Asiknya Nikmati Durian sambil Jaga Hutan

Asiknya Nikmati Durian sambil Jaga Hutan
info gambar utama

Di Bali, durian termasuk buah mahal. Per butir bisa Rp50.000. Namun, ini tak berlaku di hutan Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Ratusan pohon durian menjadi hak warga. Mereka menikmati hasil bersama, sambil menjaga hutan.

Pada Februari-Maret adalah musim panen duren (durian). Sejak awal Februari, puluhan warga berbondong masuk hutan desa berjarak sekitar 1,5 jam dari Denpasar ini. Mereka membawa pisau, tali bambu, dan terpal bekas. Berjalan menyusuri jalan setapak, pepohonan lebat sejauh sekitar tiga kilometer dari pusat perkampungan menuju hutan durian.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)
info gambar

Tanah basah sisa hujan dan bulir air di dedaunan menambah kesejukan. Para orang tua memilih lokasi strategis menunggu durian runtuh selama beberapa minggu ke depan. Tidak ada lokasi yang benar-benar aman, tiap petak pohon durian. Tinggi menjulang sekitar 20-30 meter hingga buah tak mudah tampak dari bawah.

Orangtua membuat semacam pondokan, atap dari daun kelapa kering lalu ditegakkan dengan empat kayu. Mereka membuat bale darurat untuk rehat dan tidur saat malam. Rompok duren, warga begitu menyebut kebiasaan berkemah di hutan menunggu durian jatuh ini.

Terpal atau spanduk bekas digantungkan di kanan kiri untuk mengurangi terpaan angin dan hujan. Dalam waktu singkat, puluhan rompokan siap huni.

Siang hari usai jam sekolah, tawa dan canda puluhan anak terdengar di tiap sudut hutan duren. Orang tua yang menjaga malam hari sudah pulang untuk masak, bekerja, dan lain-lain. Giliran anak-anak melatih pendengaran mendapat durian. Siapa gesit, dia berhak atas durian-durian itu.

Kris dan Adi, dua siswa SD ini rehat sejenak di rompokan. Di samping ada beberapa pondokan lain. Mereka bisa bercakap sambil berteriak satu sama lain.

Gedubrak. Suara berdebum terdengar sekitar 100 meter dari pondokan kedua anak laki-laki ini. Tanpa komando, keduanya lari menuju suara, diikuti sejumlah teman dari rompokan lain. Adi berteriak senang. Dia berhasil menemukan harta karun itu pertama kali. Tak ada rebutan atau pertengkaran. Mereka terlatih berhati lapang dan saling menghargai.

Anak-anak ini fasih menjelaskan mana pohon yang berbuah banyak dan rasa manis. Mereka tak langsung dididik sejak dini berkawan dengan hutan yang memberi kehidupan.

Tak hanya anak-anak, remaja desa juga terlihat di sejumlah rompokan. Terutama pria. Ada yang sendiri atau bersama saudara.

Gus Arjun, sudah mendapat tiga duren jatuh. “Ini tak dijual,” katanya. “Ngrompok bukan mencari penghasilan dari duren. Hanya hiburan.” Dia menolak halus ketika saya igin membeli.

Sejak kecil, dia menyukai rompok duren ini. Menikmati hasil hutan bersama. Siapa warga yang mau sabar menunggu dan berlarian mengejar duren, dialah yang mendapat berkah hutan.

Karena itu, hutan Desa Tenganan tak ada model panen duren macam pembudidaya biasa, seperti mengikat batang buah agar tak jatuh.

Jika ini dilakukan, warga bisa mengklaim pohon-pohon duren itu. Prinsip Desa Tenganan Pegringsingan adalah keadilan semua. Model rompok muncul begitu saja tanpa kesepakatan tertulis.

Pondok rompokan, siang hari dijaga anak-anak atau remaja. Orangtua yang menjaga pada malam hari, pulang dulu untuk mengerjakan hal-hal lain | Foto: Luh De Suriyani
info gambar

Tidur bersama beberapa minggu dalam hutan, mengunjungi pepohonan tiap tahun, berkawan dengan burung dan hewan, menjadi model pelestarian tanpa anggaran besar ala pemerintah. Komunitas adat memuliakan.

Beberapa anak lain bukan warga Desa Tenganan juga terlihat ikut atraksi dan keriangan mengejar durian-durian runtuh ini. “Tapi saya tak boleh ikut ambil duren,” ujar Agustina, tersenyum. Keluarganya warga penyakap (pendatang dan buruh kebun, dapat hak tinggal di areal hutan namun tak boleh menikmati hasil).

Agustina tak sedih karena sudah paham dan tradisi turun temurun. Dia suka bermain dalam hutan bersama teman-teman. Kadang menikmati duren bersama jika diberi.

Warga penyakap pernah kena denda desa karena memungut duren. Made Sumardika, ahli potong kayu mengingat masa lalu. Tiap tahun dia selalu akrab dengan rompok duren. Ketika usia 18 tahun, dia memberanikan diri memungut sebuah duren sangat ranum.

Hari itu juga, pengurus desa mengajak ke bale desa. Seseorang melihat dan melaporkan. Pengurus desa, sesuai etika tidak menyebut siapa nama pelapor. Sumardika tak bisa mengelak dan membayar denda berupa lima catu beras atau sekitar 2,5 kg. “Saya tidak marah karena sudah tahu peraturan ini sejak turun temurun. Kami bersyukur diberi tempat tinggal dan bekerja di desa.”

Peneliti Ida Bagus Dharmika, dikutip dari web perpustakaan online Universitas Indonesia mengulas, kuatnya awig-awig Tenganan Pegringsingan tentang pelestarian lingkungan.

Awig-awig adalah bentuk hukum tertulis memuat seperangkat kaedah-kaedah sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat dan disertai sanksi-sanksi tegas dan nyata.

Dharmika menulis, para leluhur penduduk desa ini menyusun awig-awig sekitar abad XI, dan dibakukan dalam ‘buku suci’ 58 halaman ditulis dalam bahasa Bali.

Peneliti menyimpulkan awig-awig desa ini mampu mengatur hubungan manusia dan kesinambungan pemanfaatan sumber daya alam. Juga kelestarian kearifan lokal seperti kepercayaan tentang penjaga hutan (Lelipi Selahan Bukit) dan lain-lain.

Desa ini memang banyak melaksakan ritual penyeimbang dunia nyata dan maya (sekala niskala). Namun, ada tantangan dari dalam dan luar yang menuntut generasi-generasi penerus meneruskan kearifan lokal ini di masa depan. Rompok duren hanya satu dari sejumlah tradisi sosial maupun kultural Tenganan Pegringsingan.

I Nyoman Sadra, tokoh desa meyakini ritual dan persembahan ini didasari dari filosofi patram (daun), palam (buah), dupam (api), dan tirtam (api). Daun adalah simbol peraturan norma etika yang dipersembahkan dengan ketaatan. “Buah lambang kerja, bunga lambah cinta kasih seperti ekspresi hormat pada pohon besar di Bali diberi kain poleng.”

Sedang tirtam (air) lambang pembersih, di akhir sembahyang pemimpin upacara memercikkan tiga kali untuk diminum dan pembersihan. Kemudian dupam (api) lambang pencerahan.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini