Ingat Tangan Kidal, Ingat Ellyas Pical

Ingat Tangan Kidal, Ingat Ellyas Pical
info gambar utama

Sebelum nama Chris John mengudara, sebelum Muhammad Rachman menggenggam titel juara dengan penuh rasa bangga, dan sebelum Nico Thomas dielu-elukan seluruh Indonesia, tersebutlah nama Ellyas Pical sang legenda.

Menyebut nama Ellyas Pical, maka ingatan kita akan tertuju pada tangan kidal. Ibarat sebuah kesatuan, seperti nasi goreng dan telur, atau siomay dengan bumbu kacangnya. Tangan kidal Ellyas Pical merujuk pada keberhasilannya mengalahkan Chun Ju-Do pada perebutan gelar juara dunia. Saat itu Ellyas menundukkan lawannya dengan pukulan tangan kiri.

3 Mei 1985, Elly (begitu ia akrab dipanggil) menghadapi petinju Republik Korea, Chun Ju-do, untuk memperebutkan titel juara dunia tinju kelas super terbang di Jakarta. Di pertandingan itulah, ia menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi juara, dan sejak saat itu pula julukan The Exocet mulai melekat padanya.

The Exocet adalah rudal buatan Prancis yang digunakan oleh Argentina pada masa Perang Malvinas. Kebetulan perang tersebut berkecamuk pada saat masa kejayaan Ellyas Pical, yang mana terkenal dengan pukulan tangan kirinya yang dahsyat. Apapun tekniknya, baik hook maupun uppercut, tangan kiri Elly adalah senjata mematikan.

Chun Ju-do bukan satu-satunya korban keganasan tangan kiri Elly. Tiga petinju lain juga pernah merasakan betapa sakitnya bertatap muka dengan The Exocet, yaitu Cesar Polanco petinju asal Republik Dominika, Wayne Mulholland atlet tinju kelahiran Australia, dan Chang Tae-ill petinju dari Republik Korea.

Bedanya, lelaki kelahiran Maluku ini sempat merasakan kekalahan dari salah satu lawannya. Adalah Cesar Polanco yang menorehkan noda tersebut, sebelum dibalas Elly pada pertemuan kedua, 5 Juli 1986 di Jakarta.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Cahaya dari sang pencari mutiara

Melihat Ellyas Pical bergoyang di atas ring sangat memanjakan mata sekaligus memacu adrenalin. Semangatnya terus terpompa, dengan keinginan besar untuk jadi pemenang di akhir laga. Sebuah kerja keras yang sudah terbiasa dilakoninya sejak usia belia.

Di masa kecilnya, legenda yang lahir pada 24 Maret 1960 ini bekerja sebagai pencari mutiara di bawah laut. Ia melakukannya secara tradisional, alias tanpa memakai alat menyelam atau alat keselamatan lainnya. Konon, kebiasaan itulah yang membuat indera pendengarannya jadi kurang baik.

Terbiasa bekerja keras sejak anak-anak membuat mental Ellyas Pical tak mudah goyah. Bahkan setelah depresi berbulan-bulan akibat ditaklukkan petinju Thailand, Khaosai Galaxy, Elly bisa bangkit dengan merebut kembali gelar juara IBF dari genggaman Chang Tae-ill.

Gelar yang direbut dari Chang adalah perayaan terakhirnya sebagai juara dunia. Setelahnya, Elly gagal mempertahankan gelar dari petinju Kolombia bernama Juan Polo Perez pada 4 Oktober 1989, yang menuntunnya untuk menepi secara perlahan dari arena.

Sejak saat itu Ellyas Pical tak lagi bertanding memperebutkan gelar. Pontang-panting ia berusaha mencari cara untuk menyambung hidup, yang konon sampai membuatnya rela menjadi petugas keamanan di sebuah diskotik di Jakarta.

Kini nama Ellyas Pical tak lagi terpampang di media-media berkat aksinya, tapi telah beralih ke prestasi, medali, dan memori manisnya. Walau sempat tersandung kasus transaksi obat-obatan terlarang pada 2005 silam, namanya masih sangat harum untuk dikenang, bersama pukulan tangan kiri yang membuatnya selalu disegani.


Sumber: Bola.com, Merdeka.com,

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini