FENOMENA NOVEL CANTING KARYA FISSILMI HAMIDA

FENOMENA NOVEL CANTING KARYA FISSILMI HAMIDA
info gambar utama

FENOMENA NOVEL CANTING KARYA FISSILMI HAMIDA


Judul Novel : Canting (gusti paring pitedah, bisa liwat bungah, bisa liwat susah)
Karya : Fissilmi Hamida
Terbitan : KMO Indonesia
Genre : Javanese romance
Latar : Yogyakarta dan Inggris

Geliat sastra beberapa tahun terakhir tengah tumbuh mekar kembali dalam ranah literasi. Di antara pusaran gejolak sosial, seperti maraknya pemberitaan hoax, SARA, radikalisme, terorisme, sastra hadir mengajak kita untuk berbudi pekerti yang luhur dengan kelembutan bahasa, meresapi setiap makna hakiki yang terkandung dalam kehidupan ini, ada keteraturan seni yang sangat artistik, perenungan panjang, penyatuan jiwa terhadap Tuhan, alam dan proses kehidupan yang ada. Jika biasanya kita mengenal rupa novel lewat karya beberapa penulis yang sedang booming misal Dee Lestari, Mery Riana, Asma Nadia, maupun puisi-puisi dari Sapardi Djoko Damono, Roman Picisan yang dihidupkan kembali.

Kini Fissilmi Hamida hadir mengajak kira untuk mengenal lebih dekat tentang Jawa, budayanya, daerahnya, keseniannya, semua tertuang lewat novel karyanya bernama, “Canting”. Dalam novel ini tokoh utama diperankan oleh Sekar Kinasih dan Hadi Suwito, tokoh antagonis diperankan oleh dr. ajeng (Rahajeng Sukmawati) dan bapaknya sekar serta tritagonis (peran pendukung) dimainkan oleh simbok, kanjeng ibu sundari, haryo, ratri, airlangga, eldo, ferdi dan mahasiswa Queen Mary.

Kisah dalam novel ini dimulai oleh bapaknya sekar yang menjodohkannya dengan Hadi Suwito (usia 28 tahun, anak tunggal dari mantan lurah desa Sardonoharjo yang sekaligus pemilik the House of Sundari, lulusan MBA fak. Ekonomi dan Bisnis UGM serta Double Degree jurusan MSc International Bussiness di Queen Mary University of London, Merylebone). Awalnya sekar tidak sepakat dinikahkan muda karena ia tidak mau seperti temannya yang cuma berakhir di dapur, sumur dan kasur. Namun simbok menasehati dengan filsafat Jawa tentang perempuan. Dalam budaya Jawa, perempuan memiliki tiga sebutan yaitu wadon, wanito dan estri. Bahwa sejatinya kodrat perempuan menjadi pelayan suaminya namun sesuai hak dan perannya sebagi istri serta ibu yang mendidik anak-anaknya agar saleh, pintar dan rajin. Sehebat-hebatnya suami, ada peran dan dorongan dari istri di belakangnya. Simbok juga berujar, “Dedalane guna kawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah dhuwur wekasane, tumangkula yen dipun dukani, bapang den simpangi, ana catur mungkur.” Diambil dari tembang macapat sekar mijil yang artinya terlahir kembali.

Jarak umur antara sekar dan hadi terpaut 10 tahun. Hadi sudah sejak kecil kenal saat ibu sekar jadi rewang keluarganya. Seringkali hadi mengajari matematika kepada sekar dan bahkan sering berboncengan saat sekolah. Setelah dewasa hadi mulai menyukai sekar terlebih saat sekar melukis batik motif truntum –yang diambil dari kisah Sri Susuhunan Pakubuwono III dengan Ratu Beruk– dengan indah. Kangjeng ibu yang merupakan ibu dari hadi merestui hadi untuk menikah dengan sekar. Hadi merupakan orang yang sangat romatis, teduh hatinya, sabar, ngemong, mengayomi, dan juga cerdas.

Satu ketika hadi mengajak sekar dan mengulurkan sebuah cincin pertunangan yang sengaja dipesannya dua bulan sebelum kelulusannya dari Qeen Mary di kota Bringhton dengan jenis logam langka zirkonium yang tahan api dan panas bertuliskan sekar hadi. Ia berkata,”Gegaraning wong akrami, dudu bandha, dudu rupa, amung ati pawitane.” Merupakan tembang asmarandhana yang artinya sekar aku tidak peduli tentang harta, rupa, atau status sosialmu, karena yang aku lihat adalah hatimu. “Menikahlah denganku,” katanya. Lalu dilanjutkan “Lelaraning lara, ora kaya wong kang nandhang wuyung, mangan ora doyan, ora jenak dolan, ning omah bingung” (ciptaan Ismanto 1960an) yang artinya sakitnya sakit, tak sebanding dengan sakitnya orang yang sedang jatuh cinta. Tak enak rasanya untuk dimakan, tak nyaman rasanya untuk jalan-jalan, ketika di rumah dilanda kebingungan.

Lamaran sekar bak “Cinderella” dari Jawa atau kisah Mariya Qibtiya (seorang budak) yang dinikahi kanjeng nabi. Bagi hadi sekar itu tidak seperti mawar yang bisa langsung dilihat keindahan pesonanya. Namun bak “Gadis Jahe”. Ia tumbuh dalam tanah, tak tampak oleh mata, tersembunyi dalam bumi, walau di tempat gelap dan sunyi ia mampu memunculkan kembang yang berwarna putih agak merah muda dan kembang itu kini tubuh dalam hati hadi. Kebahagiaan sekar dan hadi layaknya legenda budaya Jawa “Mimi lan Mintuna” yang menggambarkan kesetiaan pada pasangan. Di hari pernikahannya hadi tidak percaya bahwa sekar juga bisa bahasa Perancis tatkala membalas sapaan ajeng (orang yang sangat memendam cinta pada hadi sejak kuliah). Sekar juga bisa bahasa Inggris karena ia dulu pernah menjuarai debat bahasa Inggris se-DIY.

Kisahnya bersama ajeng belum usai. Pepatah Jawanya seperti ini, “Kesrimpet bebed, kesandung gelung.” Menggambarkan lelaki yang sudah berumah tangga namun terjerat cinta perempuan lain di luar pernikahannya. Ajeng lupa kata-kata hadi, “Trenso kui kaya criping telo. Iso ajur yen kowe ora ati-ati le nggawa.” Di sisi lain sekar tahu kalau ada pesan di HP hadi yang bertuliskan love you. Hadi menenangkan hati sekar dengan berkata, “Lihatlah pantai dan ombak ini. Meski mereka berkelana namun akan terus kembali ke pelukannya. Tak ada pantai tanpa ombak sebagaimana sekar dan hadi.”

Filosofi hadi yang pernah dikatakan pada ajeng adalah tentang frekuensi. Kita bisa menikmati dari satu gelombang ke gelombang lain. Jika kita suka bahkan iklan atupun gangguan gelombang kita tetap suka. Ada juga filosofi mengaduk kopi dengan sendok yang artinya, “Sendhekno marang sing kuasa.” Kewajiban kita setelah ikhtiar adalah menyerahkannya pada yang di atas. Kopi tersebut didiamkan sebentar supaya adem artinya ati digowo lerem. Setelah melewatinya, disruput yang artinya sedaya rubeda bakal luput, segala godaaan mudah-mudahan terhindar.
Hadi berucap, “Tidak ada pernikahan tanpa godaan dan tanpa cobaan”. Layaknya “Sumpit” yang harus sepasang dan sama panjangnya. Perhatikan saat sumpit digunakan, satunya gerak, satunya diam. Maka jika dilanda kemarahan, jika satunya marah, satunya lagi diam. Dalam mengambil makanan sumpit tentu harus berpasangan. Apapun rasa makannya, bentuknya, semua dirasakan bersama. pahit, getir, masalah apapun itu.

Hubungan sekar dengan bapaknya memang tidak terlalu baik karena bapaknya lebih senang mendapatkan anak laki-laki dari pada anak perempuan dan ketiga anak lelakinya telah meninggal. Simboknya menasehati sekar untuk selalu berbuat baik sebagaimana Sura Dira Jayadiningrat, “Lebur dening pangastuti.” yakni kerasnya hati kelak akan kalah oleh kesabaran dan kelembutan hati. Dilanjut, filosofi teh yang belum diaduk, awalnya terasa pahit, namun terakhir sisa gula yang terendap akan terasa manis sekali. Sama halnya jika Gusti Pangeran memberikan kita ujian dengan rupa sesuatu yang pahit untuk dirasakan maka jika tabah menjalani, sabar menghadapi, kelak akan manis nantinya. Sekar ingat restu simboknya bahwa dengan menikah tidak lantas menghancurkan cita-citanya untuk sekolah lagi namun suami bisa membimbing untuk lebih maju. Sebagaimana hadi yang mengajak sekar untuk kembali sekolah.

Kanjeng ibu (ibunya hadi) ternyata pernah mengenalkan dan mengajari sekar membatik saat usia 7 tahun. Ada alat batik namanya gawangan kayu yang berguna untuk menaruh kain mori agar bisa untuk membatik di atasnya, berbentuk seperti papan jemuran. Ada anglo yang digunakan untuk menyalakan api dan memaskan lilin agar cair. Bahan bakarnya pakai arang bukan pakai kayu dan diaduk di wajan kecil. Canting digunakan untuk menggambar sebagaimana fungsi kuas cat air. Kemudian ada tiga filosofi canting. Gagang yang berarti keimanan manusia pada Tuhan. nyamplung yakni tempat cairan malam yang berarti seharusnya manusia membesarkan hati, menampung segala uji dan coba dalam hidupnya. Cucuk canting yang jika digunakan tergesa-gesa akan segera habis dengan hasil yang tidak maksimal namun jika digunakan dengan pelan dan hati-hati maka keindahan paripurna akan tercipta.

Ada kalanya hidup seperti tembang megatruh yang artinya terpisahnya jiwa dan raga. “Datan setik lamun kataman, datan susah lamu kelangan.” Artinya jangan mudah sakit hati, saat musibah datang menghampiri, jangan terus meletakkan kesedihan dihatimu saat kehilangan sesuatu. Sekar berkata, “Urip rekoso gelem, mukti uga bisa, sabaya mukti, sabaya pathi.” Artinya hidup dalam kesusahan tersedia, hidup makmur pun bisa, sehidup semati dalam suka maupun duka. Ada lagi filosofi bunga melati yang dalam Jawa berarti mlathi (rasa melat saka njero ati) berarti berucap dan berbicara selalu tulus dari hati nurani. Hadi membawakan sekar kembang melati kesukaannya saat ulang tahun ke 19.

“Gusti paring pitedah, bisa lewat susah, bisa lewat bungah”. Artinya Tuhan memberikan ujian bisa melalui kesusahan atau ujian kebahagiaan. Jiwa hadi kembali lagi setelah musibah menerpanya. Sekar menuntun jalannya agar tidak lupa jalan pulang. Hadi memuji mata sekar, “Mripate ndamar kanginan, idepe tumenga ing tawang.” Sekar selama ini tidak pernah meminta hadiah, namun hadi memaksanya, lalu sekar meminta hadiah untuk menghidupkan the House of Sundari yang tiga bulan ini vakum karena kebakaran gudang sekaligus menciptakan brand usahanya sendiri. sekar bisa menjahit dan tertarik dengan seni. Kata hadi, “Kadang hidup seperti jamu pahitan”. Pahit sekali namun membuat kita lebih kuat dari sebelumnya.

Ikatan pernikahan berjalan untuk memajukan, bukan mengekang, untuk melejitkan potensi bukan membatasi. Jalan Urip Sumoharjo, Klitren, Gondokusuman atau populer disebut Jalan Solo menjadi saksi sekar mencari kain project pertamanya, sekar suka seni dan menjahit. Kain pale turquoise, salah satu jenis warna biru kesukaan sekar. Filosofi kain oleh hadi dijadikan seperti pernikahan mereka. Kain yang sebelum jadi pakaian indah harus melewati proses panjang, dari pintalan benang, tusukan jarum, robekan gunting berkali-kali dan rasanya sakit. Filosofi sekar seperti bambu. Jenis rumput ini lentur tapi bisa mengokohkannya dari terpaan angin.

Sekar diingatkan agar “Ojo obah yen atimu keprayah. Aluwung meneng nganti atimu lerem.” Artinya jangan bertindak saat hatimu didera emosi, lebih baik diam sampai hatimu tenang lagi. cinta itu menguatkan. Ketika ajeng hadir lagi untuk minta dimadu hadi. Hadi menguatkan hati sekar dengan mengibaratkan sekar seperti mutiara. Bertahun-tahun ditempa dalam kegelapan perut kerang yang berada pekat di dasar laut lalu menjadi keindahan paripurna. Hadi tidak akan tergoda dengan perhiasan lain karena baginya sekar adalah mutiara yang ia selami dengan susah payah di dalamnya samudra. “Gusti paring dalan kanggo uwong sing gelem ndalan.” Artinya Tuhan akan memberikan jalan kepada siapa pun yang berjalan di atas kebenaran.

Di Kota Bath, Somerset, Inggris Hadi menggendong sekar di atas Pulteney Bridge atau jembatan sepanjang 45 meter yang melintasi sungai Avon. Kota Bath merupakan kota paling romantis dan menawan di Inggris dengan arsitektur klasik ala Georgian Architecture. Ada taman cantik nuansa klasik bernama Prior Park, The Roman Baths dengan kolam bagian tengahnya seperti Taman Sari di Yogyakarta. Sekar berpisah 3 bulan dari hadi untuk menempuh kursus intensif di Brintish Academy of Fashion Design di Mayfair, London sedangkan hadi mengelola bisnis baru yakni sovenir dengan tulisan pepatah Jawa melalui brand sekarhadi. Hadi membawa sekar ke Britania Raya dengan melatih soal IELTS secara privat. Tumpukan buku cambridge IELTS dan longman IELTS kadang membuat sekar frustasi di tengah prosesnya. Sekar pernah ditegur saat writing part 1 karena sekar menulis opini dan bukan trand. Sampai-sampai sekar bilang untuk berhenti saja. Namun, hadi bersabar untuk mengajarinya dan kembali meyakinkan impian sekar, menguatkan hati sekar. Di britania raya sekar juga mengambil workshop dengan Julian Robert (desainer inggris) yang juga jadi dosen di Royal College of Art, london dan pernah lima kali menyabet penghargaan Brintish Fashion Chourcil’s New Generation Award. Julian menciptakan teknik substraction cutting atau dikenal dengan teknik potongan zero waste. Di sana, hadi masih sama, orang yang sangat romantis, memberikan kejutan setangkai mawar merah saat ulang tahun sekar ke 22 tahun di depan khalayak ramai.

Novel ini mencoba mengenalkan khalayak pada budaya Jawa terutama tentang batik, peralatan batik khususnya canting, nilai filosofi yang terkadung di dalamnya sehingga sangat hayati bagi jalan hidup manusia serta ragam budaya Jawa dan tanah Yogyakarta. Tak lupa sosiologis Inggis sebagai pelabuhan baru sekar meniti karir dimunculkan. Beberapa pitutur Jawa, pepatah Jawa, kiasan, sebelas tembang macapat turut mewarnai. Novel ini secara luas, menceritakan tentang biduk rumah tangga. Ada cobaan dan godaan baik dari keluarga maupun orang ketiga, namun ketika kepecayaan dan cinta menguasai keduanya. Maka ikatan mereka akan kokoh. Bagaimana pun ombak datang dan badai menghantam. Panggilan unik yang diberikan hadi kepada sekar seperti gadis jahe, mutiara, bambu, sigaring nyawaku, menjadi satu gletaran yang menarik bagi pembaca saat membaca novel ini sampai usai. Jadi selamat membaca dan dijamin seru.


Sumber: Arina Ulfatul Jannah, Novel Canting

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini