Harusnya Kita Belajar Dari Desa di Maumere Ini Mengenai Harmoni Dalam Perbedaan

Harusnya Kita Belajar Dari Desa di Maumere Ini Mengenai Harmoni Dalam Perbedaan
info gambar utama

Saat senja mulai turun di sisi barat Pulau Flores sekitar jam 4 sore pada 2 Oktober, dua gadis SMA Muslim mengenakan jilbab dan mengenakan pakaian tradisional Manggarai Timur menyampirkan selendang congkar pada imam Katolik Rikardus Karno.

Di desa Puncak Liur di kecamatan Sambirampas, Kabupaten Manggarai Timur, Rikardus baru saja menerima Sakramen Kudus Katolik dari Uskup Mgr Denpasar. Silvester San, yang juga administrator apostolik Keuskupan Ruteng. Rikardus kemudian akan melaksanakan tugas-tugas gerejanya di paroki Ponggeok di kabupaten Manggarai.

Setelah Misa, tiba saatnya untuk perayaan sederhana bagi keluarga Katolik dan Muslim di desa Puncak Liur. Para penduduk telah hidup berdampingan selama berdekade lamanya, dan beberapa di antaranya bahkan terikat oleh darah. Mereka menyambut Rikardus, yang lahir dan dibesarkan di Puncak Liur, di gerbang desa.

Imam Yakub Ladus dari Masjid Fatahilla menyambut Rikardus sementara para penduduk - semuanya mengenakan pakaian tradisional Manggarai Timur - duduk di atas tikar dan bersenandung mantra dalam bahasa etnis mereka.

Dikutip dari Jakarta Post, Yani Abdul Tahir, seorang guru Islam di daerah itu, mengatakan bahwa ikatan antara penduduk Muslim dan Katolik ditempa ketika desa dibangun beberapa dekade lalu.

"Sebagai Muslim dan sebagai bagian dari keluarga, kami bersyukur, dan kami berbagi sukacita bahwa ia diresmikan sebagai pendeta," katanya.

Setelah dua gadis Muslim menyampirkan syal pada Rikardus, mereka memeluknya.

Rikardus receives an embrace to welcome him to the village | Markus Makur / Jakarta Post
info gambar

Setelah itu, sang pendeta diarak oleh dua pria Muslim ke dalam rumah imam Masjid.

Rikardus is carried into the village by two Muslim men. (JP/Markus Makur)
info gambar

Oktavianus Dalmin, seorang anggota keluarga Rikardus, mengatakan kepada Jakarta Post bahwa sebuah kepanitiaan dengan anggota dari kedua agama didirikan untuk perayaan tersebut.

"Mulai dari persiapan, dekorasi, hingga ritual tradisional, semuanya dilakukan bersama," tambahnya

Rikardus mengatakan dia tumbuh besar dengan teman-teman dan kerabat Muslim.

“Dalam kehidupan sehari-hari kami, kami selalu bersama. Saya kemudian belajar filsafat dan studi Islam di Ledalero Philosophy and Theology College di Maumere. Saya belajar bahwa semua agama mengajarkan hal yang sama, bahwa makna hidup ada di tangan Tuhan,” katanya.

Dia juga mengatakan bahwa saudaranya sedang belajar di sebuah pesantren di Jawa.

"Ada anggota keluarga saya yang Muslim juga," tambahnya, mengatakan bahwa ritual tradisional di desa berasal dari leluhur kedua agama.

"Saya bersyukur bahwa saya dilahirkan dan dibesarkan di antara keluarga yang memegang keyakinan Katolik dan Muslim," katanya.

“Saya bersyukur juga bahwa saya disambut dengan sangat hangat setelah saya diresmikan. Kami adalah satu keluarga besar Muslim dan Katolik, dan saya bermaksud untuk belajar lebih banyak tentang kisah-kisah desa ini. ”


Sumber: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini