[Wawancara] Ketika Pandji Bicara Tentang Pragiwaksono

[Wawancara] Ketika Pandji Bicara Tentang Pragiwaksono
info gambar utama

Berbicara tentang Komedi Tunggal atau Stand Up Comedy di Indonesia, sulit lepas dari sosok satu ini. Ia kerap hadir di panggung-panggung dan layar kaca, membawakan lawakan maupun menjadi juri dan mentor untuk para komika, julukan untuk para stand up comedian. Ya, dialah Pandji Pragiwaksono.

Menurutnya, stand up comedy telah mengubah kehidupan banyak orang. Dari buruh, pengangguran, hingga penjual narkoba. Ini karena sifatnya yang relatif mudah dibandingkan dengan format lawak lainnya. Namun meskipun mudah, ia juga memiliki kerumitannya sendiri.

Sejak Juli lalu hingga Januari 2019, ia melakukan tur ke beberapa negara untuk melakukan stand up commedy. Rencananya tur tersebut dilakukan di 13 kota, dengan tujuh di antaranya adalah kota di Indonesia. Sisanya di Manila, Shanghai, Guanzhou, Amsterdam, Dusseldorf, Köthen, Leipzig. Puncaknya 26 Januari 2019 di Jakarta. Bertempat di Plenary Hall, JCC, dengan 5000 penonton.

Kepada Resti Octaviani dan Pandu Hidayat dari GNFI, ia bercerita banyak tentang stand up comedy, yang ternyata juga menjadi salurannya untuk menyuarakan keresahan secara jernih, sekaligus membuat orang lain tertawa.

Dari Pandji dan para komedian lainnya, kita belajar bahwa di balik ledakan tawa ada jerih payah serius untuk berlatih, mencoba, berinovasi secara serius. Ternyata untuk melucu pun perlu keseriusan. Hampir mustahil ada hasil sempurna yang didapat dari usaha yang asal-asalan. Sesuai dengan judul tur dunianya kali ini, “Pragiwaksono” yang diambil dari nama belakangnya yang berarti kebijaksanaan, Pandji seperti ingin mengajak kita bijaksana dengan lelucon-leluconnya.

Sudah ah, tidak perlu berpanjang-panjang pengantarnya. Yuk simak saja kutipan wawancaranya:

Stand up comedy Indonesia, bagiamana Anda melihat perkembangannya?

Teramat pesat. Malah kalau mau hitung-itungan sepertinya komunitas stand up comedy terbesar di dunia ada Indonesia deh. Saya bahkan berani klaim, lebih karena tempat lain tidak berkomunitas.

Kalau dipikir-pikir, komunitas itu kebiasaannya orang Indonesia banget. Jadi orang Indonesia pada prinsipnya memang senang nongkrong, berkumpul.

Nah, komunitas stand up commedy di Indonesia menjadi besar sekali karena dari Aceh sampai Papua ada. Hingga sekarang ada lebih dari 150 komunitas. Jadi memang pesat, bukan hanya dari pertumbuhan komunitas, prestasi dari komikanya juga menyenangkan. Banyak yang dipercaya untuk main film, nulis film, menyutradarai film, diminta jadi host program TV, sitkom, main sinetron. Jadi pertumbuhannya sangat keren kalau menurut saya.

Sebagian orang mengatakan, materi dan pembawaan stand up commedy sering kali kasar, berlebihan, sarkas. Menurut Anda?

Sebenernya stand up comedy itu secara umum adalah ngelawak tapi dilakukan sendirian, yang membedakan lawakan dia dengan yang lain itu lawakannya datang dari dirinya pribadi, dari pengalaman dan pengamatan. Makanya stand up comedy itu beragam sekali. Ada yang seperti Radit ngomongin soal relationship dan ngomongin isu-isu kehidupan sehari-hari, sampai kepada stand up comedy seperti Indra atau Otes Limboy yang ngomongin soal politik.

Bisa seperti itu karena perasaan setiap orang beda-beda. Ada yang dalam pergaulan bahasanya kasar, sehingga di atas panggung bahasanya ya kasar. Ada juga yang kayak Irfan Karta, ngomongnya halus. Dia dosen, S3, sehingga di panggungnya juga kayak gitu.

Sama seperti musik. Jadi kalau dibilang kok stand up comedy ada yang kasar-kasarnya gitu? Musik juga kan gitu, ada yang seperti Raisa, Tulus, tapi ada juga yang seperti misalnya Purgatory atau Seringai. Jadi selayaknya kesenian, stand up commedy juga ada banyak.

Apa sebenarnya plus minus stand up comedy dibandingkan dengan jenis pertunjukan humor/komedi lainnya? Mengingat di Indonesia juga punya lawakan yg khas misalnya ludruk, ketoprak, dll.

Stand up comedy relatif lebih mudah diselenggarakan dan dilakukan dibandingkan yang lainnya. Dilakukan dalam arti kata, dulukalau kita ingin jadi pelawak harus bikin grup, harus terlibat sanggar, baru dianggap pelawak kalo misalnya kita manggung di sebuah acara lomba lawak.

Kalau sekarang open mic ada di seluruh Indonesia. Jakarta saja ada open mic di stand-up Indo di Jaksel, Jakpus, Jakut, Jakbar, Jaktim. Orang tinggal datang ke open mic-nya.

Open mic itu acara yang kamu datang, daftarin diri, terus bisa langsung stand up saja gitu. Jadi jauh lebih mudah dan nyatanya banyak banget kehidupan orang yang berubah gara-gara stand up. Saya punya banyak teman yang tadinya buruh pabrik, tadinya pengangguran, atau tadinya jualan drugs, sampai akhirnya bisa ninggalin semua kehidupan itu karena stand up comedy memberikan pilihan yang lebih baik. Di mana dulu kalau tidak ada stand up comedy mungkin dia sulit untuk menjadi seorang pelawak. Untuk penyelenggara juga mudah. Hanya butuh panggung, mikrofon, sudah.

Sementara kalau lainnya ada alat, set, sound system segala macam, lebih kompleks. Jadi di satu sisi lebih mudah penyelengaraannya.

Nah, kekurangannya adalah secara teknis sebenarnya kalau menurut saya Stand up comedy itu lebih rumit. Dalam hal risiko menyinggungnya jauh lebih besar karena dia verbal, dia hanya mengandalkan apa yang ada di kepala dia dan keluar. Kadang-kadang apa yang kita ucapkan, jangankan lawak, sehari-hari saja bisa bikin lawan tersinggung.

Sementara stand up comedy membahas keresahannya dia. Kadang-kadang keresahannya dia dianggap tidak baik untuk dibahas sama orang lain. Misalnya ngomongin tentang pemerkosaan, kok pemerkosaan dijadikan bercandaan? Hal-hal seperti sangat besar kemungkinannya menyinggungnya.

Belakangan ini saja banyak kasus stand up comedian yang menyinggung, kayak kemarin namanya Bari dia membahas komunitas Musang Lovers. Dia bikin joke tentang musang, komunitas musang tersinggung. Sebelumnya ada komika namanya Choki, dalam jokenya dia bilang kurang lebih “Kalau saya salah, saya kabur ke Arab Saudi.” Ada orang tersinggung, seperti gitu-gitu banyak kejadian.

Sehingga rumit, besar risikonya. Di sisi lain, stand up comedy rumit karena dilakukan sendiri jadi kalau “garing”, dia tidak punya teman-teman yang bantu bikin ramai. Kalau bertiga, yang satu “garing”, dua orang lainnya bisa ngeramein. Kalau sendiri, mau lari ke mana? mau pura-pura bagaimana? Jadi memang itu plus dan minusnya.

Kiat menjadi komika bagi orang-orang yang tidak pinter melucu bagaimana?

Ada tiga hal sederhana, meskipun prakteknya agak ribet juga.

Pertama, cari pengalaman hidup kita yang menurut kita bisa dijadikan komedi. Pengalaman hidup itu lebih gampang Kedua, prinsip komedi itu tragedi plus waktu sama dengan komedi, yang dulu kita anggap ngenes sekarang kalau diceritakan ulang kok jadi lucu ya.

Misalkan putus cinta. Pada saat mengalami sih nangis-nangisan, tapi kalau sekarang diceritakan lagi ke orang bisa jadi sumber ketawa. Tragedi plus waktu sama dengan komedi jadi kita cari yang ngenes, yang sedih-sedih gitu tapi syarat utamanya kita harus sudah memaafkan kondisi tersebut. Kalau kita belum memaafkan kondisi itu, maka jatuhnya kita kayak marah-marah di panggung.

Ketiga, latihan. Saya suka kaget melihat audisi stand up comedy Kompas TV atau SUCA yang di Indosiar, banyak sekali yang ikut audisi membawakan materi yang dia belum tahu lucu atau tidak. Jadi kalau ditanya, sudah siap? Jawab siap. Lucu tidak nih materinya? Lucu, Bang. Tahu dari mana? Sudah pernah dicobain? Belum Bang. Belum pernah sekalipun? Belum pernah. Terus tau dari mana kalau ini lucu? Kayaknya sih lucu, Bang.

Nah, stand up comedy itu kesenian panggung, latihannya ya harus di panggung. Makanya latihan open mic penting. Karena kalau menurut kita lucu, belum tentu menurut orang lain lucu. Jadi kuncinya adalah ketika kita habis nulis, kita coba di panggung. Bener tidak nih lucu. Kalau misalkan tidak lucu, salahnya di mana? Apakah salah pemilihan kata atau salah pakai analogi sehingga orang tidak mengerti atau memang topiknya tidak lucu saja. Nah itu hanya bisa ketahuan ketika kita latih lawakan tersebut di depan penonton betulan.

Hanya bisa di open mic atau bisa kita lakukan sendiri dengan cara di depan cermin atau merekam sendiri lalu didengar ulang misalnya?

Sebaiknya tidak, karena salah satu yang menipu adalah tidak mendengar suara tawa penonton. Jadi ketika latihan di kaca, oh kita sudah bisa nih. Tapi kan itu (untuk melihat) bisa membawakannya saja, sedangkan yang harus diasah itu lucu atau tidaknya. Hal yang paling sulit dilatih adalah sensitivitas komedi, yang menurut kita lucu tapi menurut orang lain lucu atau tidak?

Makanya saya sama sekali tidak menyarankan untuk merekam suara terus didengar lagi atau ngomong di depan cermin. Karena semu, dan tidak dapat responnya.

Bedanya nyanyi dengan stand-up adalah kalau menyanyi, penonton tidak ikutan nyanyi, bahkan tidak perlu ikut goyang, kita tetap baik-baik saja. Tapi di stand-up, kalau orang tidak tertawa, itu kan termasuk gagal. Meraba bagaimana caranya bikin mereka tertawa itu yang bikin susah, makanya tidak mungkin tidak open mic, sih.

Intinya, latihan.

Anda punya program rutin, Tur Dunia. Apa sebenarnya misi dari Tur ini?

Kayaknya kalau ide tur semua orang yang pernah ngangkat mic entah untuk menyanyi atau ngelawak, pasti dalam hatinya pernah terpikir untuk tur dunia, tak terkecuali saya di stand up comedy.

Pertama kali saya tur dunia itu 2014-2015. Sejak itu saya bilang sama tim, kita bisa melakukan ini setiap tur kita ke luar negeri juga. Jadi setiap tur adalah world tour. Sejak itu, saya tur kedua di tahun 2016, judulnya World Tour ke 24 Kota di 5 Benua. Setelah itu saya jalan lagi sekarang, Pragiwaksono World Tour ke 11 kota di berapa negara.

Kali ini temanya Pragiwaksono, artinya kebijaksanaan. Mengapa kita angkat tema ini? Salah satunya adalah bahwa kalau kita ingin tetap utuh sebagai sebuah bangsa mutlak dibutuhkan kebijaksanaan dalam banyak hal. Bijak dalam menanggapi berita, bijak dalam menanggapi hoax, bijak dalam berkampanye, bijak dalam cara kita mendukung, bijak dalam cara kita menangani perbedaan pendapat. Hal-hal seperti ini perlu dibahas karena ada yang kurang matang dari pemahaman bangsa Indonesia akan persatuan, itu menurut saya.

Kita masih sering berpikir, “Lihat saya, kita beda ras, beda agama, beda suku, tapi kita bersatu. Pancasila banget”. Tapi cara berpikir kita, orang baik bersatu dengan orang baik. Selain kita (yang orang baik ini) adalah jahat.

Dan kita pikir itulah persatuan. Padahal kalau dua golongan ini ada dalam satu negara ya bukan persatuan justru perpecahan. Karena pertanyaan besarnya adalah siapa yang berhak bilang saya orang baik, dia orang jahat?

Sering kali kita seperti itu. Nah sekarang, perdamaian dan persatuan macam apa yang kita harapkan kalau terus-menerus kita masih ngomongin saya orang baik, dia orang jahat. Tidak selesai-selesai.

Nah ini menurut saya tema yang sangat penting apalagi jelang Pilpres.

Biasanya kalau dengar kata bijaksana identik dengan orang tua. Bijaksana bagi anak muda, seperti apa menurut Pandji?

Sebetulnya bijaksana adalah kebutuhan bagi semuanya, tua atau muda. Justru anak muda saat ini pun perlu semakin bijaksana, karena biasanya kita lebih senang buru-buru ketimbang bersabar dahulu.

Paling mudah seperti cara kita bereaksi terhadap segala sesuatu yang terlalu cepat. Kita senang sekali mengambil kesimpulan padahal informasinya masih sedikit. Nah yang seperti itu kan kurang bijak.

Sabar sedikit, coba cari informasi yang lebih lengkap. Tapi banyak yang tidak suka begitu. Inginnya buru-buru kesimpulan.

Soal menarik kesimpulan buru-buru, jadi ingat promo world tour yang Anda bikin.Banyak orang mengira Pandji akan nyaleg, terjun ke politik. Ada pro, ada kontra. Bagaimana ceritanya?

Jadi gara-garanya justru dari tantangan yang kita hadapi. Salah satunya adalah target untuk menjual lima ribu tiket di Plenary Hall. Lima ribu itu banyak sekali. Belum pernah ada stand-up comedian bikin acara dengan lima ribu tiket.

Jadi tantangan kami, pertama bagaimana cara kita jual tiket sebanyak itu. Kedua, sudah pasti tidak murah, karena belum ada jaminan sponsor. Jadi biayanya benar-benar mengandalkan tiket, sehingga tiket mahal sampai jutaan.

Tantangan selanjutnya, bagaiman cara berpromosi. Karena 2018-2019 atmosfir politiknya kental banget, Pilkada dan Pilpres.

Ini tantangan banget, bagaimana ketika semua perhatian tertuju pada politik, kami malah mau ngelawan itu (jualan tiket stand up commedy). Susah banget.

Dan yang keempat, gara-gara beres Pilkada, si Pandji ini ngomong apapun selalu dikaitkan ke sana. Nah dengan semua permasalahan ini, bagaimana caranya kita bisa promo seluas mungkin. Saya pikir kita butuh ngedesain sesuatu yang membuat pendukung Pandji ikut ngepromoin, orang yang tidak suka Pandji ikut ngepromoin, media ikut ngepromoin.

Nah kebetulan kan netizen sangat mudah ditebak gelagatnya. Jadi saya pikir, ide pertama sebetulnya adalah pasang billboard. Saya pikir kalau sewa billboard lalu pakai batik dan pakai jargon-jargon kampanye, pasti akan ramai responnya.

Dari situ saya tanya teman-teman manajemen, tadinya mau pasang di Jakarta, mahalnya setengah mati, Bekasi saja mahal. Akhirnya kami cari Bandung yang paling dekat. Dan cari titik orang Jakarta banyak lewat, yaitu Cihampelas. Selain itu Bandung netizennya juga berisik. Jadi kalo kita taruh di sana, sudah pasti mereka akan bereaksi. Selain Bandung, kita juga pasang di Yogyakarta, karena di sana netizen-nya juga berisik.

Untuk lebih meyakinkan, saya bikin hand sign “Salam Persatuan”. Karena waktu itu hand sign “Oke Oce” cukup viral. Orang ngetawain oke oce, kan. Hand sign macam apa itu.

Saya pikir kalau netizen dikasih beginian pasti dimakan. Karena netizen banyak merasa si Pandji tidak cocoklah ngomongin persatuan karena waktu Pilkada DKI, mendukung ke Mas Anis yang ditempel sama Ormas yang dianggap kurang pro-persatuan, begitu kurang lebih anggapan orang.

Jadi sudah hand sign-nya aneh, hashtag-nya “Salam Persatuan”. Nah ketika saya naikkinbillboard-nya, saking viral-nya, sampai trending topic. Beredar di grup WhatsApp, grup LINE, orang-orang pada membahas, si Pandji nyaleg, ya? Nyebar lah itu.

Netizen-netizen yang dari kemaren tidak suka sama saya ikut menertawakan, tapi mereka tidak sadar ketika mereka me-retweet, itu website pilihpandji.com kebawa terus informasinya. Ketika mereka buka, ada count down, disitu ada tulisannya “Pandji Merapat Bersama”.

Istilah merapat kan identik dengan merapat ke partai. Jadi membuat mereka tambah penasaran ingin nunggu “00”-nya seperti apa. Nah semakin dekat hari-H saya pikir makin butuh dibikin ramai lagi, makanya saya bertemu teman-teman saya yang orang Parpol lalu foto-foto bareng mereka untuk menyebar gosip. Pertama teman saya orang PAN, orang langsung pada wah benernih Pandji ke PAN, partai artis, gitu-gitu. Lalu untuk bikin mereka bingung, saya mendesain konten yang warnanya mirip Perindo. Hehehe. Ooh Pandji Perindo, nih. Ganti lagi warnanya PDIP, begitu-begitu, lah. Sampai akhirnya dua hari sebelum countdown-nya jatuh di 00, saya pikir saya butuh partai yang kalo foto sama dia, netizen langsung meledak. Ooh, PKS. Hehehe. Yaudah, saya bertemu dengan temen di PKS, foto sama mereka, meledak habis itu

Ketika 00.00, informasi tentang pilihpandji.com itu ternyata tour, akhirnya menyebar kemana-mana, dan saya kaget ternyata itu berdampak terhadap penjualan tiket. Makanya kemarin bisa terjual dengan cepat sekali. Ketika bertemu media, saya tidak pernah nyebut sama sekali mau nyaleg, hanya mereka berasumsi sendiri. Jadi tiap kali ditanya, memang mas Pandji mau maju dari partai mana nih, jawabannya selalu ya saya mendengar aspirasi rakyat yang menginginkan saya akhirnya maju, begitulah hehe. Mereka sendiri yang berasumsi nyaleg. Padahal aslinya promosi tiket stand up commedy.

Kita sering menjumpai sebagian orang yang suka “baper” (bawa perasaan) ketika berbeda pilihan, bagiamana menurut Anda?

Kalau menurut saya, penyakit terbesar itu adalah kebanyakan ketika manjatuhkan pilihan pada sesuatu atau seseorang, lalu membuat kita merasa lebih superior dari yang lain. Saya pilih orang ini, maka saya benar, saya orang baik. Di saat yang sama, kita memandang salah yang berbeda pilihan. Itu yang menurut saya yang menjadi penyakit. Karena itu menunjukkan kita masih emosional dalam berpolitik.

Dengan berbagai kondisi tadi, menurut Anda ada masalah dari segi optimisme terhadap Indonesia yang dimiliki anak-anak muda?

Tidak, sih. Dari dulu anak muda selalu optimis sama Indonesia. Hanya saja permasalahannya adalah mereka sering belum tahu harus berbuat apa untuk Indonesia? Itu pertanyaan yang sudah saya dengar dari tahun 2008 sebenernya. Satu dekade, pertanyaan itu selalu muncul di kampus-kampus. Mereka bilang, “Saya selalu nonton dan baca bukunya bang Pandji tapi saya bisa apa nih untuk Indonesia?”

Selalu sama seperti itu. Dan itu menandakan bahwa kendala terbesar anak muda bukan soal kecintaan sama Indonesia-nya, tapi penyaluran kecintaan tersebut.

Tapi omong-omong, sebelumnya sudah pernah dengar GNFI, kan?

Ya sudahlah, gila kali. Tahun 2008 eh dari 2010

Kalau menurut Anda, sesignifikan apa sih perlunya berita baik itu?

Justru sangat signifikan. Seperti ada penelitian yang membahas tentang pengaruh media terhadap kecenderungan tren bunuh diri. Jadi ketika media banyak memberitakan bunuh diri, kecenderungan orang bunuh diri meningkat, karena mereka melihat ada orang yang punya jalan keluar seperti itu.

Penelitian itu membahas betapa eratnya persepsi publik berangkat dari berita yang disiarkan. Memang GNFI masih sangat kurang mendapatkan perhatian. Kalau mau ideal, jumlah orang yang mengonsumsi GNFI harusnya ada di level yang sama dengan jumlah orang yang mengonsumsi Detik atau Tempo atau apapun, tapi kan belum sampai segitu.

Jadi ada banyak hal yang bisa dilawan. Psikologis, persepsi misalnya. Dan ada anggapan GNFI tuh isinya orang-orang naif, padahal tidak kan. Sebenernya kan kalian ingin jadi penyeimbang saja. Ya cuma itu salah satu persepsi publik yang tidak perlu dilawan. Jalanin saja. Menurut saya kekurangan GNFI cuma satu, kurang pesaing. Menurut saya anak GNFI mesti jebol, keluar bikin masing-masing hehe. [wa]

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Good News From Indonesia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini