Semua Orang di Desa Ini Mampu Berbahasa Isyarat

Semua Orang di Desa Ini Mampu Berbahasa Isyarat
info gambar utama

Bagi siapapun yang berkunjung ke Bali, Bahasa Inggris menjadi bahasa yang menjadi alat komunikasi universal, dimana penduduk lokal pun dapat berbahasa Inggris dengan baik. Selain wisatawan dari Indonesia sendiri, hanya sedikit wisatawan asing yang menguasai bahasa Indonesia. Terlebih bahasa Bali, jika bukan penduduk asli Bali, mungkin tidak akan mengerti bahasa ini. Namun, jauh di tengah hutan di utara Bali, ada bahasa yang lebih sulit dimengerti, bahasa yang secara geografis terkonsolidasi, asing bahkan bagi orang Bali asli: kata kolok, sebuah bahasa yang tidak pernah disuarakan.

Warga lokal menunjukkan bahasa Isyarat cinta | Foto: Matt Alesevich / Vice
Warga lokal menunjukkan bahasa Isyarat | Foto: Matt Alesevich / Vice

Kata kolok atau dikenal sebagai bahasa isyarat untuk difabel tuna rungu merupakan bahasa isyarat pedesaan yang unik, independen dari bahasa isyarat internasional maupun Indonesia. Kata kolok sudah menjadi alat komunikasi di desa Bengkala selama tujuh generasi, dimana 44 dari 3003 penduduknya merupakan tuna rungu. Dalam bahasa Bali, Bengkala terkadang disebut sebagai "Desa Kolok" - desa tuna rungu.

Gapura menuju Desa Bengkala |
Gapura menuju Desa Bengkala | Foto: Matt Alesevich / Vice

Persentase tuna rungu yang tinggi di Bengkala disebabkan oleh gen resesif geografis-sentris bernama DFNB3, yang sudah ada di desa ini selama tujuh generasi. Selama bertahun-tahun warga desa percaya bahwa tuna rungu tersebut merupakan akibat dari kutukan.

"Legenda yang beredar menyebutkan bahwa dua orang dengan kekuatan sihir bertengkar satu sama lain dan mengutuk satu sama lain hingga menjadi tuna rungu," kata walikota Bengkala, Ida Mardana, yang berbahasa Bali, Indonesia, dan Inggris, serta menguasai kata kolok. "Arti dari Bengkala adalah 'sebuah tempat untuk berlindung.'"

Ida Mardana, Walikota Bengkala |
Ida Mardana, Walikota Bengkala | Foto: Matt Alesevich / Vice

Masyarakat Bengkala mengajarkan bahwa kita justru harus merangkul mereka dengan kebutuhan khusus. Alih-alih mengasingkan warga yang mengalami tuna rungu, mereka justru beradaptasi dan memutuskan untuk menggunakan kata kolok agar dapat membaur. Di seluruh desa, warga Bengkala berbicara menggunakan tangan. Kata kolok diajarkan kepada anak-anak di rumah dan di sekolah sebagai bahasa kedua atau ketiga, menanamkan benih kesetaraan agar tumbuh hingga mereka dewasa - juga mempersiapkan jikalau saat mereka dewasa mereka memiliki anak yang ternyata tuna rungu, karena hampir 10% dari warga yang dapat mendengar di desa ini membawa gen resesif keadaan tuna rungu.

"Siswa tuna rungu belajar bersama dengan siswa yang tidak tuna rungu disini," ucap Mardana. "Para guru menggunakan bahasa isyarat dan berbicara secara bersamaan." Maka dari itu, hampir semua orang tahu kata kolok: sehingga populasi tuna rungu dan tuna wicara dapat berkomunikasi dengan mudah. Bagaimana pernah ditulis di buku berjudul Invisible People, "terlahir tuna rungu [di Bengkala] bukanlah suatu hal yang dimiliki oleh anak tersebut saja. Hal tersebut milik seluruh warga [Bengkala]."

Wayan Sandi dan Wayan Ngarda, warga desa Bengkala |
Wayan Sandi dan Wayan Ngarda, warga desa Bengkala | Foto: Matt Alesevich / Vice

Perbedaan antara warga tuna rungu dan yang mampu mendengar disini cukup rendah dibandingkan dimanapun di seluruh dunia. "Saya merasa setara dengan yang lainnya," Wayan Sandi, seorang warga tuna rungu berumur 72 tahun, mengisyaratkan jari telunjuknya untuk menekankan kata setara. "Kita semua adalah satu di komunitas ini."


Sumber: Vice | Great Big Story

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini