siklus hidup, masyarakat suku Tengger secara utuh masih melakukannya. Dalam sisi teologis, masyarakat suku Tengger tetap melakukan ibadah sesuai dengan agama yang dianut namun mereka masih memiliki keyakinan yang kuat terhadap roh, arwah orang yang meninggal, dan makhluk halus. Mereka meyakini bahwa desa mereka dijaga oleh para roh maka dari itu upacara adat tetap dilakukan agar menciptakan suatu keharmonisan dan keseimbangan didalam hidup mereka.

Selain dari sisi teologis, masyarakat ini kental dengan sisi sosialnya. Kerukunan mereka tercipta karena praktik-praktik yang mereka biasa lakukan setiap hari. Terlebih lagi tidak ada pengkotakan khusus berdasarkan agama. Hal ini membuktikan bahwa perbedaan agama tidak menjadi persoalan bagi mereka.

Praktik wujud kerukunan pada masyarakat suku Tengger

Pada masyarakat suku Tengger, praktik saling menghormati ditunjukkan dengan kesediaan untuk memenuhi undangan dari orang lain. Praktik ini memiliki istilah sayan. Apabila seseorang mendapatkan undangan untuk menghadiri hajatan warga yang lain maka ia harus hadir, berlaku pula sebaliknya.

Tradisi membagi makanan juga menjadi praktik yang biasa dilakukan, terutama pada saat hari raya. Pada hari raya Karo contohnya, terdapat tradisi genten cecelukan, yaitu tradisi saling mengundang makan tetangga.

Dalam kehidupan secara kolektif pun, masyarakat suku Tengger melakukan kegiatan bersama-sama seperti gotong-royong dan kerja bakti tanpa membeda-bedakan agama. Bahkan uniknya, dalam pembangunan rumah ibadah semua warga turut berpartisipasi tanpa terkecuali.

Untuk kegiatan yang merupakan kepentingan pribadi, seperti hajatan, membangun atau memperbaiki rumah, warga suku Tengger juga saling bantu atau disebut dengan istilah gentenan.Gentenan adalah pada saat orang yang membantu tersebut memiliki hajatan atau pekerjaan, maka warga yang tadinya telah dibantu akan gentenan membantu dengan bentuk yang serupa dari apa yang telah ia terima, dan ditambah dalam bentuk lain, kemudian nantinya harus diganti lagi jika orang tersebut membutuhkan bantuan lagi, demikian seterusnya.

Hal ini tidak semata-mata hanya sebuah kebiasaan yang dilakukan terus menerus, tetapi ada pandangan hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat suku Tengger. Dalam budaya Tengger, hidup manusia tergantung kepada pihak di luar dirinya. Pemikiran masyarakat bahwa mereka manusia sesungguhnya lemah, dan dapat menjadi kuat karena dikuatkan dengan dukungan dari pihak-pihak lain. Pihak pihak tersebut harus dihormati dan disampaikan rasa syukur, oleh karena pihak-pihak tersebut yang telah menjadikan mereka mampu bertahan hidup, mewujudkan keinginannya, memperoleh kesejahteraan, dan melindungi mereka. Demikian pula terhadap bantuan dan dukungan pihak lain bagi kepentingan dirinya. Maka harus dibalas melalui pemberian yang setimpal.

Adapun sikap saling dukung satu sama lain juga menjadi pegangangan bagi masyarakat suku Tengger. Sikap ini diwujudkan dalam bentuk sikap saling hormat menghormati, bekerjasama, dan menghargai orang lain yang semuanya itu terwujud dalam norma perilaku kesopanan secara adat. Aturan kesopanan menuntut agar setiap pemberian harus diterima dengan baik, dan harus dibalas dengan baik pula. Pandangan inilah yang melahirkan toleransi dan rasa kebersamaan yang erat didalam masyarakat suku Tengger.


Sumber:

Suryadi. (2016). Religiosity Value Tengger Tribe Probolinggo In East Java: Portrait Fringe Society Multiculturalism. International Seminar on Islamic Civilization, 533-551

Haryanto, Joko Tri. (2014). Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama Pada Komunitas Tengger Malang Jatim. Jurnal Analisa, 21, 201-213

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini