Inilah Pahlawan Keragaman Hayati dari Papua

Inilah Pahlawan Keragaman Hayati dari Papua
info gambar utama

Alex Waisimon, kembali mendapatkan penghargaan. Kali ini, Gelar Pahlawan Keragaman Hayati ASEAN atau The ASEAN Biodiversity Heroes dari ASEAN Center for Biodiversity (ACB). Sebelum ini, Alex terima penghargaan Kalpataru 2017 dan Kick Andy Heroes 2017.

Gelar Pahlawan Keragaman Hayati ini diberikan kepada sosok dari negara-negara ASEAN yang berjasa dalam upaya konservasi dan advokasi keragaman hayati di negara mereka masing-masing. Ada 10 orang mendapat gelar ini, salah satu Alex yang diserahkan pada acara Biodiversity Heroes Regional Forum di Manila, Filipina 4 September lalu.

Alex banyak beraksi dalam melindungi hutan, melestarikan cendrawasih dan satwa lain sekaligus berperan meningkatkan ekonomi masyarakat melalui ekowisata Bird Watching.

Alex membuat gerakan ini di kampung halamannya di Rhepang Muaif Unurum Guay, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua.

Selain Alex, The ASEAN Biodiversity Heroes 2017 yang lain, Eyad Samhan (Brunei Darussalam), Sophea Chinn (Kamboja), Nitsavanh Louangkhot Pravongviengkham (Laos), Prof. Zakri Abdul Hamid (Malaysia). Juga Dr. Maung Maung Kyi (Myanmar), Dr. Angel C. Alcala (Filipina), Prof. Leo Tan Wee Hin (Singapura), Dr. Nonn Panitvong (Thailand) dan Prof. Dr. Dang Huy Huynh (Vietnam).

Dalam acara ini, Alex berbagi cerita konservasi dengan siswa dari berbagai lembaga akademis di Filipina, profesional muda, media, dan peserta dari negara anggota ASEAN.

Pengalaman kerja di Red Cross Asia Pacific, International Labour Organization, koki di Restoran Italia di Hamburg, sampai pemandu wisata di Bali, jadi bekal saat memutuskan pulang ke Papua pada 2014.

Alex kala menerima penghargaan di Manila | Foto: dokumen Alex W
info gambar

Mimpinya, menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat melalui ekowisata.

“Kunci ekowisata memetik manfaat dari hutan tanpa merusak dan memastikan generasi mendatang akan menikmati kesempatan melihat hutan dan keragaman hayati.”

Upaya dia, katanya, awalnya ada penolakan dari masyarakat. Alex tetap gigih. Hutan rusak karena penebangan, dia rawat. Hasilnya, burung-burung dan satwa lain kembali memenuhi hutan.

Pada Agustus 2016, ada sembilan kepala suku menyerahkan hutan seluas 19.000 hektar sebagai daerah ekowisata berkelanjutan. Luasan itu bertambah jadi 98.000 hektar.

“Sembilan kepala suku yang disatukan. Saya dekati mereka dengan filosofi; tidak boleh kasih habis, ambil lain tinggalkan yang lain, untuk anak cucu.”

Daerah Rhepang Muaif, tempat Alex tinggal merupakan kawasan hutan rumah 84 spesies burung dari 31 famili. Kawasan itu bahkan masuk daerah penting burung karena menyediakan perlindungan bagi lima spesies yang terancam punah termasuk Casuarius unappendiculatus, Harpyopsis novaeguineae, Goura victoria, Psittaculirostris salvadorii, dan Epimachus bruijnii.

Tempat ini, katanya, juga populer sebagai rumah burung cenderawasih. Enam spesies burung cendrawasih dari keluarga Paradisaeidae dapat ditemukan di daerah ini.

Para fotografer yang berkunjung | Foto: Alex Waisimon
info gambar

Jadi contoh

Dominggus Mampioper, pengunjung ekowisata Bird Watshing Rhepang Muaif, turut bangga atas penghargaan kepada Alex Wasimon.

Dia bilang, Alex memberi harapan bahwa hutan yang rusak, bisa kembali jadi rumah aman bagi satwa.

“Ini memberikan harapan kepada kita dan kepada semua orang ternyata meskipun hutan sudah diobrak-abrik tapi masih ada harapan untuk cenderawasih pulang ke rumahnya,” katanya.

Rhepang Muaif, katanya, bukan lagi hutan lebat, belum ada lagi pohon berdiameter 50 cm dampak penebangan, tetapi satwa-satwa mulai hidup bebas di sana.

“Orang bilang cenderawasih muncul pukul 8.00 pagi dan pukul 6.00 sore. Di sini siang pukul 1.00 dan 2.00 kita bisa melihat cenderawasih terbang.”

Dia bilang, hal menarik lain dari Alex, pengetahuan soal alam. Meski keliling dunia dan lama meninggalkan kampung halaman, Alex fasih bahasa lokal, mengetahui nama burung dan pohon dalam bahasa local. Bahkan, dia mengenal jenis burung dari suara, dan pohon yang menjadi rumahnya, hingga pengetahuan tentang musim-musim. mMsim matoa, missal, akan nada nuri dan kaka tua makan buah di pohon, di bawahnya ada kasuari dan babi hutan.

“Pak Alex mendapat pengetahuan-pengetahuan itu dulu dari orangtuanya dan dia tidak lupa. Dia melanjutkan dengan memindahkan pengetahuan lewat sekolah lingkungan yang dibuatnya di lokasi itu sekarang,” katanya.

Alex juga mendapat dukungan dari masyarakat adat.

Menurut Mampioper, tantangan sekarang adalah niat pemerintah mengubah status lahan itu dari hutan yang bisa dikonversi jadi hutan konservasi.

Sisa-sisa penebangan kayu di hutan yang kini dijaga Alex W. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
info gambar

Terancam pembalakan liar dan kebun sawit

Pada 2018, Sawit Watch memberikan catatan kritis atas kondisi hutan Papua. Menurut mereka, hutan tropis di Papua, terus menyusut seiring proses degradasi dan laju kerusakan hutan.

Pada 2005-2009, luas hutan Papua berkisar 42,22 juta hektar. Berselang tiga tahun kemudian (2011), mengalami degradasi dan tersisa 30,07 juta hektar. Rata-rata deforestasi di Papua berkisar 143.680 hektar per tahun.

Dikutip dari Sawit Watch, data Pemerintah Papua menyebutkan, luas perkebunan sawit Papua 958.094,2 hektar. Ia dikuasai 79 perusahaan perkebunan sawit tersebar di berbagai daerah seperti Merauke, Boven Digoel, Keerom, Sarmi, Waropen, Yahukimo, Nabire, Mimika Mappi, dan Jayapura. Luasan ini diperkirakan akan bertambah mengingat lahan di Sumatera dan Kalimantan, sudah habis.

Di Kabupaten Jayapura, tempat Alex Waisimon, ada dua perusahaan sawit yang beroperasi. Dikutip dari Atlas Sawit Papua, dua perusahaan itu adalah PT Sinar Kencana Inti Perkasa (20.535 hektar), anak perusahaan Sinar Mas dan PT Rimba Matoa Lestari (29.589 hektar), anak perusahaan Agrindo Group– bagian Raja Garuda Mas Group.

Dua perusahaan lain yang sudah memegang izin dan akan masuk di Distrik Kaureh yaitu PT Siringo-Ringo (29.278 hektar) dan PT Megasurya Mas (13.389 hektar). Keduanya anak perusahaan Musim Mas.

Ada tiga perusahaan sedang mengupayakan perizinan. Dua anak usaha Musim Mas yaitu PT Intibenua Perkasatama (25.773 hektar) dan PT Wira Antara (31.561 hektar). Satu lagi, PT Permata Nusa Mandiri (32.000 hektar).

Untuk pembalakan liar, pada Desember 2017, Koalisi Anti Mafia Hutan melaporkan tujuh perusahaan pemegang sertifikat kayu, sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Ketujuh perusahaan ini beroperasi dari Kabupaten Jayapura dan Sarmi.

Perusahaan-perusahaan ini bawa kayu tak jelas asal usul tetapi seolah legal. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pertemuan di Kantor Gubernur Jayapura, 6 September 2018 juga mengumumkan keterlibatan aparat kepolisian dan militer dalam kasus-kasus ini dan mengingatkan segera memberikan sanksi disiplin pada oknum-oknum terlibat.

Alex Waisimon bersama masyarakat, juga keluarganya, bersama-sama menjaga hutan | Foto: Alex Wasisimon
info gambar

Kebun sawit maupun pembalakan kayu, semua menggunakan alasan demi kesejahteraan orang asli Papua. Untuk sawit, misal, masyarakat diharapkan sejahtera dengan mengelola kebun sawit lewat program plasma atau jadi buruh perusahaan. Padahal, cara kerja seperti itu tidak sesuai cara hidup masyarakat lokal.

Untuk kayu, karena pengetahuan masyarakat terbatas, perusahaan membeli kayu-kayu dengan harga murah.

Alex, salah satu orang penolak ungkapan ‘orang Papua tidak sejahtera.”

Saat hadir sebagai narasumber di Festival Film Papua pada 9 Agustus s018 di Jayapura, Alex menantang para penonton.

“Saya mau tanya kepada orang Papua dan jawab dengan jujur di hatimu. Siapa mengatakan dia miskin di Papua ini? Bukankah negeri ini kaya? Kenapa kita masih miskin? Tanah yang indah menyimpan banyak kekayaan. Bukankah kita ini kaya?”

Alex menyebut contoh di Keerom dan Merauke, sudah hancur karena kebun sawit. Selain hutan rusak, masyarakat juga kehilangan sumber penghidupan.

“Saya bilang sama keluarga, satu cenderawasih kau tembak dapat uang Rp500.000, Tapi kalau kau jaga kau lindungi alam ini, kau akan makan dan anak cucu akan makan terus. Kalau kau musnahkan itu, hartamu akan hilang. Selama-lamanya.“

Alex Waisimon menunjukkan bekas kaki kasuari dan babi hutan | Foto:_Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
info gambar


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini