Buah Tin yang Tertulis di Kitab Suci Tumbuh Di Rumah Hijau Ini

Buah Tin yang Tertulis di Kitab Suci Tumbuh Di Rumah Hijau Ini
info gambar utama

Hutan kecil di Rumah Denassa sore itu terlihat ramai. Sekitar 20 orang berkumpul di bawah naungan sebuah pohon besar. Di depan, Dermawan Nassa atau bisa disebut Denassa, serius menjelaskan manfaat pohon-pohon kepada peserta workshop Literasi Sains yang diselenggarakan oleh Rumah Hijau Denassa.

“Ini dinamakan buah Tin. Terdapat sekitar 400 spesies ini di dunia. Buahnya muncul dari pucuk daun. Ada juga dari ketiak dahan, pangkal batang. Pohon ini tidak berbunga, tapi langsung berbuah,” jelasnya.

Denassa memiliki pendekatan tersendiri dalam menjelaskan tanaman yang ada di hutan kecilnya itu. Bahkan kadang dikaitkan dengan cerita-cerita yang ada di kitab suci.

“Buah Tin ini ada disinggung di Al Quran. Di Alkitab juga diceritakan adanya perjanjian antara pohon Tin ini dengan Lebah Ara. Lebah boleh masuk ke dalam buah Tin itu jika ia menyentuh putik sari dan benang sari yang terletak di buah ini. Kalau ia mengingkari janjinya maka pohon ini akan menjatuhkan buahnya sehingga lebah itu akan mati.”

Denassa menjelaskan bahwa di dataran tinggi Gowa dan dataran lain di Sulawesi Selatan, pohon Tin adalah penanda keberadaan titik air, yang biasa disebut karoti.

“Kenapa dijadikan penanda? Karena di sekitar pohon ini pasti ada sumber air, karena pohon ini senang tumbuh di dataran yang mudah akses air. Tanaman ini bahkan bisa menyimpan air.”

Dermawan Nessa atau Denassa (tengah) menjelaskan tanaman yang ada di Rumah Hijau Denassa kepada para peserta Workshop Literasi Sains. Peserta kemudian menuliskan dan mendiskusikannya, sebagai bagian penugasan dari Mongabay untuk materi terkait jurnalisme lingkungan. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
info gambar

Denassa lalu bergeser ke tempat lain. Ia kemudian menjelaskan sebuah pohon yang disebut pohon Litah. Di masyarakat Sunda pohon ini dinamai pohon Tunai. Kayunya digunakan sebagai bahan pembuat wayang golek. Jika dipetik daunnya akan mengeluarkan getah berwarna putih.

“Bagi masyarakat Makassar getah ini biasa digunakan sebagai obat sakit gigi,” tambahnya.

Denassa kemudian bergerak lebih jauh, lalu berhenti di sekitar tanaman Aren. Dengan antusias ia menjelaskan kultur hidup tanaman ini yang akan terus tumbuh sampai pucuk terakhir dan tidak akan lagi berdaun muda.

“Tanaman ini akan mengeluarkan buahnya dalam bilangan ganjil 3, 5, 7. Malai saja. Itulah yang menjadi buah. Itulah yang kemudian dimasak selama 8 jam, setelah itu dicungkil, yang akan menghasilkan kolangkaling.”

Tanaman ini memiliki keunikan. Setelah malainya jatuh perlahan-lahan akan mengeluarkan bunga atau malai baru. Malai ini tidak pernah akan menjadi buah, hanya bunga saja. Inilah yang disadap menjadi nira dimasak menjadi gula.

“Daun tanaman ini biasa digunakan sebagai janur kuning, yang lebih tahan dibanding kelapa. Daun ini juga digunakan sebagai sapu. Ijuknya digunakan sebagai ijuk, penyaring air, atap, tali.”

Di Makassar, batang daun tanaman ini digunakan untuk berbagai keperluan. Batang daun diserut menggunakan beling lalu diberi minyak kelapa.

“Kami menyebutnya pandarrasa. Ini biasa digunakan untuk penuntun bacaan Al Quran sekaligus pembatas atau penda bacaan. Ini juga dulu digunakan sebagai paku atau pasak. Ketika traktor belum ditemukan, batang pohon ini digunakan sebagai gagang bajak dan batang bajak. Kelebihannya karena sifatnya yang elastis, mudah melengkung tapi tidak patah. Kadang juga digunakan sebagai pipa saluran air. Akarnya digunakan sebagai obat.“

Rumah Hijau Denassa di Kabupaten Gowa memiliki ratusan jenis tanaman dari berbagai daerah di Indonesia, dikoleksi sejak beberapa tahun silam. Rumah Hijau Denassa menjadi tempat pembelajaran literasi sains, khususnya terkait dengan lingkungan hidup. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
info gambar

Pelajaran Lingkungan

Di awal Agustus 2018 lalu, Mongabay diundang Rumah Denassa membawakan materi tentang jurnalistik lingkungan kepada peserta pelatihan menulis Literasi Sains yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Rumah Hijau Denassa, di hutan mini Rumah Hijau Denassa, yang berada di Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Para peserta adalah penggiat literasi dan pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) se-Indonesia.

Menurut Denassa, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengelola TBM dan penggiat Literasi Bidang Sains 2018, khususnya untuk meningkatkan kemampuan menulis.

“Tujuannya untuk mendorong mereka untuk aktif menulis, khususnya di bidang Literasi Sains. Apalagi saat ini memang sedang mendorong 6 literasi dasar, seperti baca tulis, ilumerasi, digital, kewargaan, finansial dan sains. Sains ini tidak hanya ilmu pengetahuan, tapi juga lingkungan hidup.”

Rumah Hijau Denassa dipilih sebagai lokasi kegiatan karena tahun ini terpilih sebagai best practice untuk Literasi Sains.

“Dari pelatihan ini nantinya output-nya berupa buku yang memuat tulisan peserta, Diharapkan mereka menyebarkan Literasi Sains dalam kaitannya dengan peningkatan pengetahuan warga, untuk menjawab tantangan Abad 21, terkait permasalahan yang dihadapi baik sebagai pribadi ataupun masyarakat.”

Selain belajar menulis tentang lingkungan hidup, peserta juga belajar tentang keseharian di Rumah Hijau Denassa, makanan lokal dan kekayaan hayati.

“Para peserta mungkin sudah tahu banyak nama tanaman, namun belum tentu tahu cerita atau kisah dari tanaman-tanaman itu. Mereka belajar di sini dan diharapkan akan didorong pelaksanaannya di daerah masing-masing.”

Para peserta juga diupayakan berinteraksi dengan warga sekitar, agar paham dengan kebudayaan lain.

Menurut Denassa, Literasi Sains ini penting untuk melahirkan temuan-temuan baru. Jika dalam lingkup lingkungan hidup umumnya terkait bagaimana perubahan iklim, dan tanaman alternatif lebih sehat untuk dikonsumsi yang bisa membantu melawan penyakit-penyakit degeneratif yang timbul dari makanan yang dikonsumsi.”

Palupi Mutiasih, salah seorang peserta yang berasal dari Komunitas Panggar dan Literasi Jakarta, merasakan manfaat kegiatan ini dalam memberi pengetahuan dan pemahaman baru, terkait dengan aktivitasnya sebagai guru.

“Saya ikut Literasi Sains ini karena background saya sebagai guru yang sering mengajar eksperimen-eksperimen sains di Jakarta. Karena keterbatasan lahan, anak-anak Jakarta belajar sains tidak fokus ke aspek lingkungan tapi lebih ke eksperimen-eksperimen, percobaan-percobaan.”

“Nah karena saya tahu Denassa ini berbasis konservasi lingkungan, saya ingin lebih paham lagi mengenai bagaimana menerapkan perilaku cinta lingkungan kepada anak-anak melalui residensi literasi ini.”

Palupi menilai literasi sains khususnya terkait lingkungan sangat penting sebagai pembelajaran dini bagi generasi muda yang ada sekarang.

“Banyak kasus, orang-orang berpendidikan tinggi namun tidak bisa membuang sampah pada tempatnya. Pemahaman akan hal-hal sepele ini harus berikan kepada anak-anak sejak dini. Ketika kami datang ke tempat ini buang sampah seenaknya, anak-anak langsung negur itu harus dipilah, yang kuning itu plastik, yang biru itu untuk kertas, yang hijau untuk tanaman organik.”

Palupi merasa takjub bahwa pembelajaran cinta lingkungan sudah ditanamkan sejak kecil. Anak-anak diajari memilah sampah yang baik, membuang sampah pada tempatnya.

“Kebiasaan itu akan terus tertanamkan, sampai mereka dewasa. Persoalan di Indonesia bukan tidak ada orang yang berpendidikan, tetapi ketidaksesuaian pendidikan yang didapat dengan perilaku sehari-hari.”

Palupi berharap ketika kembali ke daerahnya akan mengembangkan eksperimen sains yang berbasis percobaan yang dikombinasikan dengan kecintaan terhadap lingkungan. Dimulai dengan bercocok tanam.

“Kalau lahannya terbatas bisa memakai pot-pot atau secara hidroponik dan sebagainya. Kita akan lebih mengenalkan lagi jenis-jenis tanaman dan manfaatnya kepada anak-anak. Kadang-kadang anak-anak tidak tertarik ke tanaman karena tidak tahu manfaatnya untuk kehidupan manusia. Mereka hanya tahu untuk menyumbang oksigen terbanyak tapi tidak tahu setiap jenis tanaman punya keunikan masing-masing.”


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini