NABU Bawa Empat Mahasiswa Brawijaya Ini Meraih Emas Dari Mumbai

NABU Bawa Empat Mahasiswa Brawijaya Ini Meraih Emas Dari Mumbai
info gambar utama

Para mahasiswa dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya di Malang, Jawa Timur, memenangkan tiga dari lima medali emas yang diperebutkan pada Kompetisi Pengembangan Produk Sains dan Teknologi (IUFoST) Persatuan Internasional Ilmu dan Pangan 2018.

Acara ini diadakan pada 23-27 Oktober di Pusat Pameran CIDCO di Mumbai, India. Kompetisi ini adalah kompetisi pengembangan produk pangan dunia dua tahunan yang dimulai pada tahun 1962.

Bertemakan, 25 Miliar Makanan Sehari pada tahun 2025 dengan Makanan Sehat, Bergizi, Aman, dan Beragam, kompetisi ini menarik lebih dari 3.000 kontestan dari 74 negara.

Widya Nur Habiba, Alfisah Nur Annisa, Annisa Aurora Kartika, dan Joko Tri Rubiyanto dari Universitas Brawijaya meraih penghargaan Presentasi Lisan Terbaik, Konten Komersial Terbaik, dan kategori Proyek Keseluruhan Terbaik.

Alfisah Nur Annisa (kiri), Widya Nur Habiba (kiri kedua), Annisa Aurora Kartika (kanan ke dua) dan Joko Tri Rubiyanto (kanan) berpose dengan penghargaan yang mereka menangkan di International Union of Food Science and Technology (IUFoST) 2018 Pengembangan Produk Kompetisi di Mumbai, India, pada 27 Oktober (Sumber: Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya)
info gambar

Untuk kompetisi tersebut mereka mengajukan beras analog yang terbuat dari sagu lokal, jagung, dan umbi porang (ubi kaki gajah). Nasinya diberi nama NABU, yang berarti nasi berbahan dasar sagu (beras sagu).

Ketua Tim Widya Nur Habiba mengatakan NABU lebih bergizi dan memiliki tingkat indeks glikemik lebih rendah daripada beras biasa untuk mencegah kekurangan gizi dan risiko diabetes yang lebih tinggi.

Berpose bersama beras analog NABU | Sumber: Universitas Brawijaya
info gambar

Dia menambahkan bahwa bahan utamanya mudah ditemukan di Indonesia dan beras ini dapat tumbuh dalam kondisi ekstrim.

Widya juga mengatakan bahwa NABU dapat dikonsumsi sebagai pengganti beras biasa untuk mengurangi impor beras.

"Beras analog bisa dilihat sebagai solusi untuk kelaparan, seperti yang terjadi pada suku Asmat di Papua pada Januari 2018," tambahnya.

Sumber: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini