(Karena) Bulu Tangkis Lebih dari Sekadar Permainan

(Karena) Bulu Tangkis Lebih dari Sekadar Permainan
info gambar utama

Ajang perhelatan akbar Asian Games ke-18 terus berlangsung. Para atlet dari negara yang berlaga pun saling unjuk nyali, demi mengantongi medali di ajang olahraga terbesar di Asia itu. Sedangkan, para penonton harus rela dibuat gemas berkali-kali musabab persaingan di lapangan memang sangat sengit dan beda tipis. Terutama bagi masyarakat Indonesia, yang menyaksikan sendiri jatuh bangun para atlet dalam bertahan di posisi lima besar, atau setidaknya tidak malu-maluin.

Satu cabang olahraga ini saya yakin sedang gempar-gemparnya di telinga dan hati masyarkat tanah air. Ya, bulu tangkis. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa Indonesia memang salah satu negara paling diwaspadai, mengingat beberapa atletnya sudah memberikan prestasi luar biasa dalam perbulutangkisan dunia. Sebut saja Christian Hadinata, Susi Susanti, Taufik Hidayat, dan yang sedang ramai dibicarakan, pasangan ganda putra Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya Sukamuljo.

Sampai sejauh ini, tim bulu tangkis Indonesia sudah menunjukkan performa baik, meskipun saya belum berani mengatakan itu yang terbaik. Sebab, menilik ke cabang bulu tangkis beregu kemarin, khalayak disuguhi pemandangan mengharukan dari perjuangan para pebulutangkis tanah air demi menambah pundi-pundi emas Indonesia. Namun, sayangnya beregu putra kita harus mengakui keunggulan Tiongkok. Sementara beregu putri perlu meningkatkan permainan lagi agar tidak berdiri di podium terpendek, di bawah atlet Jepang dan Tiongkok juga.

Sangat disayangkan memang. Pertandingan final (24/08/2018) yang disaksikan ribuan penonton di Istora Senayan (Jakarta), serta jutaan pemirsa di rumah harus menelan pil pahit sambil berurai air mata. Ya. Pembaca yang Budiman tentu tahu, aksi heroik dari Anthony Sinisuka Ginting—pemain tunggal pertama sekaligus pembuka pertandingan final bulu tangkis cabang beregu putra. Waktu itu, dia dengan mudahnya merebut set pertama, dan melenggang memimpin di set kedua. Namun, Anthony harus terima, bahwa lawan mainnya ialah rangking dua dunia (versi BWF), yang punya serangan mematikan hingga membuatnya harus main lagi di set ketiga. Hingga suatu hal memilukan pun terjadi. Anthony mengalami cidera paha, dan memutuskan menyerah di sisa satu poin ketertinggalannya dari Shi Yuqi.

Istora Senayan pun bergemuruh. Semua memberikan aplaus meriah kepada Anthony meski tak mampu menyumbang poin. Begitu seterusnya hingga kekalahan berturut-turut diperoleh Jonatan Christie dan pasangan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto. Malam itu—bak drama, klimaks sudah dimulai. Dan selanjutnya, giliran si pemeran utama dan Sang Pembuat Skenario yang meniti ending. Apakah bahagia? Atau sedih mengharu-birukan?

Pertanyaan itu tidak bisa dijawab sekarang. Atau lebih tepatnya mungkin, saya belum bisa menuliskan kesimpulannya. Sebab, 25 Agustus kemarin, atlet kita berhasil menunjukkan kemajuan dan melaju ke perempat final di tiga cabang, serta satu cabang telah lolos ke semifinal.

Pertama, oleh pasangan ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu. Setelah kekalahan rekan dari tunggal putri Indonesia, mereka pun tidak ingin kekecewaan berlanjut. Meski tidak mudah merobohkan pertahanan pemain ganda putri asal Tiongkok itu, mereka membuktikan usaha dan totalitas mereka patut diacungi jempol.

Satu lagi perwakilan tunggal putri akhirnya tumbang. Namun, kesedihan tak perlu berlanjut. Sebab, pasangan ganda campuran yang kerap disapa Owi/Butet akhirnya mampu mengamankan tiket semifinal. Disusul pasangan ganda putra Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto yang bermain apik atas pasangan Korea Selatan, Kim Won Ho/Seo Seung Jae. Kedua tim tersebut pun kembali menaruh asa bagi masyarakat, atas bangkitnya performa terbaik timnas bulu tangkis Indonesia.

Tak mau ketinggalan, Jonatan Christie setelah tampil ‘membalaskan dendam’ Ginting di babak penyisihan, kembali menang tipis atas Khosit Phetpradab (Thailand). Jonatan sudah cukup membuat penonton ternganga, ketika pada Sabtu, 24 Agustus lalu mengalahkan Shi Yuqi—peringkat dua dunia, mengingat dirinya hanya berada di peringkat 15. Esoknya, penonton pun sempat histeris atas ketertinggalan atlet yang kerap disapa Jojo itu, terhadap lawan main yang sepuluh angka di bawah peringkatnya. Namun, teriakan “In-do-ne-sia” dan “Jojo bisa” sepertinya memang mengambil andil dalam kemenagan Jojo Sabtu malam itu.

Beberapa jenak, penonton akhirnya bisa bernapas lega. Sebab, kemenangan dua set tanpa balas Anthony atas pemain Jepang—Kento Momota yang menurut peringkat, berada delapan tingkat di atasnya, menjadi kabar bahagia untuk semua.

Malam menjadi kian malam. Tetapi justru suasana makin memanas. Terbukti ketika pasangan ganda putra nomor satu dunia, the minions ternyata mesti jatuh bangun hingga terperosok beberapa kali, demi mengalahkan Takuto Inoue / Yuki Kaneko. Padahal, peringkat pasangan Negeri Matahari Terbit itu, dengan Kevin/Marcus cukup terbilang jauh. Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?

Ya. Hati penonton dibuat begitu berkecamuk. Sepertinya, si pemeran utama dan Sang Pembuat Skenario ingin menunjukkan, bahwa amarah, sesal, gemas, bahagia bisa kita jumpai dari sepasang-dua pasang raket dan shuttlecock yang beradu. Bahwa, permainan bulu tangkis juga tak kalah dramatis, dari film romansa atau heroik yang biasa disaksikan di sinema. Bahwa, bagi para atlet kita, bulu tangkis merupakan pementasan skenario Tuhan. Dan karenanya, kita patut berbangga, Indonesia punya ‘pemain drama’ yang hebat dan melulu mendebarkan dada.

Siapa kita?

Indonesia, Merdeka!

Sumber: bwfbadminton.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini