Begini Cerita Sekolah Pinggir Hutan yang Ajarkan Kearifan Lingkungan

Begini Cerita Sekolah Pinggir Hutan yang Ajarkan Kearifan Lingkungan
info gambar utama

Letaknya berada persis di pinggiran hutan. Topografisnya perbukitan. Sehingga untuk menjangkaunya harus melewati jalan menanjak dan di kanan kirinya ada hutan. Setelah melewati perkampungan kecil Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) sampailah di sekolah pinggiran bernama MTs Pakis.

Sekolah itu memang berbeda dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Meski secara formal tetap mengacu pada kurikulum yang ada, tetapi sekolah tidak menerapkan sistem pendidikan layaknya sekolah umum. Guru mereka seluruhnya adalah relawan pendidikan. Sebagian besar pengajar adalah para mahasiswa yang kuliah di beberapa perguruan tinggi di Purwokerto.

Pekan lalu, misalnya, sebagian anak-anak MTs berada di dalam kelas. Relawan pendidikan mahasiswa IAIN Purwokerto, Roif (23) terlihat tengah menunjukkan gambar kepada sejumlah siswa. “Kalian tahu tidak, ini adalah sejumlah satwa yang berada di lingkungan kita. Ada berbagai macam burung, capung dan lainnya. Nanti, kalian bisa langsung keluar kelas untuk melakukan pengamatan,” ungkap Roif.

Roif, seorang relawan-pengajar di MTs Pakis Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jateng menerangkan-berbagai jenis keanekaragaman hayati | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Di tangan Roif memang terlihat sejumlah satwa yang telah diidentifikasi keberadaannya di sekitar lokasi sekolah. Gambar-gambar tersebut dicetak untuk memperlihatkan keanekaragaman hayati yang ada di kawasan perbukitan Dusun Pesawahan yang merupakan perbatasan antara Desa Gununglurah dengan Desa Sambirata. Gambar itu dibuat atas kerja sama dengan Biodiversity Society (BS) Banyumas.

Kemudian, para siswa keluar dari ruang untuk berjalan-jalan di sekitar lokasi MTs Pakis, tepatnya di sekitar Telaga Kumpe. Kebetulan di sekitar telaga banyak capung atau kupu-kupu. Dengan menggunakan kamera digital sederhana, mereka melakukan pemotretan. Peralatannya juga tidak terlalu banyak, sehingga kadang para siswa bergantian dalam menggunakan kamera.

Di sekitar Telaga Kumpe tersebut, mereka menemukan sejumlah capung dan kupu-kupu yang cantik. “Kalau ke lapangan seperti ini menyenangkan. Jadi tidak hanya belajar di dalam ruangan kelas. Kami memang juga dididik untuk mengenali lingkungan dan menjaga lingkungan,” ujar Kenti (14) siswi kelas 8 MTs Pakis.

Beberapa siswa MTs Pakis Desa Gununglurah, Cilongok, Banyumas, berjalan menuju ke sekitar Telaga Kumpe untuk melakukan pengamatan burung dan tumbuhan | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Menurut Kenti, mempedulikan lingkungan sekaligus bagaimana melestarikannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari anak-anak di MTs Pakis. Bahkan, katanya, beberapa kali anak-anak sekolah setempat ikut serta melakukan pengamatan diajari soal konservasi dari para pegiat BS Banyumas. “Kami kerap mengikuti pengamatan burung untuk mengenal keanekaragaman hayati. Di sekitar sekolah ini saja sih. Kegiatan itu, juga bisa mendukung pelajaran Biologi,” ungkapnya.

Pegiat BS Banyumas Ari Hidayat mengakui kerap para aktivis BS Banyumas datang mendampingi para siswa di MTs Pakis untuk mendidik kepedulian mereka terhadap lingkungan, khususnya gerakan konservasi. “Salah satu contoh yang terkait dengan konservasi, misalnya cerita soal elang hitam. Kebetulan di sekitar sini ada sarang elang hitam. Kami mengatakan kalau elang hitam harus dijaga. Mengapa demikian? Kalau elang hitam habis, maka populasi tikus bakal semakin banyak. Tikus menyerang padi dan merugikan petani. Nah, kalau ada elang, maka populasi tikus dapat dikendalikan karena ada predator yang dijaga kelestariannya. Itu hanya satu soal sederhana,” ungkap Ari.

Dijelaskan oleh Ari, dirinya juga mendampingi anak-anak MTs Pakis untuk melakukan pengamatan. “Dari hasil pengamatan yang pernah kami lakukan, misalnya, ada temuan berbagai jenis burung. Misalnya saja sikep madu Asia (Pernis ptilorhynchus), bubut jawa (Centropus nigrorufus), cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris), elang hitam (Ictinaetus malayensis), dan uncal buao (Macropygia emiliana). Bahkan, khusus elang hitam, anak-anak MTs sini secara berkala melaporkan mengenai perkembangbiakan elang hitam. Dari kecil sampai besar. Karena dekat dengan lokasi sarang, jadi mereka bisa intens pengamatannya,” ujarnya.

Sejumlah siswa Desa Gununglurah, Cilongok, Banyumas melakuka pengamatan keanekaragaman hayati dengan memotretnya d sekitar Telaga Kumpe yang tidak jauh letaknya dari sekolahnya | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Menurut Ari, komunikasi masih terus dibangun dengan anak-anak MTs Pakis sehingga diharapkan mereka dapat menjadi kader-kader konservasi yang tangguh di lingkungannya. “Bahkan, mereka juga cerita jika ada pemburu yang datang membawa senapan, mereka berani untuk menegur. Praktik-praktik seperti inilah yang kemudian akan menjadikan gerakan konservasi semakin meluas,” tuturnya.

Sementara Kepala MTs Pakis Isrodin menambahkan jika sekolahnya memang tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran mengenai kearifan lokal dan kepedulian terhadap lingkungan. “Kami sengaja mendirikan sekolah di pinggiran seperti ini menyasar pada anak-anak kampung yang berada di sekitar hutan. Sehingga harus ada pelajaran mendasar mengenai interaksi mereka dengan lingkungan serta bagaimana menjaganya. Nah, itu kami wujudkan dalam pelajaran dan praktik sehari-hari. Contohnya adalah mengenal keanekaragaman hayati di sekitar sekolah,” jelas Isrodin.

Ia mengatakan konsep lainnya yang dikembangkan adalah agroforestri atau sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan baik secara ekonomis maupun lingkungan. “Kegiatan ini kami nyatakan dengan membudidayakan sayur mayur dan peternakan di sekitar areal sekolah. Dengan catatan, kami tidak menebang pepohonan di situ. Kami juga tidak mengembangkan agroforestri di hutan milik Perhutani,” tegasnya.

Sejumlah siswaMTs Pakis Desa Gununglurah, Cilongok, Banyumas, berada di area kebun untuk membersihkan rumput karena akan ditanami cabai | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Jadi, lanjut Isrodin, selain mencetak kader-kader konservasi, para peserta didik juga diajak untuk belajar bertani sejak dini. Tentu saja bertani dengan kearifan lingkungan. Tidak menebang pohon dan tak merusak hutan. Dan sesungguhnya para siswa di sini juga tidak asing, karena sejak lahir mereka bermukim tidak jauh dari hutan.

“Ada berbagai jenis sayuran yang kami tanam di sekitar sekolah maupun kebun lingkungan sekolah. Ada sayur pakis, cabai, kacang dan jenis sayuran lainnya. Kami sengaja menanam sayuran untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri di sini. Tidak seluruh anak pulang ke rumahnya, tetapi ada yang menginap di sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, kami ambil dari lingkungan kami sendiri. Sayuran jelas-jelas sayur organik yang lebih sehat,” tandasnya.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini