Seperti Ini Danau Tertinggi di Indonesia

Seperti Ini Danau Tertinggi di Indonesia
info gambar utama
Selain Danau Habema Lembah Baliem pun kaya dengan obyek lain seperti mumi dan mata air garam Gunung Mili.
info gambar

Sepagi itu, matahari masih juga belum menampakan dirinya. Kabut terus menyelimuti Lembah Baliem. Orang-orang seperti malas keluar rumah. Hawa dingin sangat terasa. Puncak-puncak gunung pun tak bisa dilihat secara kasat mata.

Tak ada lalu lalang pejalan kaki, pun tak tampak pula mama-mama yang biasa memikul noken dan berjualan hasil kebun depan pertokoan di pusat Kota Wamena.

Meski dingin, hari itu saya berencana untuk mengunjungi Danau Habema yang berada di ketinggian 3.225 mdpl (meter di atas permukaan laut). Danau Habema ini merupakan danau tertinggi di Indonesia.

Bagi penduduk setempat, Danau Habema bernama asli Yuginopa. Danau ini berdekatan dengan pegunungan Trikora, yang jika tidak berkabut akan kelihatan puncaknya yang putih bersalju dari kejauhan.

Saya disertai seorang rekan dan dua orang pemandu, Obet Alua dan Goki Yoman, yang beberapa hari ini menemani perjalanan saya.

“Kita harus cepat-cepat ke Danau Habema, kalau tiba di sana jam 12 siang, danaunya sudah tertutup kabut,” jelas Obet.

Untuk menuju ke sana, beberapa orang kenalan menyarankan saya menyewa kendaraan sejenis mobil pick up bergadan ganda. Namun Obet meyakinkan bahwa motor yang kami kendarai sangat memungkinkan menuju ke Danau Habema.

“Saya sudah 17 kali naik motor ke Danau Habema,” ujar Obet. Menurutnya, untuk menuju ke lokasi, hanya dibutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga jam saja.

Lansekap Danau Habema, danau tertinggi di Indonesia, yang sering disebut sebagai danau di atas awan. Di seberang danau berdiri gunung Trikora. Saat difoto danau ini tampak berkabut | Foto: Christopel Paino
info gambar

Danau di Atas Awan

Jalan menuju Danau Habema bisa dibilang mulus. Sebagian besar sudah beraspal. Jalanan masih sepi, menanjak, dan banyak tikungan.

Karena berkabut, jarak pandang hanya sekitar belasan meter saja. Pepohonan, gunung, dan lanskap alam yang begitu indah tak bisa dinikmati karena kabut ini. Itulah mengapa danau ini pun dijuluki danau di atas awan.

Di salah satu puncak jalan yang tak beraspal, Obet menghentikan motornya. Tangannya menunjuk kejauhan. Di sana terlihat sebuah danau.

“Itu Danau Habema. Tapi sedikit lagi pasti akan tertutup awan.”

Benar saja. Hanya sekira lima menit, Danau Habema tak lagi kelihatan. Pemandangan yang tadinya sangat menakjubkan, hilang tertutup awan dan kabut.

Semakin mendekat, saya semakin takjub dengan keberadaan danau tersebut. Dibelakangnya, puncak Trikora terlihat hanya seujung mata memandang dari arah danau.

Danau Habema sendiri berada dalam kawasan Taman Nasional Lorenz. Luasnya sekira 224,35 hektar. Danau ini sepi. Ia seperti menyendiri dalam kedinginan, berhadapan dengan gunung-gunung berselimut salju, dan hanya ditemani hamparan padang rumput basah.

Kami lalu berjalan ke arah danau melewati padang rumput luas yang basah seperti lahan gambut. Di beberapa titik padang luas itu ada aliran air kecil. Juga aneka bunga warna-warni terhampar.

Saat berjalan, kabut seperti berjalan tepat di depan mata saya. Suhu di handphone menunjukan angka delapan derajat celcius.

Tepat di tepi danau ada bekas pembakaran api. Obet menduga, bekas api itu digunakan oleh pengunjung untuk menghangatkan badan di lingkungan suhu yang memang terasa amat dingin.

Mata air garam di Gunung Mili. Meski jauh dari laut, terdapat mata air yang mengandung garam di gunung ini | Foto: Christopel Paino
info gambar

Air Garam di Gunung

Selain Danau Habema, masih ada keunikan kekayaan alam di Lembah Baliem. Salah satunya adalah air garam yang ada di Gunung Mili. Meski teramat jauh dari laut, namun tempat itu menghasilkan garam.

Gunung ini berada di kampung Jiwika, Distrik Kurulu. Jaraknya hanya sekira 30 menit dari Kota Wamena. Dari ketinggian Gunung Mili yang mencapai 2.100 mdpl ini nampak keindahan bentang alam Lembah Baliem.

Mendaki ke gunung ini lumayan menguras energi, disebabkan suhu yang dingin dan medan pendakian yang memiliki kemiringan hingga 45 derajat. Juga, karena saat itu jalur pendakian terasa licin sisa hujan semalam.

Selama hampir dua jam mendaki, akhirnya kami sampai di mata air garam. Tempatnya tak begitu luas dan berada tepat di samping aliran sungai kecil.

“Air garam ini dianggap memiliki berkat bagi masyarakat,” jelas Obet.

Menurut Obet, masyarakat yang ada di kampung Jiwika biasanya naik ke mata air garam dengan membawa pelepah pisang, yang lalu direndam dalam air garam. Tujuannya agar garam meresap ke pelepah pisang sehingga dapat menjadi penyedap makanan.

Saat ini, meski sudah banyak garam yang dijual di kampung, namun sebagian masyarakat tetap naik ke Gunung Mili.

Hal ini terbukti. Kami berpapasan dengan rombongan mama-mama. Sambil memikul noken penuh ubi jalur dan sembari menggendong anak, mereka mendaki gunung tanpa alas kaki menuju mata air garam.

Di saat bersamaan, hujan mulai turun mengguyur. Jalan yang terjal itu pun semakin licin. Namun tak satupun dari mama-mama itu yang tampak khawatir.

Mumi Jiwika

Selain kaya akan sumber daya dan keindahan alam, Papua juga mempunyai ragam cerita budaya unik. Salah satunya apa yang mereka lakukan pada orang yang telah meninggal.

Jika sebagian orang mengubur atau melakukan pembakaran terhadap orang yang sudah meninggal, namun ada juga suku yang mengawetkan jenazah atau yang dikenal dengan sebutan mumi.

Salah satu mumi yang terkenal ada di Kampung Jiwika, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya. Di tempat ini juga, masyarakat menjual cenderamata seperti gelang, koteka, noken, dan kalung dari taring babi.

Berbeda dengan mumi dari Mesir, mumi Papua diawetkan dalam posisi jongkok dengan lutut ditekuk. Di bagian kepala masih lengkap dengan ciri khas adat.

“Mumi di sini usianya 320 tahun,” Jacobus Mabel, salah satu pemuka di Kampung Jiwika menjelaskan. “Mumi ini kepala suku zaman nenek moyang kami,” ungkapnya.

Untuk memotret mumi, Jacobus menyebutkan angka dalam kisaran Rp1–1,5 juta. “Harga itu sudah termasuk foto mumi bersama warga, dan bebas foto-foto di mana saja,” jelasnya.

Saya mencoba menawar harga yang disebutkan Jacobus. Setelah lama bernegosiasi, akhirnya Jacobus menyetujui tawaran kami. Dia pun mengeluarkan mumi dari dalam honai, dan mengajak warga setempat untuk berdiri sembari foto bersama mumi.

Menurut penuturannya, untuk bisa bertahan lama maka mumi diawetkan dengan cara tradisional, yaitu melalui pengasapan dan dilumuri minyak babi.

Tidak semua jenazah warga dibuat menjadi mumi, melainkan hanya kepala suku saja. Sayangnya, mumi yang ada di Distrik Kurulu hanya tersisa satu saja. Yang lainnya sudah tidak terawat lagi.

Menjelang siang, saya pun pamit pulang kepada Jacobus untuk kembali ke Wamena. Sungguh suatu pengalaman unik yang berkesan.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini