Kakao Fermentasi Jembrana Menembus Pasar Dunia [Bagian 2]

Kakao Fermentasi Jembrana Menembus Pasar Dunia [Bagian 2]
info gambar utama

Secara kuantitas, Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Namun, dari segi kualitas justru kalah jauh dibanding dua negara di urutan paling atas, Pantai Gading dan Ghana. Salah satu penyebabnya karena pengolahan pascapanen kakao Indonesia masih asal-asalan.

Petani kakao di Kabupaten Jembrana, Bali bagian barat melakukan pengolahan pascapanen sedikit berbeda melalui teknik fermentasi. Hasilnya, mereka mampu mendapatkan biji kakao berkualitas yang dijual ke pasar-pasar internasional maupun domestik.

Kenapa kakao fermentasi dianggap lebih berkualitas dibanding non-fermentasi? Bagaimana petani kakao di Jembrana melakukannya? Laporan berikut membahasnya dalam empat artikel terpisah.

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari empat tulisan. Tulisan pertama bisa dibaca disini.

***

Pengolahan biji kakao melalui fermentasi memang belum banyak dilakukan di Indonesia. Pada umumnya, petani kakao di Indonesia menjual langsung kakaonya dalam bentuk basah atau kering. Jika dalam bentuk basah, biji kakao langsung dijual begitu selesai dikeluarkan dari buahnya. Jika dalam bentuk kering, petani menjemurnya terlebih dulu.

Petani kakao di Jembrana, Bali adalah pengecualian. Anggota Koperasi Kerta Semaya Samaniya (Koperasi KSS) mengolahnya sedikit berbeda. Mereka tidak langsung menjual dalam bentuk biji basah maupun kering, tetapi terlebih dulu melakukan fermentasi.

Secara sederhana, proses fermentasi dilakukan dengan cara memeram biji kakao basah dalam kotak kayu berlapis daun pisang. Fermentasi oleh petani Jembrana dilakukan secara kelompok dan pribadi. I Ketut Wiadnyana, petani lain, melakukan fermentasi di rumahnya. Biji kakao dia bawa dari kebun berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya di Banjar Kedisan, Desa Yeh Embang, Kecamatan Melaya.

Fermentasi biji kakao di Jembrana, Bali, dilakukan di tingkat masing-masing petani maupun koperasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Anggota Subak Abian Kerta Rahayu ini tidak hanya memiliki tempat untuk fermentasi, tetapi juga tempat penjemuran dengan sinar matahari berupa para-para (solar dryer). “Sebelum ikut koperasi, saya menjemur sembarangan saja di tanah dan tanpa difermentasi,” kata Wiadnyana.

Setelah bergabung dengan Koperasi KSS, Wiadnyana mengatakan, dia belajar cara budi daya kakao yang baik, sekaligus cara mengolahnya agar lebih berkualitas.

Melalui pengolahan dengan fermentasi, biji kakao Jembrana dianggap lebih berkualitas. “Kami memilih kakao Jembrana karena kualitasnya lebih bagus,” kata Julien Desmedt, perwakilan Valrhona. Julien menambahkan kakao Jembrana memiliki profil aroma khas (aromatic profile) lebih kaya. “Ada aroma fruity dan honey di dalamnya,” ujarnya.

Valrhona, perusahaan pengolah kakao dari Perancis, membeli kakao Jembrana sejak 2015. Begitu pula tahun ini. Pada pengiriman kali ini mereka membeli 5 ton kakao kering fermentasi. Selain dari Bali, satu-satunya pemasok Valrhona dari Indonesia, perusahaan ini juga membeli biji kakao dari Amerika Latin dan Afrika.

Kakao Jembrana, menurut Julient, persentasenya termasuk sedikit dibandingkan dari 16 negara lain yang memasok ke Valrhona. Dia tidak menyebut jumlahnya secara spesifik, tetapi kisarannya masih di bawah 10 persen.

Kecilnya persentase kakao Indonesia di Valrhona, salah satu pemain penting industri kakao dunia, bisa menjadi indikator kurang lakunya kakao Indonesia di pasar internasional.

Fermentasi biji kakao yang dilakukan petani di Jembrana, Bali, berfungsi untuk meningkatkan kualitas biji kakao. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Sebagaimana disebutkan oleh Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang, Indonesia sebenarnya negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. “Namun, Indonesia masih dikenal sebagai penghasil kakao terburuk di dunia karena tidak difermentasi,” kata Bambang.

Berdasarkan data International Cocoa Organisation (ICCO), produksi kakao Indonesia pada 2016 mencapai 320 ribu ton. Jumlah produksi ini berada di urutan ketiga setelah Ghana dengan 778 ribu ton dan Pantai Gading yang mencapai 1,5 juta ton pada tahun yang sama.

Jauh Lebih Baik

Sebenarnya, kakao fermentasi di Indonesia sudah menjadi perhatian pemerintah sejak 1970-an. Namun, menurut peneliti utama Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Misnawi, upaya pemerintah itu masih menghadapi sejumlah tantangan.

Padahal, kakao yang difermentasi jelas lebih berkualitas. Misnawi mengatakan biji kakao kalau tidak diapa-apakan tidak akan menghasilkan aroma kakao, aroma khas cokelat. Kakao yang tidak difermentasi, kondisi bijinya tidak mengalami apa-apa. Dia hanya menghasilkan rasa pahit dan sepat.

Staf koperasi KSS Jembrana, Bali memilih biji kakao fermentasi untuk memastikan kualitasnya. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Misnawi menerangkan lebih lanjut. Kakao baru beraroma khas apabila difermentasi. Fermentasi berfungsi mengubah senyawa-senyawa di dalam biji agar menghasilkan cita rasa kakao. Dengan fermentasi, biji kakao mengalami kematian. Pada saat biji mati, enzim dan substratnya ketemu. Maka terjadilah reaksi enzimatis yang mengubah senyawa menjadi prekarsur atau calon pembentuk cita rasa. Saat disangrai, dia menjadi aroma khas kakao.

“Oleh karena itu biji kakao yang difermentasi, kualitasnya jelas jauh lebih baik daripada non-fermentasi. Harganya pun lebih mahal,” katanya.

Meskipun demikian, petani Indonesia yang mengolah biji kakao fermentasi masih sangat sedikit. Menurutnya hanya di Jembrana (Bali), Padang (Sumatra Barat), dan Flores (NTT). Jumlahnya di Indonesia tidak sampai 1 persen.

Misnawi menyebutkan tiga penyebab masih sedikitnya petani yang melakukan fermentasi. Pertama, sistem tata niaga kakao Indonesia masih belum memberikan apresiasi kepada kakao fermentasi. Di pasar bebas, harganya masih sama dengan kakao asalan. Akibatnya, petani malas. Sudah menambah pekerjaan, tetapi harganya sama atau naiknya tidak seberapa.

Kedua, fermentasi memerlukan waktu lebih lama dibandingkan non-fermentasi, antara tiga sampai lima hari. Kalau dilakukan secara mandiri, petani akan tertunda untuk mendapatkan uang. Oleh karena itu, menurut Misnawi, pendekatan untuk melakukan fermentasi itu bagus seperti di Jembrana yang ditangani secara kelompok. “Begitu petani perlu uang, dia bisa mendapatkan dari kelompok,” katanya.

Ketiga, Misnawi melanjutkan, memang tidak mudah mengajak pihak-pihak lain untuk melakukan fermentasi atau lebih memerhatikan kakao fermentasi karena sudah merasa nyaman dengan sistem yang digunakan selama ini. Kebijakan pemerintah sudah ada, tetapi belum ada ketegasan dalam penerapannya.

Petani kakao Jembrana, Bali, saat menerima kunjungan belajar petani dari Sulawesi Barat. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Lemahnya Posisi Tawar

Di tingkat kebijakan, pemerintah sebenarnya sudah memiliki Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.67/2014 tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao. Permentan ini mencakup kelembagaan petani, persyaratan mutu dan penanganan, pemasaran, serta pembinaan dan pengawasan.

Permentan yang disahkan Menteri Pertanian Suswono pada 12 Mei 2014 ini menyebutkan bahwa peningkatan kualitas kakao bisa dilakukan melalui Unit Fermentasi dan Pemasaran Biji Kakao (UFP-BK). Unit pengolahan hasil atau UPH, istilh lainnya, bisa dibentuk di tingkat kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Gapoktan).

Dalam kasus petani di Jembrana, mereka melakukannya di tingkat koperasi. Namun, sebagian besar petani Indonesia belum melakukannya.

Menurut Bambang, 96 persen perkebunan kakao di Indonesia adalah kebun rakyat yang masih dikelola secara tradisional. Petani-petani kecil dengan luas kebun 1-2 hektar ini juga tak banyak yang bergabung dengan organisasi petani. Hal ini berdampak pada masih rendahnya kualitas kakao di Indonesia.

Karena tidak terorganisir dalam kelompok, posisi tawar petani pun lebih lemah dalam pemasaran. Apalagi, pada umumnya, pembeli kakao adalah tengkulak yang kurang memerhatikan mutu. Di sisi lain, tengkulak juga memilih cara gampang. Tak apa kualitas kurang asal cepat dapat uang. Hal ini berdampak di tingkat lebih tinggi bahkan di tingkat nasional.

Kakao fermentasi dari Jembrana, Bali, dianggap memiliki aroma khas buah madu dan bunga | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Banyak pedagang yang sudah terbiasa bertahun-tahun membeli biji kakao non-fermentasi dengan harga lebih murah. Tepungnya lalu dijual ke negara-negara miskin yang ingin makan cokelat tanpa memerhatikan mutu.

“Akibatnya muncul pembeli kakao yang membeli hanya mengambil minyaknya. Padahal, biji kakao selain menghasilkan minyak juga bubuk. Kalau difermentasi, baik bubuk maupun minyaknya, bisa berkualitas lebih bagus lagi,” ujar Bambang.

Secara nasional, kakao fermentasi di Indonesia hanya antara 10-20 persen. Menurut situs KataData produktivitas kakao Indonesia berkisar antara 400 ribu ton versi Dewan Kakao Nasional hingga 600 ribu ton menurut Kementerian Pertanian.

Dengan kontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) mencapai Rp429 triliun, sektor ini telah mengungguli pendapatan dari migas. Kakao jelas termasuk komoditas perkebunan unggulan Indonesia.

“Namun, meskipun memberikan kontribusi begitu besar, pengembangan komoditas kakao masih menunggu uluran tangan. Padahal, perkebunan adalah fundamental untuk pembangunan ekonomi kita,” ujar Bambang.

Kakao Jembrana, Bali, mendapatkan pengakuan pasar karena kualitasnya yang bagus | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Untuk meningkatkan kualitas kakao Indonesia, Bambang mengatakan, pemerintah mengajak petani agar secara konsisten melakukan fermentasi. “Jika petani Indonesia konsisten melakukannya, pasar internasional bisa melihat bahwa kakao kita berkualitas baik minyak maupun bubuknya,” harap Bambang.

Belajar dari petani di Jembrana, Bambang menegaskan perlunya penguatan kelembagaan di tingkat petani. Alasannya, pasar internasional lebih senang membeli dalam jumlah besar sehingga lebih baik kalau petani menghasilkan dalam jumlah besar.

Umumnya, petani kakao Indonesia menghasilkan hanya menghasilkan 500 kg/hektar meskipun potensinya bisa sampai 1-1,5 ton/hektar. Dengan jumlah hanya 500 kg/hektar, maka akan lebih mudah jika petani melakukan pemasaran bersama melalui satu pintu seperti halnya anggota Koperasi KSS di Jembrana.

Melalui pemasaran bersama ini, petani bisa meningkatkan volume penjualan sekaligus posisi tawar dengan pembeli. Menurut Misnawi, melalui kelompok, petani juga bisa menggandeng mitra-mitra karena bisa menjual dalam jumlah besar. Lain halnya kalau sendiri-sendiri.

“Masak mau ekspor hanya 20-30 kg? Kalau lewat koperasi seperti KSS, petani bisa menjual dalam jumlah banyak dan mendapatkan harga lebih baik,” ujarnya.

Toh, petani kakao di Jembrana tak begitu saja bisa melakukannya. Mereka pernah jatuh bangun pada masa lalunya.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini