Jepang Era Sekarang, dan Indonesia 2050

Jepang Era Sekarang, dan Indonesia 2050
info gambar utama

Saya sangat sering bertemu dengan turis turis asal Jepang ketika di Bali, Jogja, atau di tempat-tempat lain di dunia; cukup mudah mengenali mereka, yakni suka sekali berfoto-foto, ramah dan sopan, murah senyum dan umumnya mereka sudah sepuh sepuh. Saya pernah terbang dari Tokyo ke Singapura, dan saya bertemu dengan banyak sekali turis-turis Jepang di pesawat tersebut, umumnya mereka memang sudah sepuh-sepuh.

Begitulah, ternyata benar adanya. Jepang sedang menghadapi masalah besar. Begitu banyak populasinya yang terdiri dari generasi tua. Rasionya adalah 1 : 1.74, yakni diantara 1 orang anak muda Jepang, terdapat 1,74 orang tua. Di Jepang, mereka yang telah berumur lebih dari 65 tahun mencapai 23% dari populasinya, dan satu-satunya negara di luar Eropa yang mendapat predikat “an aging nation”, atau terjemahan dramatisnya..bangsa yang menua.

Ada beberapa penyebab kenapa Jepang, dan juga negara-negara lain di Eropa dan Asia (kebanyakan adalah negara-negara dengan ekonomi mapan), yang perlahan menjadi bangsa yang menua. Diantaranya adalah trend keluarga kecil, pendidikan mereka yang tinggi diriingi dengan pemahaman mengenai overpopulation, pernikahan yang lambat, living space yang terbatas, mahalnya biaya pendidikan anak, malasnya pasangan modern untuk mempunyai anak, atau juga makin banyaknya wanita yang bekerja.

Warga senior Jepang | Asiasociety.org
info gambar

Dan khusus untuk Jepang, mereka juga mempunyai masyarakat yang terbiasa hidup sehat, sehingga umur rata-rata (harapan hidup) orang Jepang adalah yang tertinggi di dunia, yakni 86 tahun!

Kini, dalam waktu singkat banyak pertanyaan harus dicari jawabannya oleh pemerintah Jepang dalam contoh ini. Dengan jumlah penduduk berusia produktif yang jumlahnya mungkin akan turun hingga 50% pada dekade mendatang, sanggupkah mereka menopang populasi lainnya yang kian menua tersebut? Belum lagi, Jepang harus menanggung biaya perawatan kesehatan dan biaya pension bagi populasi sepuhnya. Inilah yang sering disebut high-dependency ratio. Dampaknya populasi sepuh akan sangat dirasakan bagi produktifitas suatu negara.

Yang jelas, usia di atas 65 tahun tidak lagi se-produktif ketika seseorang berusia 18-50 tahun, produktifitas sebuah negara juga akan menurun dengan menurunnya populasi muda, dan bertambahnya populasi tua. Untuk ‘menutupi’ hal ini, Jepang harus mendatangkan jutaan pekerja dari luar Jepang, dan mereka ini mengirimkan uangnya kepada keluarga mereka di negara asalnya, bukan untuk ‘merawat’ dan memelihara generasi sepuh di Jepang. Di satu sisi, Jepang perlu banyak orang muda dari luar negara yang uangnya dibawa keluar, di sisi lain pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk 'menafkahi' kaum lansia mereka .

Sangat sulit dan dilematis, memang.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia, menurut saya, adalah antithesis dari apa yang terjadi dengan populasi di Jepang saat ini. Setidaknya s epanjang kurun waktu 2015 hingga 2030 Indonesia memiliki kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak positif struktur umur penduduk, yaitu meningkatnya jumlah penduduk berusia produktif.

Pada kurun waktu itu Indonesia akan menikmati demographic dividen (keuntungan ekonomi atas struktur umur penduduk) karena selain jumlah penduduk berusia produktif meningkat, sebaliknya penduduk berusia non produktif berkurang.

Populasi bangsa yang makin muda | ulinulin.com
info gambar

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh BPS, jumlah usia produktif Indonesia meningkat dari 65% pada tahun 2000 menjadi 66,1% pada tahun 2010, dan jumlahnya akan terus meningkat hingga 2025 yang diprediksi mencapai 167 juta jiwa.

Bayangkan mereka ini, usianya produktif, mampu melakukan pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, secara teori mampu membuka lapangan kerja, membantu orang lain, menabung, dan membelanjakannya. Dan jumlahnya tidak main-main, 167 juta orang. Kalau dihitung kasar, seperti menggabungkan seluruh populasi Australia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Kamboja (termasuk para balita dan manulanya).

Roda-roda ekonomi seharusnya memang bergerak, dan menggerakan sebuah bangsa ke depan.

Bayangkan saja salah seorang dari mereka.

Perlu membeli smartphone, pulsa, makan di warung dan sesekali di restoran, nonton, beli baju, beli perlengkapan mandi, beli kendaraan, beli rumah, beli perhiasan, belanja online, beli peralatan naik gunung, atau diving, perlu terbang ke sana kemari, dan sebagainya.

Itu satu orang. Bayangkan kalau 167 juta!

Namun, opportunity ini bisa hilang percuma dan justru menjadi bencana, yakni apabila kualitas penduduk produktif di periode gemilang itu tidak memenuhi syarat bagi pertumbuhan ekonomi yang bermutu.

Saya tidak berani membayangkan, apa jadinya jika sebagian besar penduduk usia produktif tahun 2025, berpendidikan rendah, dan lapangan kerja tidak tersedia. Peluang dan opportunity di masa emas ini hilang, dan mungkin takkan pernah datang lagi dalam ratusan tahun ke depan..

Selain itu, efek sosialnya tak terbayangkan, karena hilangnya momentum untuk mengumpulkan kesejahteraan karena sekitar tahun 2050 ketika dependency ratio Indonesia kembali naik jadi 0,73, yakni banyaknya kelompok usia tidak produktif berasal dari kelompok usia tua yang harus ditanggung hidupnya karena tidak melakukan saving ketika terjadi masa gemilang (yang terlewat).

Ekonomi harus tumbuh cepat, lapangan dan ladang pekerjaan harus dibuat sebesar-besarnya, inovasi-inovasi harus digenjot, pusat-pusat produksi harus diadakan. Selain itu, sebenarnya kesempatan besar generasi muda saat ini terbuka luas di era ekonomi digital (internet) yang memungkinkan semua orang berkesempatan untuk berinovasi dan menjadi produktif, serta menghasilkan penghidupan yang layak. Untuk hal ini, penulis akan memaparkannya di tulisan selanjutnya

(Gambar utama : wallpaperswide.com)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini