Optimisme Indonesia pada Pesatnya Industri Start-up

Optimisme Indonesia pada Pesatnya Industri Start-up
info gambar utama

Lima hingga sepuluh tahun yang lalu, khususnya masyarakat Indonesia tidak menyangka bahwa melakukan kegiatan sehari-hari seperti berbelanja, bekerja dan bahkan memesan taksi atau sekedar memanggil ojek akan dapat dilakukan hanya dengan beberapa sentuhan pada telepon genggam saja. Dunia digital merubah hampir semua aspek kehidupan dalam waktu yang relatif singkat, sekaligus menghilangkan sekat ruang dan waktu.

Aspek ekonomi dan pendidikan saat ini juga berorientasi kepada teknologi dan digitalisasi. Contoh yang paling mudah diamati adalah menjamurnya beragam jenis start-up di Indonesia, baik dari luar negeri mau pun besutan anak-anak negeri. Lahan dan pasar ekonomi baru mulai bermunculan dan makin menambah peluang bagi masyarakat Indonesia.

Hal ini, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, pada sambutannya di acara “3 Generasi Berkolaborasi untuk RI” yang diadakan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat Sabtu (04/08) lalu, sesuai dengan konsep yang dibawa Indonesia pada G20 Summit di Argentina nanti.

“saya nanti mewakili Indonesia di G20 membawa konsep bagaimana digital ekonomi dapat meningkatkan gini ratio dengan 3 cara yaitu purpose digitation, yaitu bagaimana meningkatkan pendidikan, bagaimana meningkatkan kapasitas kompetensi orang indonesia tidak lagi dengan cara tradisional dengan masuk kelas, misalnya ada Ruangguru (sebuah start-up buatan Indonesia di bidang pendidikan, red.). Lalu Ekonomi sharing, serta financial inclusion”, terangnya.

“melihat Quipper (yaitu start-up pendidikan yang berisi materi-materi serta metode pembelajaran untuk membantu belajar besutan Jepang, red.) saja bisa masuk ke Indonesia, saya berpikir, orang luar negeri saja melihat ini sebagai pasar, masa orang Indonesia tidak”, tambahnya.

Pada kesempatan sesi tanya-jawab di acara yang berlokasi di Hotel Novotel, Mangga Besar tersebut pula, bapak Rudiantara mengatakan, membangun iklim digital di Indonesia misalnya berupa pembangunan start-up adalah hal yang mudah. “Gampang (membangun) start-up! Tidak usah melihat di Amerika, cek saja permasalahan utama di Indonesia. Karena (pada) tiap masalah ada opportunity, ada proses bisnis, dan start-up memudahkan proses bisnis”.

Optimisme iklim digital di Indonesia, khususnya, dan di Asia saat ini, juga disadari oleh bapak Rudiantara dengan konkrit melalui pernyataannya bahwa beliau akan mulai mengirimkan pelajar ke India (India Institute of Technology) dan China (Tsinghua University), yang menurutnya merupakan salah satu basis akademi digital potensial di Asia.

“Kalau kita bicara tentang talent di dunia, kita kenal dengan B3: Bay Area, Beijing dan Bangalor. Tapi ini bukan dalam urutan, ya. Coba sebutkan nama-nama big company, pasti ada ‘tanda-tanda’ India”, terangnya, juga sembari bercanda dengan audiens.

Sambutan kunci tersebut juga direspon dengan supportif oleh para pengisi panel di konferensi ini. Misalnya dari Sebastian Togelang, dalam dalam kurun empat tahun, dia telah dapat menciptakan 4500 lapangan pekerjaan dari start-upnya, Kejora, yang bergerak di bidang Ventura. “Kita mulai dengan satu company di bidang entrepreneur dari kantor kami yang kecil, dan dengan didukung oleh ekonomi di Indonesia yang sangat maju, kita invest segera, kami bangun dari awal dan hingga 40 investment sekarang”.

“Saya juga mengundang Permias bila ingin belajar mengenai Indonesia, ya sudah, ngantor di kita saja, gratis”, tambahnya. “Tapi kita ingin start-up tetap fokus dengan produknya, tidak melulu fundraising karena waste of time”.

Menyambung dari pernyataan sambutan dari bapak Rudiantara mengenai permasalahan Indonesia yang dapat dijadikan proses bisnis, David Soong, pendiri Sweetescape dan Axioo, mengatakan bahwa dinamika market issues di Indonesia terjadi di pasar-pasar tradisional. “Tanah abang atau Mangga dua, di sanalah kita melihat kebutuhan masyarakat dan distribusinya, baik masyarakat Jawa, Sumatera, dan lainnya. Kita perlu tahu dulu, what’s happen in the market”.

David Soong yang juga memelajari kebutuhan pasar dari pengalaman membantu orang tuanya di pasar hingga 2002 mulai menyadari bahwa passionnya juga ternyata dapat dijadikan prospek bisnis untuk jangka waktu yang panjang. “(Passion saya) yang pertama adalah food, lalu photography dan travel. Saya sadar ketiganya berupa expense, none of those three obviously makes money. Lalu saya mulai challenge dengan membangun restoran dengan teman saya tahun 2002, dan hari ini saya punya lebih dari 160 restoran”.

“Saya percaya sekali bila melakukan hal sepenuh hati seperti identify pasar, good food, affordable, accessible dan halal, maka akan membuahkan hasil”, tambahnya. “Axioo sendiri juga dimulai dari hobi saya yaitu fotografi, yang awalnya usaha di bidang wedding organizer, sekarang sudah menyebar di tujuh rumah sakit besar untuk membantu mendokumentasikan momen-momen indah di hidup orang lain. Talenta yang tuhan berikan dapat berguna bagi banyak orang”.

Melihat banyak sekali pengalaman para narasumber di berbagai bidang dan dari berbagai generasi, dapat tersirat pula potensi-potensi dari ratusan juga penduduk Indonesia lainnya yang masih belum terjamah dan disadari. Ternyata solusi dan prospek bisnis serta pasar dapat diidentifikasi dari hal-hal disekitar kita. Dengan kekayaan alam dan budaya di Indonesia, akan semakin banyak peluang prospek bisnis yang dapat dibantu dengan start-up.



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini