Wujud Budaya Jawa yang Tidak Berwujud

Wujud Budaya Jawa yang Tidak Berwujud
info gambar utama

Sejak 2017 lalu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, seperti disebut Republika, telah berhasil mengidentifikasi sebanyak 652 bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahasa-bahasa tersebut dituturkan oleh sekitar 740 suku bangsa atau etnis yang berbeda. Diantara suku bangsa tersebut, terdapat suku Jawa yang memiliki 10 (sepuluh) dialek bahasa Jawa yang berbeda pula, yang dituturkan oleh 84,3 juta orang menurut kepala Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sugiyono, dan dinobatkan sebagai bahasa yang paling banyak digunakan untuk bertutur sapa di Indonesia, seperti dilansir Tempo.

Namun siapa sangka, ternyata masing-masing bahasa yang telah teridentifikasi tersebut memiliki ciri khas akan kekayaan kosakatanya. Begitu pula bahasa Jawa. Kekayaan kosakata bahasa dapat diamati dengan melihat sistem pengistilahan kekerabatan, karena istilah kekerabatan merupakan jenis kata bermuatan budaya setempat. Pada bahasa Jawa, istilah orang tua yang diacu oleh anak yaitu ‘bapak’ dan ‘ibu’. Lalu mengurut ke atas, yaitu orang tua dari bapak dan ibu diacu dengan ‘eyang’, yang sepadan dengan ‘kakek’ atau ‘nenek’.

Ternyata selain dua generasi ke atas, terdapat istilah untuk menyebut ‘kakek’ atau ‘nenek’ hingga 18 generasi ke atas, terutama pada bahasa Jawa dialek Pekajangan, Pekalongan. Berikut urutan pengacuan istilah dilihat ke Atas (level leluhur) dari sudut pandang ego :

Moyang ke-18. Eyang Trah Tumerah

Moyang ke-17. Eyang Menyo-menyo

Moyang ke-16. Eyang Menyaman

Moyang ke-15. Eyang Ampleng

Moyang ke-14. Eyang Cumpleng

Moyang ke-13. Eyang Giyeng

Moyang ke-12. Eyang Cendheng

Moyang ke-11. Eyang Gropak Waton

Moyang ke-10. Eyang Galih Asem

Moyang ke-9. Eyang Debog Bosok

Moyang ke-8. Eyang Gropak Senthe

Moyang ke-7. Eyang Gantung Siwur

Moyang ke-6. Eyang Udeg-udeg

Moyang ke-5. Eyang Wareng

Moyang ke-4. Eyang Canggah

Moyang ke-3. Eyang Buyut

Moyang ke-2. Eyang (kakek/nenek dlm bhs Indonesia)

Moyang ke-1. Bapak/Ibu

Selanjutnya kita diposisikan di sini, yang biasanya dikenal dengan istilah ‘ego’.

Selain istilah untuk menyebut kerabat dari generasi atas, terdapat juga istilah untuk menyebut keturunan. Bahasa Jawa dialek Pekalongan memiliki kosakata untukn menyebut hingga keturunan ke 18! Berikut urutan pengacuan istilah dilihat ke bawah (level keturunan) dari sudut pandang ego:

Keturunan ke-1. Anak

Keturunan ke-2. Putu

Keturunan ke-3. Buyut

Keturunan ke-4. Canggah

Keturunan ke-5. Wareng

Keturunan ke-6. Udeg-udeg

Keturunan ke-7. Gantung siwur

Keturunan ke-8. Gropak Senthe

Keturunan ke-9. Debog Bosok

Keturunan ke-10. Galih Asem

Keturunan ke-11. Gropak waton

Keturunan ke-12. Cendheng

Keturunan ke-13. Giyeng

Keturunan ke-14. Cumpleng

Keturunan ke-15. Ampleng

Keturunan ke-16. Menyaman

Keturunan ke-17. Menyo2

Keturunan ke-18. Tumerah

Kosakata pada urutan silisilah tersebut terlihat belum banyak diketahui khususnya di masa sekarang ini. Fenomena ini tidak hanya ditemukan di bahasa Jawa, tetapi juga di bahasa Bali. Sangat mungkin pula terdapat di bahasa-bahasa lain. Keanekaragaman ini menyiratkan bahwa di Indonesia, kekerabatan dan sopan santun terhadap yang lebih tua sangatlah penting. Selain itu, membuka pemahaman bahwa wujud dan warisan budaya tidak hanya yang berwujud, tetapi juga yang tidak berwujud seperti bahasa dan dialek, yang sama-sama harus dibanggakan dan dilestarikan.


Sumber: edusiana.com | Wikipedia.org | UNS | Okezone | GPS Wisata

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini