Mengenang Masa Kecil Dengan Bermain di Rumah Pohon Bukit Lemped

Mengenang Masa Kecil Dengan Bermain di Rumah Pohon Bukit Lemped
info gambar utama

Warga Bali bersiasat untuk tak tergiur menjual tanah warisan keluarga. Salah satunya mengelola tanah dan pepohonan di atasnya dengan membuat usaha pelancongan yang tren saat ini.

Keputusan ini diambil I Wayan Putu Mudita, pemilik Rumah Pohon Bukit Lemped yang berlokasi di Desa Peladung, Padangkerta, Karangasem. Ia memetakan vegetasi di bukit yang menurutnya kurang produktif, lalu menatanya menjadi rumah-rumah pohon saling menyambung serupa rumah suku etnik di tengah hutan.

Masih banyak keluarga-keluarga di Bali yang tidak mensertifikatkan tanah warisan untuk keluarga besar. Selain dianggap tanah guna kaya atau warisan leluhur, juga kesulitan bagaimana membaginya jika sudah tersertifikatkan.

Menariknya, ketika tanah tak disertifikatkan, sulit bagi salah satu anggota keluarga menjualnya. Terutama jika punya warisan tanah cukup luas, di lokasi wisata, dan memiliki pemandangan hijau dan indah di sekitarnya. Tanah dengan tipe seperti ini mudah dijadikan target makelar untuk meraup keuntungan dijual ke investor. Akhirnya lahan hijau berubah fungsi jadi villa, restoran, atau hotel.

Pemandangan dari salah satu landasan rumah pohon Bukit Lemped, Desa Peladung, Padangkerta, Karangasem, Bali: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Rumah pohon bukit Lemped milik keluarga Mudita ini terlihat dari pinggir jalan raya utama yang menghubungkan objek wisata Tirta Gangga dan Kota Amlapura di Kabupaten Karangasem. Sedikitnya 2 jam dari Denpasar dengan berkendara.

Mudah terlihat karena lokasinya tinggi, di sebidang bukit kurang dari setengah hektar. Jembatan-jembatan panjang dan pendek mengular di dahan-dahan pepohonan. Berujung di pondokan-pondokan dari kayu dan ranting. Ada yang berbentuk sarang burung, landasan papan, dan lainnya.

Sedikitnya ada 4 landasan atau yang disebut rumah-rumah pohon ini. Rumah pohon tertinggi 45 meter. Ketinggian yang cukup menantang terutama saat melalui jembatan gantung atau undakan melingkar menuju rumah pohon ini.

Dari sini, pemandangan sekitar adalah sawah, bebukitan, pemukiman sekitar, dan Gunung Agung di arah Timur. Tantangan lain adalah melalui sebuah jembatan panjang sekitar 50 meter terbentang antara satu bukit ke bukit lainnya. Melewati sungai kecil dan sawah di bawahnya.

Gunung Agung yang sedang erupsi tertutup awan, terlihat jelas dari rumah pohon Lemped, Desa Peladung, Padangkerta, Karangasem, Bali ini. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.
info gambar

Di tiap mulut jembatan, ada papan peringatan berapa orang yang bisa masuk dan melalui jembatan ini dalam waktu yang sama. Rata-rata 2-4 orang tergantung besar kecilnya pohon.

Pengunjung lebih terkonsentrasi di bawah, duduk santai atau main ayunan. Menikmati kerindangan pohon dengan tiket masuk Rp15 ribu ini. Pepohonan yang menjadi landasan berusia puluhan tahun jenis beringin seperti kepuh dan bunut. Lainnya, pohon-pohon mangga tua yang sudah tak banyak berbuah.

Sebelum menatanya menjadi tempat rekreasi, Mudita bingung bagaimana mengelola lahan warisan keluarga agar mengahasilkan. “Saya bingung pohon-pohon ini kok tidak menghasilkan, kalau ada berbuah, mangganya busuk,” sebut pria tengah baya ini.

Ia pun hendak menjual, namun adiknya melarang. Mudita dan keluarganya pun memanfaatkan untuk santai dan berteduh. Sepanas apa pun cuaca di rumah dan jalanan, saat di bukit Lemped ini mereka merasa amat sejuk.

Akhirnya mereka menyadari pepohonan tua yang tumbuh sendiri dan sudah ada sejak ia kecil ini adalah harta atau asset keluarga. “Walau dijual dan punya milyaran, tak bisa punya pohon seperti ini lagi. Pohon kan tak bisa dipindahkan,” ia mengingat perenungannya.

Jembatan dengan sling baja ini menjadi alternatif setelah gagal membuat jembatan bambu karena angin sangat kencang di rumah pohon Bukit Lemped, Karangasem, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Apalagi tetangga sebelah rumah juga menata sebidang tanah penuh pohon besar mereka dengan membuat rumah pohon. Namanya rumah pohon Temega, beroperasi sekitar 2 tahun. Jadi di desa produsen air jernih dari bebukitan sekitarnya ini kini ada dua tempat rekreasi rumah pohon yang dibuka untuk umum.

Desa Peladung ini pada akhir 2012 lalu menolak rencana eksplorasi sebuah perusahaan air mineral karena khawatir kekurangan debit air bersih dari sejumlah titik sumber air di desanya.

PT Tirta Investama mendapatkan izin eksplorasi No.01/2012 tertanggal 9 oktober 2012 dari Bupati Karangasem Wayan Geredeg. Sejak izin ekplorasi didapatkan, perusahaan air minum kemasan itu langsung melakukan pengeboran di dua titik yang berdekatan yang terletak di tengah sawah subak bungbung, wilayah Desa Adat Peladung.

Keresahan dirasakan oleh 297 kepala keluarga warga Desa Adat Peladung yang akhirnya sepakat menolak eksplorasi tersebut. Apalagi, kegiatan eksplorasi itu direncanakan akan berlanjut dengan kegiatan eksploitasi air bawah tanah untuk dikemas menjadi air mineral bermerk Aqua. PT. Tirta Investama berencana membangun sebuah pabrik di kawasan tersebut.

Sumber air bersih ini dipasok dari lebatnya bebukitan sekitar. Cadangan air diikat oleh akar-akar pohon besar dan tua sehingga terus mengalir termasuk di musim kemarau. Salah satunya untuk irigasi persawahan. Raja Karangasem di masa lalu membuat Tirta Gangga, istana air, tempat rehat dan mandi yang kini masih ramai jadi tempat plesiran.

Lemped dalam bahasa Bali berarti melengkung. Di masa lalu, warga memberi nama sebuah tempat sesuai dengan bentuk, vegetasi, dan fungsinya.

Rumah Pohon Bukit Lemped di Karangasem, Bali ini menjadi siasat bertahan menjaga warisan leluhur tanah dan pohon-pohon tua agar tak dijual. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Sebuah warung memasok aneka logistik bagi pengunjung di rumah pohon bukit Lemped. Sementara di sejumlah sudut ada bekas kandang binatang yang kini kosong. Pengelola rumah pohon ini mendapat pengalaman terkait pemeliharaan hewan liar. Pihak terkait datang dan menyita beberapa binatang yang sebelumnya dikandangkan.

Mudita berkilah ia tidak tahu soal regulasi hewan liar karena monyet hitam, landak, dan kucing hutan belacan dibelinya dari warga sekitar yang menawarkan. “Ada yang lapor BKSDA lalu diambil. Saat saya googling ternyata dilindungi. Ada warga yang nangkap, daripada dibuang saya pikir mending dipelihara,” kisahnya saat membeli dari warga. Ia mengaku baru tahu dan tidak keberatan menyerahkannya ke BKSDA. Sebagai pengganti ia mengaku ditawari penangkaran Jalak Bali yang kini makin digalakkan berbasis masyarakat.

Ketika ke rumah pohon ini pada awal Juli lalu, Mongabay Indonesia melihat dua monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang dipelihara. Satwa yang banyak tersebar di sekitar bebukitan Karangasem ini diikat dengan tali panjang, dibuatkan rumah dan diletakkan di pohon. Kami mengingatkan Mudita walau satwa ini tak dilindungi juga perlu mendapat perlakuan yang baik.

“Banyak pengunjung minta menginap, meditasi, outbound malam tapi kami tak izinkan, karena tak bisa diawasi,” sebut Mudita. Jika musim liburan, rumah pohon ini bisa dikunjungi 1000 orang per hari. Sementara hari biasa jauh lebih sedikit. Pengelola menyumbang sejumlah penghasilannya ke desa adat.

Konstruksi tersulit adalah membangun jembatan yang kuat. Ia mengaku sering gagal membuat jembatan kayu, bambu, dan besi. Terlebih saat diuji dalam kondisi angin kencang karena ketinggian rumah pohon di atas 10 meter. Saat ini jembatannya kombinasi kayu, tali, dan sling baja. Bukit Lemped beruntung dikelilingi persawahan yang status tanahnya milik desa, jadi kemungkinan alih fungsi masih cukup lama. Juga pohon-pohon besar dengan batang lurus dan dahan kuat yang memproduksi banyak oksigen dan menjaga air tanah.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini