Bagaimana Kalau E-commerce Tidak Hadir di Indonesia?

Bagaimana Kalau E-commerce Tidak Hadir di Indonesia?
info gambar utama

Tidak dapat dipungkiri bahwa industri e-commerce adalah salah satu sektor industri yang berkembang pesat di Indonesia saat ini.

Dilansir dari Kompas.com, Shopee berhasil menembus 5,8 juta transaksi dalam waktu 24 jam saja saat kampanye “Super Shopping Day” pada 9 September 2018 lalu. Salah satu artikel di Merdeka.com juga menyatakan bahwa Tokopedia mengklaim bahwa mereka melayani 65 juta pengunjung dalam satu hari pada kampanye “Ramadhan Ekstra” dibulan Mei tahun ini. Tak kalah dari itu, Lazada juga memecahkan rekor dengan transaksi sebesar Rp1,6 triliun dalam program “Online Revolution” November tahun lalu (KataData.co.id).

Secara tidak langsung, pencapaian ini adalah cerminan kuatnya pertumbuhan industri belanja online di Indonesia belakangan ini. Potensi industri e-commerce Indonesia secara keseluruhan diprediksi masih akan tumbuh pesat beberapa tahun ke depan seiring semakin banyak orang menggunakan ponsel untuk berbelanja online.

Tapi, bagaimana jika suatu ketika industri e-commerce lenyap dari Indonesia? Adakah efek buruknya? Atau justru berdampak positif pada perekonomian kita?

Tim iPrice memprediksi, setidaknya lima dampak yang akan muncul bila tidak ada denyut e-commerce di Indonesia:

Pertumbuhan ekonomi akan menurun

McKinsey & Co. dalam studi mereka memprediksi nilai transaksi industri e-commerce di Indonesia akan meningkat dua kali lipat dalam jangka waktu 4 tahun mendatang. Tahun ini sendiri, jual beli online di Indonesia mampu menghasilkan nilai transaksi sekitar US$8 milyar. Angka tersebut sedikit banyak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara, khususnya dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) yang tahun ini meningkat 0,75%. PDB sendiri adalah nilai pasar barang dan jasa yang merupakan haisl produksi sebuah negara, dan kerap digunakan sebagai alat ukur pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Selain itu, dilansir dari TheJakartaPost.com, peneliti indef bernama Bhima, mengatakan bahwa dirinya mendukung data dari Badan Pusat Statistik dengan pendapatnya “Sekarang kontribusi (e-commerce) masih kecil, namun memiliki potensi untuk berkontribusi besar dimasa depan.”

Jika tidak ada industri e-commerce di Indonesia, maka tentunya pertumbuhan (PDB) dan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menurun.

Hilangnya peluang usaha di sektor transportasi dan jasa pengiriman

Studi yang dilakukan oleh Texas A&M Transportation Institute pada 2017 menyimpulkan bahwa pertumbuhan retailer online dalam dunia e-commerce memicu permintaan pasar atas jaringan transportasi dan jasa pengiriman yang lebih cepat dengan jangkauan lebih luas. Dan dengan keberadaan 30 juta online shoppers di Indonesia, tidak mengherankan marak bermunculan layanan jasa pengiriman langsung seperti Go-Send, Grab Express, SiCepat, JNE Yes, J&T Same Day, maupun Tiki Same Day.

Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) memprediksi bahwa sektor e-commerce akan berkontribusi sebanyak 15% pada bisnis layanan kurir di Indonesia. Bersaman dengan itu, Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspress Indonesia (Asperindo) juga menyuarakan pendapat yang sama dengan prediksi bahwa e-commerce akan berkontribusi 25% pada industri logistik.

Kalau e-commerce tidak hadir di Indonesia, layanan transportasi dan delivery di tanah air tentu akan merasakan langsung imbasnya.

Tak ada harapan untuk Cashless Society Indonesia

Cashless society di Indonesia dipelopori oleh Bank Indonesia yang mengeluarkan aturan mengenai uang elektronik yang disusul pencanangan GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai). GNNT ini diimplementasikan pada pembayaran bus TransJakarta, KRL, dan juga pembayaran jalan tol. Hanya saja, gerakan ini tidak begitu efektif sebelum e-commerce populer. Kemunculan e-commerce di Indonesia pada akhirnya menumbuhkan harapan, memaksa masyarakat Indonesia yang berbelanja online untuk akhirnya beradaptasi dengan metode pembayaran digital melalui online banking dan produk e-Wallet seperti Go-Pay, Shopee Pay, Mandiri e-Money.

Jika tidak ada e-commerce, bisa dikatakan harapan Indonesia untuk membangun cashless society akan punah begitu saja.

Hal ini disebabkan karena masih banyak online shoppers yang sangat bergantung pada transaksi cash dan transfer bank (McKinsey & Co), dan juga sistem Cash on Delivery (TechinAsia.com). E-commerce dikatakan bisa menjadi pahlawan dalam membantu masyarakat Indonesia menuju gerakan pembayaran yang sepenuhnya digital. Dengan angka pengguna situs e-commerce yang diprediksi akan naik dengan stabil hingga 2022, masyarakat yang melakukan belanja online akan semakin banyak dan itu juga berarti semakin banyak masyarakat yang akan beradaptasi dengan digital payment.

Angka pengangguran tidak bisa ditekan

Berdasarkan statistik yang disajikan CeicData.com, tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia tercatat pada tahun 2005 dimana angka pengangguran mencapai 11,24%. Tapi, angka itu berangsur turun dengan stabil pada tahun-tahun setelahnya. Dan eksistensi e-commerce sejatinya berkontribusi menurunkan angka pengangguran di negara kita. Bagaimana bisa? Potensi industri e-commerce Indonesia mulai terlihat pada rentang tahun 2000-2007. Pertumbuhan industri ini diiringi oleh kemunculan berbagai startup seperti Gojek yang berbasis mobile apps dan produk e-Wallet seperti Doku.

Bloomberg menyatakan bahwa industri digital secara konsisten membuka lapangan kerja baru dan memperbaiki taraf hidup masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia juga menyatakan bahwa “internet economy” sangat membantu dalam menyediakan lapangan kerja yang signifikan jumlahnya; 1,53 juta lapangan kerja dari sektor trade dan service di industri e-commerce.

Ketiadaan e-commerce di Indonesia, kemungkinan besar angka pengangguran di Indonesia tidak akan menurun.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini