'Tak Cukup Hanya Mengibarkan Bendera ataupun Menyanyikan Indonesia Raya

'Tak Cukup Hanya Mengibarkan Bendera ataupun Menyanyikan Indonesia Raya
info gambar utama

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Saya seringkali merinding bahkan pernah meneteskan air mata ketika mendengar lagu kebangsaan Indonesia di setiap event apalagi kalau event itu di luar negeri. Saya pun kalau mendengar hymne almamater saya juga merasa hal yang sama. Itu semua terjadi karena rasa kecintaan dan kebanggaan atau nasionalisme terhadap negara ini (atau pada almamater dalam kasus hymne tersebut). Saya yakin saya tidak sendiri dalam hal ini.

Saya adalah generasi tahun 50 -60 an –saya menyebutnya generasi S2 alias Sudah Sepuh (belum S3 atau Sudah Sangat Sepuh) sebuah generasi yang merasakan suasana nasionalisme karena 8-10 tahun setelah kemerdekaan; Indonesia ini masih mengalami ancaman dalam dan luar negeri, ada beberapa pemberontakan, konflik dengan Malaysia, perebutan Irian Jaya sampai pada pemberontakan PKI tahun 1965. Saya –meskipun masih kecil- sudah merasakan jiwa kebangsaan ketika mengintip acara pemakaman anggota KKO (sekarang Marinir) yang gugur di Kalimantan Utara ketika konflik dengan Malaysia di Makam Pahlawan di Jalan Kusuma Bangsa Surabaya, depan THR (Taman Hiburan Rakyat) dekat rumah saya.

Suara tembakan salvo dan lagu Gugur Bunga menggugah hati saya. Demikian pula saya punya perasaan yang sama ketika ikut mendengar pidato Bung Karno di Tugu Pahlawan Surabaya, mendengarkan suara roda besi ratusan tank milik Angkatan Laut/KKO yang melintas di jalan raya dekat rumah, dan suara pesawat MIG buatan Uni Sovyet di angkasa Surabaya; atau ketika mendengar lagu Indonesia Raya ketika pahlawan-pahlawan Bulu Tangkis yang berlaga di Thomas Cup, menang- semua itu di tahun-tahun 57 sampai tahun 60 an. Dan banyak lagi pengalaman “kebangsaan”s seperti itu yang pernah saya alami pada masa-masa itu.

Tentu dijaman “Now” ini pengalaman kebangsaan atau nasionalisme mungkin berbeda karena jaman yang saya alami diatas beberapa tahun dari kemerdekaan dimana kata-kata “Revolusi” itu sering saya dengar, sehingga suasana batin ikut merakan gentingnya kondisi negara.

Sekarang rasa kebangsaan itu muncul karena melihat pencapaian anak-anak bangsa ditingkat dunia. Sebut saja Zohri anak muda dari NTB yang rumahnya dari “Gedek” (=anyaman bamboo) yang menang lomba lari tingkat dunia di Finlandia; atau ketika saya menonton “ratusan kali” video reaksi orang-orang luar negeri terhadap penyanyi muda Khoirunissa – atau Nisa Syabian- yang semuanya “ketenggengen” (Jawa= Terpukau) dengan suara indahnya ketika menyanyikan lagu religi Deen Assalam atau Yaa Maulana. Orang-orang AS; Korea, Jepang, Pilipina, Inggris, Maroko, Palestina, Somalia dsb menangis mendengar lagu-lagu itu walaupun tidak mengerti maknanya (karena dalam bahasa Arab; kecuali mereka dari negeri Timur Tengah). Hati “Ke Indonesiaan” saya menggelora ketika semua orang luar negeri itu menyebut “Wow, she is from Indonesia…!!!”.

Nissa Sabyan | Trinun Makassar
info gambar

Saya ikut hanyut dengan lagu-lagu itu namun yang menggetarkan hati saya juga adalah mereka itu takjub dengan penampilan gadis mungil usia 19 tahun murid SMK Jakarta jurusan elektro dan otomotif dari – Indonesia! Saking terkenalnya Nissa Saybian (nama terakhir ini adalah nama grup gambus dimana Nissa ada didalamnya) jumlah yang menonton video nya itu sudah mencapai lebih dari 100 jutaan. Khusus untuk lagu Deen Assalam – jumlahnya 18 juta hanya dalam waktu satu minggu. Padahal kalau kita jujur penyanyi aslinya lagu itu dari negeri Arab bernama Sulaiman Al Mughny atau penyanyi Arab lainnya – suaranya juga merdu dan indah sekali. Tapi orang yang menonton tidak terkejut dengan menyebut “he is from..”

Rasa kebanggaan kepada bangsa ini muncul setiap kali mendengar kemenangan anak-anak bangsa di manca negara diberbagai bidang, dari lomba menembak militer dimana anggota-anggota TNI kita menang berkali-kali, lomba paduan suara, lomba matematik, fisika, lomba debat dalam bahasa Inggris, sampai lomba mobil bertenaga surya dan lomba Tilawatil Qur’an dan banyaknya orang luar negeri yang mengenal Indonesia seperti pada kasus Nissa Sabyan itu.

Sebaiknya menjelang hari Kemerdekaan, kita doakan akan banyak lagi anak-anak bangsa yang mempunyai prestasi tingkat dunia untuk menunjukkan bahwa Indonesia itu bukan negara lemah, dan agar berita-berita positif seperti itu mengalahkan berita-berita negatif misalnya Kali Jakarta yang berwarna hitam dan bau, Bupati dan Walikota yang korupsi, saling menjelekkan masing-masing pendukung Calon Presiden dsb dsb. Bukan berarti berita seperti itu tidak penting, itu tetap penting untuk bahan refleksi diri agar berbenah diri kedepannya.

Namun, untuk menggugah rasa kebangsaan kita agar tidak luntur, maka perlu didorong (dengan suasana yang kondusiv) kreativitas anak-anak bangsa untuk tampil di arena global dengan inovasi mereka. Karena rasa nasionalisme itu muncul tidak hanya karena mendengar lagu kebangsaan; namun juga karena menyaksikan anak-anak bangsa ini pintar-pintar dan mampu bersaing di era globalisasi yang persaingannya sangat ketat.

Dirgahayu Republik Indonesia.

Alumni Universitas Airlangga Surabaya

University of London, Staff Khusus Rektor Unair

Bidang Internasional, dan Authorized Author of GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini