Pos Indonesia, Dari Zaman Kolonial Sampai Generasi Milenial

Pos Indonesia, Dari Zaman Kolonial Sampai Generasi Milenial
info gambar utama

Degup kencang jantung seseorang berdebar. Ia menanti sebuah kabar, dan gelagatnya sudah tidak sabar. Semangatnya berkobar, bersama dengan kerinduan yang membesar, ia terus memandang ke luar dari jendela kamar.

Sebuah surat baru saja ia kirimkan minggu lalu, dan balasannya selalu sabar ia tunggu. Secara kuantitas isi suratnya hanya sedikit, tapi mengandung arti yang sangat banyak. Di situ tertulis, “Mas, apa jadi pulang hari Minggu? Aku rindu.”

***

Sepucuk surat bisa demikian vitalnya kala itu. Hanya berupa secarik kertas dan sebuah amplop, surat bisa menyampaikan beragam pesan untuk yang dituju. Kerinduan, kebencian, penyesalan, pun lamaran pekerjaan, semua bisa dilakukan dengan melipat kertas sedemikian rupa dan memasukkannya ke amplop. Ada yang bewarna putih, ada yang coklat bergaris merah-putih di tepi.

Surat juga menjadi saksi bisu bagaimana bangsa ini berjuang melawan penjajah. Dari negara tetangga semenanjung Iberia, Britania, Belanda, sampai yang menyebut dirinya Cahaya Asia. Dengan surat, para pejuang kemerdekaan bisa berkomunikasi walau tak dapat bertatap muka.

Bicara tentang surat tak bisa dilepaskan dari kurir. Sang pengantar surat, atau yang di Indonesia biasa disebut “Pak Pos” atau “Tukang Pos”, layak disebut pekerja tanpa tanda jasa. Ia dengan tulus mengantar surat-surat sampai ke tujuan, tapi tidak pernah meminta pengakuan jika sudah selesai melakukan.

Jasanya begitu besar dan begitu penting, sampai menjadi filosofi selebrasi seorang pemain sepak bola. Dialah Mario Balotelli, dengan selebrasi tanpa ekspresi. Ketika ditanya mengapa melakukannya, Balo menjawab dengan pertanyaan retoris.

“Apakah ketika seorang Tukang Pos selesai mengirim surat, dia merayakannya?”

Tukang Pos | Papasemar
info gambar

Berjalan mengikuti zaman

Surat menyurat memakai jasa pos menjadi salah satu warisan zaman penjajahan Belanda di negeri ini, selain rel kereta api dan bangunan-bangunan klasik. Sejak zaman itu, masyarakat Indonesia sudah dikenalkan dengan sistem pos.

Infrastrukturnya juga terus dikembangkan. Mulai dari pembuatan jalan Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 Km yang diberi nama Groote Postweg (Jalan Raya Pos), sampai pendirian kantor pos pertama di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta). Pos pertama itu dibangun pada 26 Agustus 1746.

Sistem pengiriman pun terus diperbarui. Dari yang awalnya memakai cap, prangko, sampai nomor resi seperti sekarang, dan seragam berwarna oranye untuk kurirnya. Perkembangan yang mengikuti zaman ini juga membuat Pos Indonesia tak lagi sekadar jasa pengiriman surat, tapi juga paket-paket berupa barang.

Perkembangan jasa Pos ikut meliputi edisi-edisi prangko tertentu, yang sangat menarik untuk dikoleksi. Ada pula kartu pos, yang pernah sangat digemari untuk mengirim ucapan di Hari Raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Kartu pos juga bisa digunakan sebagai “oleh-oleh” yang bergambar destinasi wisata luar negeri.

Akan tetapi walaupun Pos selalu bisa menyesuaikan diri dengan zaman dan jadi salah satu BUMN tertua di Indonesia, eksistensinya juga sempat terancam. Itu terjadi di awal tahun 2000-an, ketika ponsel mulai masuk Indonesia beserta layanan pesan singkatnya yang diberi nama SMS.

Secara perlahan Pos mulai ditinggalkan. Kantor Pos menjadi sepi, karena keramaian beralih ke konter handphone. Penjual-penjual prangko pun semakin sulit ditemukan, seiring makin maraknya penjual pulsa di pinggir jalan.

Meski demikian Pos Indonesia tidak patah arang. Mereka terus mencari cara untuk bertahan di tengah pesatnya perkembangan teknologi pengiriman pesan. Perjuangan yang tidak sia-sia, karena sampai detik ini, Pos Indonesia masih setia melayani kebutuhan para kuli tinta dan pelanggan-pelanggan lainnya.

Saat ini hanya segelintir orang yang mengirim surat memakai jasa pos. Kalaupun ada, biasanya untuk keperluan-keperluan tertentu yang kudu dikirimkan berupa dokumen fisik.

Pos Indonesia, fungsinya sudah berganti menyesuaikan era teknologi, tapi akan selalu ada di hati para anak negeri. Tetap setia melayani para pelanggannya, mulai zaman kolonial sampai generasi milenial.


Sumber: Pos Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini