Mengintip Indahnya Kokokan di Petulu Bali

Mengintip Indahnya Kokokan di Petulu Bali
info gambar utama

Petang datang dan ribuan bangau-bangau kecil yang disebut Kokokan oleh warga sekitar pun pulang. Memutari Dusun Petulu Gunung, Ubud, Bali, lalu hinggap di pepohonan paling tinggi dan rapat. Mereka tak pernah lupa waktu saat pulang.

Ketika rona jingga senja menghilang berganti petang, langit tiba-tiba dipenuhi gelombang burung terbang rendah. Mereka berkelompok terbang dari sejumlah penjuru, memutar terbang melingkar dahulu sebelum hinggap di sejumlah pepohonan.

Kawanan Kokokan ini dilindungi, bahkan tiap 6 bulan sekali ada ritual untuk menghormatinya saat Hari Raya Kuningan. Warga membuat sesajen dan bersembahyang di Pura Puseh lan Dalem. Warga dusun yang pernah mendapat Kalpataru pada 1991 karena upaya perlindungan satwa ini meyakini perlindungan dari Ida Gede Kokokan, nama sakral untuk kawanan burung berbulu dominan putih ini.

Burung Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis) adalah jenis yang mendominasi di desa ini. Ada yang menyebut white heron atau bangau putih. Made Surita, seorang pemandu wisata pengamatan Kokokan yang bertugas di pos tiket dengan spanduk White Heron Village ini mengingatkan jika ingin mengamati Kokokan, sebaiknya datang pukul 6 sore. Pagi sampai siang tak banyak di dusun ini karena mereka sudah mengelana mencari makan sampai petang.

Siluet burung di sela rumah tradisional warga sekitar dan pohon tempat bertengger di Desa Petulu, Ubud, Bali | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Surita menyebut kawanan ini kompak mulai meninggalkan sarangnya sekitar pukul 4 dini hari. Jadi waktu pengamatan koloni dalam suasana terang cukup pendek, setengah jam dari 18.00-18.30 WITA tiap harinya. Malam hari, dedaunan dan ranting pohon menyembunyikan para burung.

Jika ingin melihat dan mendengar cuitan bayi-bayi burung, mereka bereproduksi sekitar Oktober-Januari. Pada saat itu, di jalan-jalan dusun tepatnya bawah pohon akan terlihat sejumlah telur pecah karena terjatuh.

Desa Petulu menyambut kehadiran burung-burung ini sejak mulai banyak datang sekitar 1965. Ini periode gelap Indonesia saat banyak peristiwa pembantaian warga yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia. Termasuk di Bali, puluhan ribu warga tak bersalah diyakini jadi korban.

Koloni burung bangau kembali ke sarangnya pada petang hari di Desa Petulu, Ubud, Bali | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Terkait ini, ada yang yang mengasumsikan kawanan burung adalah roh-roh korban. Namun Surita, pemandu dan petugas loket tiket ini membantah. Menurutnya ada empat hal kenapa koloni burung ini memilih dusunnya pada 1965.

Pertama, ada banyak pohon bunut wot, istilah lokal untuk pohon mirip beringin ini tapi cabang-cabang lebih banyak dan kecil sehingga cocok untuk sarang. Saat itu sangat lebat berjajar di pinggir jalan desa dan kebun-kebun belakang. Kedua, udara sejuk cocok untuk bertelur. Ketiga, dusun dikelilingi sawah artinya bahan makanan cukup banyak untuk burung seperti serangga belalang, jangkrik, dan lainnya. Keempat, warga membuat ritual perlindungan atau upacara otonan tiap enam bulan sekali. “Ada pretima burung di dalam pura,” urai Surita menjelaskan benda yang disakralkan itu.

Hamparan sawah dengan teraseringnya yang rapi masih nampak di desa ini. Namun makin terancam karena pembangunan villa dan restoran terus marak. Membuat alih fungsi lahan pertanian berjalan cepat. Bisa jadi ini penyebab para burung ini makin jauh mengelana mencari makan, makin sulit dilihat di sekitar desa. Kecuali saat mereka terbang pulang dan hinggap di pepohonan sekitar pemukiman.

Surita menyebut ada 3 jenis bangau kecil di sini, yakni blekok berbulu cokelat dan hitam, bango-bango berbulu kuning putih, dan kokokan berbulu nyaris seluruhnya putih.

Pohon bunut adalah rumah tempat bertengger dan bersarang koloni burung bangau atau kokokan di Desa Petulu, Ubud, Bali | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Sejumlah turis terlihat mendekati pepohonan untuk melihat lebih dekat bagaimana sarangnya dan memotret koloni tiap pohon. Rumah-rumah penduduk yang sebagian berundag dan lebih tinggi dari jalan raya membantu turis mendekati pohon. Sebagian pohon terlihat sudah pernah ditebang. Dari pandangan mata terlihat semakin lebat dan tinggi pohon, makin banyak jumlah burungnya. Namun tak hanya pohon bunut yang dijadikan rumah, ada juga pohon bambu, kelapa, dan nangka.

Selain berkurangnya lahan sawah tempat mencari makanan, ancaman lain adalah berkurangnya pepohonan. Pohon-pohon ini tumbuh di depan rumah penduduk, tak sedikit merangsek beton atau bangunan rumah karena akarnya kuat. Saat musim hujan, dahan-dahannya banyak dipangkas karena takut mengenai rumah.

Kekhawatiran ini juga jadi topik penelitian. Salah satunya bertajuk Monitoring Populasi Burung Kuntul Kerbau Bubulcus Ibis Yang Berbiak di Desa Petulu Ubud Bali Pasca Perabasan Pohon Bersarang yang dilakukan pada Desember 2016. Tim penelitinya adalah Luh Putu Eswaryanti Kusuma Yuni, Deny Suhernawan Yusup, A.A.G. Raka Dalem, dan Job Nico Subagio dari Program Studi Biologi, FMIPA Universitas Udayana. Ditampilkan dalam prosiding Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia 3 (KPPBI 3) pada 2‐4 Februari 2017 di Universitas Udayana, Bali.

Hasil penelitiannya bahwa Burung Kuntul kerbau menggunakan wilayah tersebut untuk bertengger maupun untuk aktivitas reproduksi. Tercatat jumlah total pada musim berbiak sejumlah 2.774 individu dewasa, nesting (anakan dalam sarang) sebanyak 957 individu, dan fledgling (anakan di luar sarang) sejumlah 588 individu. Jumlah total sarang aktif yang ditemui adalah 3.500 sarang.

Penelitian itu menyarankan kebijakan perabasan pohon bersarang di Desa Petulu pada saat burung Kuntul kerbau selesai masa reproduksi perlu mendapat pertimbangan lebih mendalam. “Makin lebat dan tinggi pohonnya makin banyak sarangnya. Mereka mencari dahan yang cocok,” ujar Luh Putu Eswaryanti Kusuma Yuni, dikonfirmasi Mongabay Indonesia.

Sebidang sawah di perbatasan Desa Petulu, Ubud, Bali, yang makin banyak beralih fungsi jadi villa atau restoran | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Burung Kuntul kerbau merupakan burung penghuni lahan basah yang bersifat kosmopolitan, sehingga umum di jumpai hampir diseluruh dunia, termasuk di wilayah Asia Tenggara. Burung ini termasuk dalam keluarga Ardeidae, dan statusnya tercatat sebagai spesies dengan resiko rendah (least concern) dalam daftar IUCN dan telah dilindungi oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.7/1999.

Burung ini dinamakan Kuntul kerbau atau ternak (cattle egret) karena sering berada bersama‐sama ternak sapi atau kerbau, memangsa serangga atau vertebrata kecil lainnya yang hinggap di tubuh ternak tersebut. Sehingga terdapat interaksi yang bersifat saling menguntungkan untuk kedua jenis hewan tersebut (Elfidasari, 2007).

Terdapat berbagai tanggapan masyarakat di sekitar wilayah Kecamatan Ubud (pro dan kontra) terkait perabasan pohon bersarang burung Kuntul kerbau tersebut. Sebagian besar masyarakat mengkhawatirkan jika perabasan pohon‐pohon ini akan mengganggu aktivitas bersarang burung Kuntul kerbau yang telah bertahun‐tahun lamanya berlangsung di Desa Petulu, yang selanjutnya dapat berpengaruh kepada jumlah kunjungan wisatawan ke desa mereka untuk melihat burung‐burung tersebut.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini