Menyelam ke Dunia Pecinta Alam: Cerita Ekspedisi Bumi Cendrawasih 2018

Menyelam ke Dunia Pecinta Alam: Cerita Ekspedisi Bumi Cendrawasih 2018
info gambar utama

Pernah mendengar kegiatan pecinta alam? Kira-kira apa saja kegiatannya, ya? Apakah hanya berjalan-jalan menikmati alam bebas saja dan jauh dari kata prestasi? Apa saja, sih, visi dari sebuah perkumpulan pecinta alam?

Nah pada kesempatan ini, GNFI bertemu dengan Fitri Muthi’ah Hanum, atau akrab disapa Muti, seorang mahasiswi Universitas Indonesia angkatan 2014 dan juga anggota dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam.

“Perempuan” dan “kegiatan di alam bebas” ternyata dua istilah yang klop banget menggambarkan Muti! Ya, siapa bilang kegiatan pecinta alam ini sulit diikuti perempuan?

Apalagi baru-baru ini tim Mapala UI yang juga digawangi oleh Muti dan kawan-kawan ini berhasil memetakan destinasi-destinasi wisata minat khusus di bumi Papua, loh! Dalam rangka ekspedisi tahunan Mapala UI yang disebut Ekspedisi Bumi Cendrawasih (EBC) 2018.

Tim Mapala UI melakukan ujicoba paralayang di Danau Anggi dan menelusuri gua-gua di hutan-hutan yang keduanya dilakukan di Kabupaten Arfak, serta ujicoba spot arung jeram di Sungai Prafi di kabupaten Manokwari. Seru banget, ya!

Intip cerita dan Muti tentang ekspedisi ini, serta harapan Muti akan pariwisata Indonesia ke depannya bersama GNFI, yuk!

GNFI (G): Awalnya tentang eksplorasi Bumi Cendrawasih ini, sudah ada sejak tahun lalu atau belum? Alasan mengapa diadakan?

Muti (M): awalnya kegiatan ekspedisi Mapala ini berpencar, jadi tiap divisi jalan sendiri-sendiri. Diving kemarin tuh ke Parigi, Sulawesi Tengah. Trus Panjat Tebing ke Kalimantan Tengah, terus Telusur Gua ke Maluku, pulau Seram. Arung jeram ke Banten.

G: ada berapa divisi? Empat?

M: iya tergantung aktifnya lagi ada berapa divisi. Yang seniornya mau mengajar dan melatih ada berapa, soalnya kan dilatih lagi. Nah tahun ini baru deh ekspedisinya terpusat di satu wilayah

G: itu alasan memilih Papua kenapa? Kan daerahnya aksesnya susah dan agak tertutup, luas tapi aksesnya terbatas dan belum memadai. Itu bagaimana awal memilih dan perencanaannya sampai akhirnya bisa bereksplorasi ke Papua?

M: milih Papua karena dari semua pulau yang sudah dijelajahi, tinggal Papua nih yang belum. Kalau kemarin, kan sudah Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku. Jadi kita putuskan ke Papua. Papua juga eksotis. Terus pemilihan lokasi-lokasi yang dituju ini, kita lihat dari citra satelit dulu dan peta. Nah kira-kira mana tempat yang cocok. Misalnya, paralayang. Kan itu dari ketinggian dulu baru turun, kita pilih deh tempat yang berbukit atau gunung. Nah kemudian untuk Arung jeram, kita juga pilih sungainya yang dari citra satelit dan peta, terus kita hitung gradien sungainya dulu di sini. Range kenaikan gradiennya tinggi atau tidak. Kalau yang tinggi banget berarti itu ekstrem. Nah dari situ terlihat levelnya. Untuk telusur gua juga kita lihat dari citra satelit dan peta, yang diperkirakan wilayah Karst dan banyak mulut gua. Nah sete;ah itu baru deh disurvey untuk melihat secara langsung, apakah ini sesuai dengan yang di peta.

G: Transportasinya, begitu, bagaimana?

M: sebenernya kita baru survey bulan Juli, itu kan mepet, ya, karena belum ada pemasukan dana buat survey, jadi baru berangkat bulan Juli, deh. Padahal kan ekspedisinya bulan Agustus akhir. Kita naik pesawat TNI. Jadi dari Jakarta ke Biak, turunnya di Biak ya karena tidak ada landasan di Manokwari, tim survey dan hari-h naik pesawat TNI.

G: bagaimana perizinan ke pihak TNI?

M: sebenernya itu lumayan, sih. Kita kan mulai mengirim surat perizinan ke TNI AU bulan Januari 2018 ini, difollow-up sampai Mei 2018 lalu tapi belum ada tindakan. Katanya panglima belum diskusikan surat kita. Akhirnya kita bawa link, deh. Kita minta diantarkan oleh seorang Kolonel yang kita sudah kenal dari ekspedisi sebelumnya, ekspedisi yang di pulau Seram, Maluku, waktu telusur gua tahun 2017 lalu. Kita minta diantar, baru deh besoknya langsung ada diskusi dari panglima. Sponsor juga lumayan macet, ya. Jadi kita urus yang pesawat dulu untuk survey. Sudah dapat, baru deh suasana ekspedisi terasa banget Juli kemarin itu sejak ada kepastian transport dari TNI AU untuk tanggal 10 Juli.

G: lalu untuk transport dari Biak ke Manokwari, bagaimana?

M: naik kapal feri. Nah kan yang berangkat tim survey. Tim survey pakai biaya sendiri dan mereka yang mengurus segala kebutuhan tim nantinya, termasuk kapal. Jadi kita di sana mulai dari rute dan perizinan kita clear-in semua, dan juga minta bantuan. Kita berusaha ini ekspedisi gratis semua kan, semuanya yang ikut juga gratis. Kita minta bantuan Komandan Landasan Udara di Manuhua, Biak. Ternyata dia punya teman seorang nahkoda. Jadi tim survey dan tim yang datang saat hari-h juga bisa gratis deh naik kapalnya.

G: wah keren banget, ya, tim survey dan juga pimpinan-pimpinan AU yang kooperatif banget, apalagi ini di alam liar, ya, ekspedisinya. Terencana dan matang sekali langkah-langkah yang dikerjakan.

M: iya, kita langsung ketemu kepalanya dan sampaikan permohonan bantuan dan langsung deh dibantu. Kan kita kurang dana banget, dengan bantuan pesawat itu menutup setengah dari anggaran kita. Setengahnya lagi kita minta bantuan dari pemerintah daerah sana. Kalau dari pemerintah sini lebih susah dan lebih macet. Kita doorstop bawa-bawa proposal ke pemerintah-pemerintah provinsi, kayak gubernur, wagub, bupati. Kan tempat main kita ada dua, pegunungan Arfak dan Manokwari, itu semuanya kita coba. Langsung terobos-terobos haha

G: selama ekspedisi ada rintangan dari lokasinya dan masyarakatnya kah?

M: selama tim survey meminta bantuan ke pemerintah provinsi juga masih macet lagi, disposisi-disposisi. Sampai tim besar di hari-h datang. Tapi tetap kita usahakan ketemu terus dengan pemerintah daerah sampai akhirnya dapet juga setelah tim besar sedang berkegiatan di pegunungan. Kalau dari masyarakat sih hambatannya itu budaya. Jadi ada tradisi yang bikin kita serba salah, misalnya mereka tuh budayanya nembak-nembak uang, begitu. Jadi kalau ada orang luar ngelukain mereka, nah itu mereka langsung nuntut nembak harga sampai ratusan juta ke orang-orang lewat apalagi orang dari luar. Bahkan mereka sebenarnya ngga ngerti sama jumlah uang yang mereka minta itu. Nah itu awalnya gara-gara dulu ketika mereka ngga tahu dan sama sekali ngga ngerti uang, orang-orang berpendidikan dari kalangan mereka menyusup masuk diantara mereka lalu ngajarin mereka nuntut-nuntut begitu. Sayangnya sampai sekarang mereka begitu terus. Kita serba salah, nih. Kan kita mau melatih mereka paralayang supaya dapat mengembangkan wilayahnya jadi destinasi wisata baru dan jadi sumber daya, nah tapi kalau mereka luka-luka, nanti mereka malah menuntut ke kita atau ke pelatihnya.

G: itu sudah dikordinasikan dengan pemerintah daerah? Karena kan ketika kalian berkegiatan, kalian sudah punya back-up dari pemerintah, dan di akhir kegiatan kalian mempresentasikan hasil kegiatan tersebut, nah bagaimana tanggapan pemerintah?

M: jadi awalnya pemerintah agak pesimis dengan kegiatan kita di Papua. Tapi kita tetap koordinasi dengan mereka, misalnya kita tanyakan pariwisata seperti apa yang pemerintah daerah sana sedang coba kembangkan. Lalu kegiatan yang kita adakan usable untuk mereka. Dan bekelanjutan juga. Jadi ngga cuma kita buat kegiatan dan minta dana terus selesai kegiatan kita langsung selesai begitu saja. Kita juga update terus kegiatan kita sudah ngapain saja. Sampai akhirnya semua selesai, kita buat acara diskusi umum juga di sana, mereka semua surprise tuh di situ. Nah di diskusi itu kita omongin juga hambatan-hambatannya, rekomendasi selanjutnya, begitu. Terus dari hasil diskusi itu, wagub dan bupati pegunungan Arfak, menyadari masyarakat Arfak yang masih tradisional, mereka bilang mereka juga manusia, jadi pasti bisa diedukasi. Untuk budaya nembak sejumlah uang itu nanti harus ada perjanjian dari pemerintah daerah. Untungnya dari pihak kita tidak kena trap itu. Kita sendiri tahu akan hal itu dari supir mobil ketika kita berkegiatan. Dia sering ngga mau memberikan tumpangan ke orang yang nyetop-nyetopin mobil di tengah jalan itu karena takut kena trap itu dan dituntut bayaran. Malah waktu kita di mobil itu, di tengah jalan ada kecelakaan mobil, nah orang yang ditumpangi mobil tersebut meminta ganti rugi ratusan juta ke supir mobil tersebut. Kalau kita lihat kayak begitu, kita langsung lapor polisi.

G: selama berkegiatan, akomodasi seperti penginapan dan makan bagaimana?

M: total kita di sana sebulan dengan 51 peserta. Kalau akomodasi di Manokwari di kota kita minta dari Pemda, tapi ketika berkegiatan di hutan misalnya, kita urus sendiri. Perkemahan gitu. Kalau tim paralayang tidurnya di puskesmas sekitar sana. Paling nyamuk-nyamuk saja, sih, gangguannya, tidak ada binatang-binatang buas atau berbisa, begitu. Transportasi selama di kota juga kita minta bantuan Polda dan Kodam di sana, gratis, tapi untuk sewa mobil selama kegiatan di hutan dan alam bebas, ya mahal juga bayarnya dengan total keseluruhan pengeluaran sewa mobil selama kegiatan untuk 51 orang itu sekitar 46 juta. Kita juga ada tim bakti sosial yang kerjasama dengan RIK UI (FK, FIK dan FKM), tim paralayang yang dipimpin oleh Agung Viandika, tim arung jeram yang dipimpin oleh Salsabilah Altje dan tim telusur gua yang dipimpin oleh Anindio Dwiputra. Paling banyak di tim bakti sosial ada 30 orang dengan dokter-dokternya.

G: ooh berarti sudah dipastikan tiga lokasi itu potensial, ya, untuk dijadikan destinasi wisata? Perkembangannya bagaimana?

M: belum ada lagi, sih. Tapi sudah disambut positif kemarin itu, harapannya ya dikembangkan. Karena memang baru akhir Agustus kemarin, kok. Oh iya, kemarin juga hampir taken contract, jadi pelatihnya antara kirim orang Papua ke Puncak (Bogor) untuk dilatih paralayang atau pelatih kami dari Mapala UI yang ke pegunungan Arfak untuk melatih. Sudah tukar nomor dengan pak wagub dan bupatinya.

G: kalau perkembangan tim baksos selama kegiatan di sana bagaimana?

M: itu tuh kebanyakan penyakit masyarakat di sana adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Gara-gara mereka tuh punya kebiasaan tidur di rumah tradisional mereka, yang disebut rumah kaki seribu, karena daerahnya dingin jadi mereka bikin api unggun, dan mereka tidur sambil menghirup asap api unggun itu. Makanya itu semuanya pada sakit ISPA, anak-anak di sana banyak mengeluarkan lendir dari hidungnya. Dari tim baksos kita kasih obat-obatan dan juga edukasi perilaku hidup bersih dan sehat.

G: kalau lokasi destinasi baru di Papua ini resmi dibuka, kira-kira Mapala UI akan dapat royalti atau keuntungan sejenis itu?

M: hehe engga sih kayanya. Kita menolong saja, sih. Mungkin nanti pelatih yang ada mekanismenya sendiri.

G: apakah setiap ekspedisi Mapala UI kemarin-kemarin itu memang ditujukan untuk membuka atau mengeksplor potensi destinasi pariwisata baru?

M: tujuan utama sih melatih skill anggota Mapala, ya, dan memang kegiatan Mapala itu berolahraga di alam bebas. Jadi tujuan utama itu eksplorasi wilayah baru yang belum pernah dieksplorasi sebelumnya. Tiap lokasi yang kita kunjungi hampir belum pernah terjamah sebelumnya

G: apakah ekspedisi tahun-tahun sebelumnya juga diadakan diskusi dengan pemda setempat mengenai potensi wilayahnya untuk destinasi pariwisata, begitu?

M: tahun lalu divisi panjat tebing sih iya. Kalau destinasi selam tahun lalu lebih ke pemberdayaan masyarakat sekitar lokasi itu dan rekomendasi lokasi itu bisa dimanfaatkan sebagai apa saja, begitu. Kemarin di danau Parigi di Motong, Sulawesi Tengah.

G: oh iya, pariwisata kan sangat dipengaruhi oleh 3A, yang salah satunya aksesibilitas. Nah melihat akses ke destinasi-destinasi di Papua yang kalian kunjungi kemarin, itu bagaimana proyeksinya untuk masa depan keberlanjutan destinasi tersebut?

M: itu aksesnya memang alam bebas, jalanannya belum beraspal, tapi justru sangat potensial untuk wisata off-road dan ekstrem.

G: nah, kira-kira banyak atau tidak ya peminat wisata ekstrem dan adrenalin itu?

M: iya, soalnya menurut saya, bagi orang-orang yang sudah kenal wisata menantang seperti itu, mereka biasanya tidak lagi tertarik dengan mass tourism. Mereka akan beralih ke pariwisata minat khusus. Waktu kita kegiatan di Papua, ada tim di Jakarta yang presentasi ke kementerian Pariwisata, dan mereka mau bantu untuk output dan promosi, nanti bisa buat proyek wisata satu rute di sana.

G: kemarin saat kegiatan di sana, masyarakat juga diajak mencoba wahana-wahana kayak paralayang gitu ngga?

M: iya, jadi kan ajak anak UNIPA (Universitas Papua) untuk berkegiatan dengan kita, nah itu ada yang coba terbang satu orang. Respon masyarakat di sana antusias banget, mereka ngejar-ngejar orang yang terbang sampai mendarat. Mereka terutama kepala desanya juga rebutan agar desa mereka yang dijadikan landasan mendarat. Kebanggan akan kampung mereka tinggi hehe jadi kata mereka kalau mendarat di kampung mereka nanti kami kalungin noken haha. Ada sekitar lima kampung yang kita darati.

G: bedanya spot paralayang yang di Puncak Bogor yang sudah dijadikan spot khusus dengan spot yang baru kalian temukan di pegunungan Arfak ini apa saja?

M: beda banget, sih. Kalau di sini memang perlu disurvey dulu, pertama saat take-off agak susah lari karena permukaan tanah tidak rata, banyak batu-batu dan pasir. Malah tadinya ada rumput-rumput lebat dan keras harus kita babat dan bersihkan dulu. Anginnya juga tidak menentu di beberapa titik. Kemarin ada tuh yang terbang dengan arah angin tidak menentu. Titik take-off dan landing sudah ditentukan dari Jakarta, nah di sana tinggal diuji cobakan. Kalau pindah titik karena ketidaksesuaian head wind dan tail wind, waktunya tidak lama juga.

G: untuk tim telusur gua, kemarin bagaimana kegiatannya?

M: ya, jadi di sana mulut-mulut guanya sudah banyak tertutup sampah-sampah daun dan tanah-tanah, tapi tetap kita gali agar dapat dimasuki. Total kita temukan 17 mulut gua dalam 10 hari kegiatan. Mereka kemahnya juga tidak di dalam gua, kok, karena guanya kecil-kecil, bukan gua lebar. Mereka mendirikan kemah di lokasi yang lebih stabil di dataran atas spot-spot gua tersebut. Gua di sana juga hiasannya kecil, sih stalaktit dan stalagmitnya. Ini memang cocok banget buat penggemar wisata minat khusus sih dan juga buat penelitian.

G: kalau dari tim arung jeram bagaimana?

M: arung jeram di sungai Prafi, itu melewati pegunungan Arfak sampai ke Manokwari, jadi melewati dua kabupaten dengan jarak 16 km. Nah kalau ini cocok untuk wisata arung jeram komersil, soalnya meskipun sungainya lebih kecil, bukan sungai besar, tapi arusnya deras dan terus-terusan jadi tidak capek mengayuh, airnya jernih dan pemandangannya juga bagus jadi selama mengayuh kita bisa nikmati 16 km pemandangan hutan yang terhampar di sisi sungainya, dan juga bisa melihat burung Kasuari yang besar kayak burung unta. Cepat banget larinya itu

G: tantangan destinasi wisata tersebut misalkan nanti jadi dibuka itu apa?

M: tantangannya itu sih, perbedaan budaya, benar-benar mengejutkan itu. Soalnya mereka kalau menuntut, sambil bawa-bawa suku mereka.

G: berarti destinasi wisata di Indonesia masih banyak banget ya yang belum diekspos?

M: masih banyak banget. Ini saja baru dua kabupaten di Papua Barat, belum ke Merauke. Tahun depan kalau ada ekspedisi lagi, mau sih ke sana lagi hehe. Masih banyak yang bisa dieksplor pasti

G: betul, dan kalau bisa menghidupkan Papua dari segi pariwisata, bisa jadi meminimalisir sensitifitas rakyat Papua terhadap orang-orang di Jawa, ya.

M: iya, di sana saja yang berjualan juga kebanyakan pendatang, bukan rakyat Papua asli. Itu potensial banget, kalau bisa membangun destinasi wisata baru di sana, ada banyak rakyat yang bisa diberdayakan

G: kalau melihat realita pariwisata saat ini, kan kalian sudah mengeksplor banyak tempat, tuh, nah harapannya terhadap pariwisata Indonesia 27 tahun lagi saat Indonesia genap 100 tahun itu apa?

M: saya berharap Kementerian pariwisata yang saat ini masih berfokus ke mass tourism, bisa terbuka dengan wisata minat khusus dengan bekerja sama dengan pecinta alam-pecinta alam di kampus untuk eksplorasi dan dipetakan bersama, dan bisa dijual juga, kan. Tidak hanya mass tourism saja paket-paket wisatanya. Soalnya Indonesia benar-benar potensial banget, masih banyak alam yang masih asli yang kalau diberdayakan, akan banyak peminatnya juga. Kemarin kita presentasi ke Kemenpar juga bertujuan mengembangkan wisata-wisata minat khusus.

Nah, sudah terbayang, kan, kegiatan pecinta alam yang seru apalagi sambil mengeksplor kekayaan alam Indonesia yang melimpah dan sangat potensial. Pun ternyata, kegiatan seperti itu banyak didukung masyarakat dan pejabat setempat, karena alam Indonesia juga aset berharga yang harus bisa dilestarikan dan dimanfaatkan.

Kalau bukan kita-kita anak muda yang mengawalnya, siapa lagi? Eits, kalian juga bisa turut serta mengawal dan membagikan informasi mengenai alam Indonesia yang indah dan potensial ini, loh, yaitu dengan terus mengikuti kanal GNFI!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini