Jejak Nyuh, Pohon Kehidupan di Pesisir Bali Timur

Jejak Nyuh, Pohon Kehidupan di Pesisir Bali Timur
info gambar utama

Sejumlah penelitian memastikan vegetasi tanaman di pesisir pantai sangat penting sebagai bagian mitigasi bencana, misalnya tsunami. Mangrove, ketapang, cemara laut, pandan, dan lainnya mampu menahan gelombang. Secara langsung manfaatnya terasa, peneduh dari terik matahari dan mengurangi abrasi karena akarnya menahan tanah dan pasir.

Yang tersisa dari pesisir Bali Timur adalah pohon kelapa (Cocos nucifera). Sementara mangrove tersisa di Bali Barat dan Selatan.

Salah satu pesisir dengan sejarah pohon kelapa adalah Desa Nyuhtebel, Kabupaten Karangasem. Dalam bahasa Indonesia, Nyuh artinya kelapa dan tebel adalah tebal. Pohon kelapa yang tebal.

Kelapa diperkirakan berasal dari Samudera Hindia kemudian menyebar ke seluruh pantai-pantai daerah tropis. Kerap disebut pohon kehidupan karena seluruh bagiannya sangat bermanfaat, untuk bahan pangan, sandang, dan papan. Sebagai salah satu nutrisi makanan dari buah dan airnya, serabut kulit buahnya jadi bahan kerajinan, kemudian batangnya yang tinggi dan daun memberi bahan baku melimpah untuk bangunan.

Sisa pantai yang masih rapat dengan nyiur kelapa di Pantai Bias Putih, Karangasem, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Pohon kelapa juga jadi ikon pesisir negara tropis. Pemandangan lengkung langit di laut, biru dan hijau toska makin indah saat nyiur pohon kelapa juga ada dalam frame. Salah satu penanda pesisir yang belum terjamah industri akomodasi adalah deretan pohon kelapa.

Itu menjadi masa lalu Pantai Candidasa, kawasan yang kini menjadi pusat akomodasi di dekat Desa Nyuhtebel. Eksotika pantai dengan nyiur kelapa melambai yang membuat warga Eropa menuju kawasan ini.

Kini, pohon kelapa makin menjauh dari pesisir, sementara bangunan hotel dan restoran yang mendekat. Syukurnya, Desa Nyuhtebel masih menyimpan sejarah vegetasi pohon kelapanya. I Ketut Mudra, Kepala Desa Nyuhtebel menelusuri desanya memiliki asal usul nama desa berkaitan dengan keberadaan hutan kelapa.

Hal tersebut menurutnya tersurat di dalam prasasti Kerajaan Gelgel tentang misi pasukan Kerajaan Gelgel atas perintah Raja Gelgel tahun 1465 M Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan untuk melumpuhkan kekuatan dan mengambil alih kekuasaan De Dukuh Mengku Tenganan karena tidak tunduk kepada kekuasaan Kerajaan Gelgel.

Setelah misi tersebut berhasil, hutan kelapa yang sangat lebat di sebelah selatan Desa Tenganan hingga ke tepi pantai diserahkan kepada pasukan perang kerajaan Gelgel dibawah komando Ki Bedolot untuk membangun benteng pertahanan perang. Mengawasi antek-antek De Dukuh Mengku yang belum tertangkap dan juga melindungi keamanan Kerajaan Gelgel di bagian Timur.

Benteng pertahanan perang inilah yang lambat laun berkembang menjadi desa bernama Nyuhtebel. Nyuhtebel mengandung makna hamparan hutan kelapa yang sangat lebat.

Pantai Segara di Sengkidu, tetangga desa Nyuhtebel, Karangasem, Bali, yang makin abrasi dan tutupan pohon kelapa di pantai berkurang. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Komoditas lokal

Mudra mencatat sejak tahun 1465 hingga masa kini, hamparan hutan kelapa ini alih fungsi menjadi tegalan dengan tanaman campuran kelapa, pisang, kakao, dan kayu hutan. Ada juga yang diolah menjadi lahan sawah. “Memasuki tahun 80-90an, alih fungsi lahan tegalan kelapa meningkat karena perkembangan pariwisata,” urainya.

Juga bertumbuhnya usaha agribisnis peternakan ayam ras dan babi di desa Nyuhtebel serta pemukiman. Tegalan kelapa puluhan hektar beralih fungsi menjadi sarana wisata dan juga kandang ternak.

Saat itu kelapa Nyuhtebel hanya tinggal sekitar 50% dari era sebelum 80-an. Upaya rehabilitasi oleh pemerintah melalui proyek tanaman perkebunan untuk meningkatkan produksi kelapa melalui intensifikasi, sementara perluasan tanam tidak banyak karena lahan terbatas.

Dari pemetaan Mudra, tegalan kelapa di Desa Nyuhtebel tersisa sekitar 153 hektar. Populasi tanaman kelapa berbuah berkisar 9.120 pohon, dan tanaman kelapa umur bawah lima tahun/belum berbuah sekitar 1.530 pohon.

Kami menelusuri ladang-ladang kelapa di desa ini. Masuk ke arah bebukitan yang belum terjamah alih fungsi. Jika ingin melihat hamparan dan pesisir yang masih menyisakan kelapa harus naik ke bangunan tinggi atau bebukitan. Dari sini baru nampak vegetasi kelapa masih mendominasi tutupan hijau di area ini terutama di kaki bukit. Bercampur sawah, pohon buah, dan lainnya, tidak monokultur.

Panen kelapa di desa Nyuhtebel dilakukan sebanyak 6 kali dalam setahun. Panen tidak dilakukan serentak, tetapi bertahap sesuai kemampuan kelompok pemanen kelapa disebut sekaa penek nyuh atau kelompok pemanjat kelapa. Tak banyak yang punya kemampuan panjat pohon untuk memetik buahnya ini.

Jika tiap pohon menghasilkan sekitar 14 butir per panen, hasil panen dapat mencapai 63.840 kelapa butiran. Dalam setahun desa Nyuhtebel menghasilkan 383.040 kelapa butiran.

Harga kelapa butiran di tingkat pengepul berfluktuasi antara Rp1.500 – Rp2.500/butir. Artinya potensi pendapatan desa Nyuhtebel dari buah kelapa saja hampir Rp600 juta setahun. “Pengolahan kelapa belum dioptimalkan,” lanjut Mudra.

Sejumlah pelatihan yang sudah masuk desa dan dicoba adalah memproduksi minyak kelapa dan virgin coconut oil (VCO) yang bernilai tinggi, minyak murni yang digunakan bahan spa dan pengobatan.

Contoh minyak kelapa buatan warga desa Nyuhtebel, Karangasem, Bali, yang baru mulai digiatkan lagi, terutama saat harga per butir anjlok seperti sekarang. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Pengolahan terutama dilakukan saat harga per butir anjlok, seperti saat ini kurang dari Rp1.000 per butir. Sementara saat harga di tingkat pengepul tinggi, pernah mencapai Rp4.200 per butir.

Seorang warga, Luh Sueni pun kini senang mengolah kelapa jadi minyak kelapa. Keterampilan dan tradisi yang makin ditinggalkan, karena begitu mudah dan murahnya minyak sawit.

Sueni memilih buah kelapa tua agar kandungan minyaknya lebih banyak. Daging kelapa dicuci dan diparut menggunakan mesin sederhana. Jika membuat untuk keperluan sendiri, cukup parutan biasa. Rata-rata dari 25 buah kelapa diproduksi 3 liter minyak goreng.

Jenis pohon kelapa

Di Desa Nyuhtebel, ada sedikitnya 10 jenis pohon kelapa atau nyuh yang dalam bahasa lokalnya “madan” (punya nama, spesifikasi khusus) dan dimuliakan karena digunakan dalam sesajen ritual adat. Dalam nama-nama lokal, namanya adalah Nyuh Bojog, Nyuh Gading, Nyuh Puuh, Nyuh Danta, Nyuh Surya, Nyuh Bulan, Nyuh Macan, Nyuh Udang, Nyuh Julit, Nyuh Ambulung, Nyuh Brahma, Nyuh Rangda, Nyuh Bingin, dan lainnya.

Sayangnya kekayaan dan keragaman pohon kelapa ini tidak dilestarikan dengan cara membuatkan demplot khusus, memetakan habitatnya, atau menuliskan informasinya. Hanya orang-orang tua yang terbiasa membuat sesajen tahu cara mengenali dan manfaatnya. Mudra berharap sejarah hutan kelapa dan keragamannya ini lestari. Ia merencanakan lebih serius mengenalkan lagi keunggulan kelapa Nyuhtebel serta mengolahnya.

Setidaknya menjadi minyak goreng agar generasi muda tak lupa, bahwa minyak goreng tak hanya sawit. Komoditas yang kini makin banyak disorot karena menimbulkan perambahan hutan-hutan tropis seperti di Kalimantan dan Sumatera. Dampaknya luas, membunuh dan mengusir satwa liar dari habitatnya karena hutan dengan keanekaragaman hayatinya berubah hanya jadi lahan sawit.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini