Jenis Baru Kodok yang Buktikan Indonesia Kaya Ragam Hayati

Jenis Baru Kodok yang Buktikan Indonesia Kaya Ragam Hayati
info gambar utama

Tidak dipungkiri, Indonesia memang negara yang kaya ragam hayati. Berbagai survei dan penelitian yang dilakukan, terus mengungkapkan potensi tersebut. Seperti yang baru-baru ini dilakukan peneliti gabungan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Negeri Semarang, Institut Pertanian Bogor, dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, yang telah mengungkap keberadaan kodok jenis baru dari marga Leptophryne.

“Penemuan menggembirakan ini bukti nyata bahwa kita memiliki kekayaan hayati luar biasa. Mengingat dalam sistem taksonomi, di antara mamalia dan burung, kelas vertebrata dalam hal ini amfibi masih belum stabil. Artinya, ini akan terus bertambah dengan penemuan jenis baru setiap tahunnya,” terang Amir Hamidy, Kepala Laboratorium Herpetologi Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI kepada Mongabay Indonesia.

Melalui publikasi ilmiah yang diterbitkan Zootaxa Vol. 4450 No 4 (427-444) baru-baru ini, Amir bersama kolega berhasil mengidentifikasi dan mendeskripsikan jenis kodok yang kini diberi nama Leptophryne javanica. Dalam jurnal jelas tertulis, kodok ini terpisah dengan jenis lainnya berdasarkan perbedaan sejumlah karakter mendasar yang umumnya dilakukan untuk mendeskripsikan jenis baru.

“Kami melakukan serangkaian uji dan pendekatan identifikasi dengan menganalisa genetik, morfologi serta karakter suara (acoustic) kodok tersebut. Lalu, membandingkannya dengan spesimen jenis kodok yang diduga sama sebelumnya. Hasilnya, kodok tersebut memang jenis berbeda,” jelasnya.

Leptophryne javanica betina | Foto: Farist Alhadi/LIPI
info gambar

Kodok yang ditemukan di Gunung Slamet dan Taman Nasional Gunung Ciremai ini memiliki sejumlah ciri-ciri fisik yang unik. Di antaranya adalah jari tangan dan kaki yang membulat dengan bentuk tubuh yang cenderung ramping dan kecil. Pada kodok jantan, panjang badan hanya berkisar 22 sampai 24 milimeter, sementara betina bisa mencapai 29 milimeter. Sedangkan panjang kaki belakang berkisar 37-40 milimeter.

“Tipe habitat kodok di tingkat kelembaban cukup tinggi seperti sekitar aliran air atau sungai kecil di hutan primer. Kodok ini aktif malam hari, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dijumpai siang hari ketika beraktivitas mencari makan di bawah semak tepi sungai,” tambahnya.

Amir yang merupakan penulis utama studi mengungkapkan, Leptophrynejavanica sebenarnya sudah dikoleksi ilmiah sejak 2009 dari Gunung Slamet dan saat itu masih teridentifikasi secara morfologi sebagai kodok merah atau Leptophryne cruentata. Hal itu juga diperkuat oleh publikasi Mumpuni pada 2014 yang menyatakan bahwa kodok itu sebagai kodok merah, salah satu jenis kodok endemik jawa yang paling langka di Indonesia.

“Awalnya kami senang saat menemukan kodok yang mirip L. cruentata ini di Gunung Slamet pada 2009 yang kemudian disusul dengan penemuan di Gunung Ciremai pada 2012. Karena artinya, sebaran mereka semakin luas. Mengingat sebelumnya, sebaran habitat kodok merah ini sangat kecil, hanya di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.”

Leptophryne javanica atau kodok merah ciremai | Foto: Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
info gambar

Namun, setelah melakukan evaluasi dan serangkaian uji mendalam, kabar gembira itu menjadi sirna karena populasi yang ada di Gunung Slamet dan Gunung Ciremai merupakan jenis berbeda dengan yang ada di Gunung Gede Pangrango dan Halimun Salak. Artinya, populasi mereka justru kian menyempit.

Secara kasat mata, baik L. cruentata maupun L. javanica memiliki karakter yang hampir sama. Perbedaan yang bisa dilihat hanya pada pola bercak yang dimiliki keduanya. L. javanica konsisten berwarna kuning dengan warna tubuh gelap, sementara L. cruentata memiliki warna bercak totol kemerahan. “Sejauh ini L. javanica baru ditemukan Kawasan Gunung Slamet dan Gunung Ciremai pada ketinggian 900 hingga 2.500 meter di atas permukaan laut,” terangnya.

Leptophryne cruentata jantan | Foto: Farist Alhadi/LIPI
info gambar

Terancam

Kabar mengenai penemuan jenis baru tak selamanya diiringi dengan berita baik, termasuk jenis L. javanica ini. Kodok langka tersebut akan langsung menyandang status yang sama dengan saudaranya L. cruentata yaitu Critically Endangered atau Kritis, satu langkah menuju kepunahannya di alam liar. Hal itu didasari dari populasinya yang kecil dengan tingkat keterancaman tinggi.

“Kami segera mengusulkan statusnya ke IUCN, sebagai salah satu tindak lanjut riset penelitian. Tidak hanya itu, kami juga akan mengusulkan kodok ini dimasukan dalam lampiran baru revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2018 mengenai Daftar Satwa Dilindungi,” ucap Amir.

Berbagai faktor yang memengaruhi penurunan populasi kodok di antaranya adalah terdegradasinya habitat, infeksi jamur Batrachochytrium dendrobatidisdan perburuan untuk diperjualbelikan. Kerusakan habitat berperan besar bagi keberlangsungan hidupnya, mengingat ia mendiami habitat spesifik yang sangat sesitif terhadap perubahan.

Perbedaan L cruentata dan L javanica. Sumber: Jurnal Zootaxa Vol. 4450 No 4 (427-444)
info gambar

Padahal, meski dianggap menjijikan, keberadaan kodok di suatu habitat memiliki peran sangat penting. Selain sebagai indikator kebersihan ekosistem, kodok juga berfungsi pengendali hama.

“Di setiap siklus hidup kodok, tidak ada yang tidak bermanfaat. Misal, berudunya memakan jentik nyamuk, saat dewasa memakan dan mengurangi hama yang merusak hasil kebun. Peran kodok yang penting di alam ini sudah dirasakan oleh beberapa negara tetangga kita. Saya berharap, kita bisa memahami fungsi kodok dalam ekosistem,” ujarnya.

Karakter morfologi yang dimiliki L. javanica yang ditemukan di Gunung Slamet dan Gunung Ciremai. Sumber: Jurnal Zootaxa Vol. 4450 No 4 (427-444)
info gambar

Aziz Abdul Kholik, staf Balai Taman Nasional Gunung Ciremai yang juga penulis pada jurnal tersebut menuturkan, kodok merah di Gunung Ciremai ini memang spesies baru yang tentu saja berbeda dengan kodok merah di Gunung Halimun Salak dan Gunung Gede Pangrango. Jenis ini hanya sama dengan yang ada di Gunung Slamet.

Nama Leptophryne javanica memiliki arti penting. Leptophryne didasari kesamaan genus, sementara javanica ditemukan di Pulau Jawa yaitu di Jawa Barat (Gunung Ciremai) dan Jawa Tengah (Gunung Slamet). “Kami memberikan nama lokalnya kodok merah ciremai,” terangnya.

Aziz mengatakan, temuan jenis baru ini tidak hanya menambah kekayaan jenis hayati di Taman Nasional Gunung Ciremai, tetapi juga bagi Indonesia keseluruhan. “Sobat Ciremai, ayo kenali dan cintai negerimu dengan cara yang baik dan benar,” tulis Aziz sebagaimana dikutip dari laman TNGCiremai.com.

Habitat L javanica di Gunung Ciremai. Foto: Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
info gambar

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, Kuswandono mengatakan, Gunung Ciremai memiliki tingkat keragaman flora dan fauna yang tinggi. Kekayaan ini merupakan potensi luar biasa yang selayaknya diteliti lebih dalam lagi.

Terkait penemuan jenis baru, dia mengungkapkan, keberadaan kodok ini menjadi penting mengingat populasinya yang terus berkurang di alam. Karena itu, pihaknya akan bekerja sama dengan para peneliti, ahli, mahasiswa, maupun pemerhati lingkungan untuk melakukan riset lebih lanjut kodok merah ciremai ini.

“Terkait jumlah populasi dan sebarannya di kawasan Gunung Ciremai, saat ini masih dilakukan survei sebaran dan inventarisir kantung-kantung habitatnya,” katanya.

Kuswandono melanjutkan, Gunung Ciremai merupakan rumah bagi berbagai jenis satwa kebanggaan Indonesia. Ada macan kumbang (Panthera pardus), elang jawa (Nisaetusbartelsi), elang hitam (Ictinaetus malayensis), surili (Presbytis comata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), kijang (Muntiacus muntjak), ular sanca (Phyton molurus), burung ekek geling (Cissa thalassina), sepah madu (Perictorus miniatus), walik, anis (Zoothera citrina) dan berbagai jenis burung lain.

“Hutan Ciremai sebagai salah satu rumah penting satwa harus kita jaga. Menjaga Ciremai berarti menjaga keragaman hayati Indonesia,” tandasnya.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini