Mengenal Sosok Arie Lasut, Pahlawan Nasional yang Gugur Dalam Menjaga Dokumen Pertambangan Negara

Mengenal Sosok Arie Lasut, Pahlawan Nasional yang Gugur Dalam Menjaga Dokumen Pertambangan Negara
info gambar utama

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan segala macam kekayaan yang dimilikinya, ini pula yang menjadi dasar para penjajah menetapkan Indonesia sebagai tempat jajahan mereka. Selama masa penjajahan, selama itu pula perjuangan dilakukan oleh para pejuang kita guna menjadi negara yang merdeka dan terlepas dari segala macam bentuk penjajahan. Berbagai bentuk perlawanan dilakukan, mulai dari mengangkat senjata, melalui jalur pendidikan, bahkan mengamankan dokumen-dokumen negara sekalipun.

Adalah Arie Frederik Lasut, seorang pemuda dari Sulawesi Utara yang mencatat namanya dengan tinta emas dalam buku para pejuang kemerdekaan Indonesia. Mungkin banyak yang belum mengetahui beliau, namun sepak terjangnya dalam mempertahankan kedaulatan negara dangat perlu dijadikan teladan oleh kita.

Arie Lasut dilahirkan di Tondano, Sulawesi Utara, 6 juli 1918. Anak pertama dari delapan bersaudara ini lahir dari pasangan Darius Lasut dan Ingkan Supit. Darius Lasut adalah seorang guru yang membesarkan anak-anaknya dalam lingkungan agama yang kental. Arie kecil merupakan anak yang pintar, ia bersekolah di HIK (Hollands Inlandse School), sebuah sekolah di Tondano, Ambon hingga ke Bandung karena mendapat predikat siswa terbaik. Di Bandung ia pindah kesekolah umum tingkat atas (Algemeene Middlebare School) dengan jurusan IPA di Jakarta.

Setelah tamat dari AMS tahun 1937 ia meneruskan ke sekolah kedoktera (FKU UI saat ini), namun tak diteruskannya karena kesulitan biaya saat itu. Ia sempat bekerja di Departemen Ekonomi milik Belanda selama setahun. Pada tahun 1939 ia mendaftar beasiswa dan diterima untuk masuk ke sekolah Teknik (ITB sekarang), namun sekolah ini pun tidak dilanjutkannya karena persyaratan dari Belanda yang mengharuskan menjadi warna negara Belanda serta merta ia tolak. Arie muda pun gagal menjadi dokter dan insinyur.

Tahun 1939 itu juga ia mengikuti ujian masuk kursus asisten geologi pada Dienst van den Mijnbuow (Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral saat ini). Ia lulus dua terbaik dari 400 peserta. Disinilah ia bertemu dengan Soenoe Soemosoesastro. Mereka berdua menjadi asisten geologi pribumi pertama di Indonesia. Selama mengikuti kursus, Ari juga masuk dalam CORO (Corps Opleiding Reserve Officer) yang dilatih oleh Belanda untuk membantu pertahan melawan Jepang.

Selama kependudukan Jepang, Jepang merubah nama Dienst van den Mijnbuow menjadi Chishitsu Chosacho. Arie dan Soenoe dan beberapa karyawan masih bekerja disana, bahkan ia diangkat menjadi asisten di departemen ini. Sebuah jabatan strategis bagi pribumi saat itu. Ia juga menemukan mineral "yarosit" pada saat meneliti di daerah Ciater. Laporan-laporan penelitian Arie dan kawan-kawan masih bisa kita lihat di Perpustakaan Pusat Penelitian Geologi, Badan Geologi di Bandung.

Jepang menyerah kalah pada perang pasific tahun 1945 dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Melalui instruksi presiden, segala asset harus di nasionalisasikan. Arie berperan penting dalam pengambilan Chishitsu Chosacho dari Jepang dan mengubahnya menjadi Poesat Djawatan Tambang dan Geologi (PDTG). Berbekal pengetahuannya akan ilmu Geologi, Arie ditetapkan menjadi kepala Djawatan tersebut dan Soenoe sebagai wakilnya. Saat itu usianya baru 28 tahun. Usia yang boleh terbilang muda untuk memegang suatu jabatan di Jawatan yang merupakan terbesar di Asia ini.

Masa awal kemerdekaan tidaklah berjalan mulus, Belanda masih belum bisa move on, dan masih ingin menjajah Indonesia lewat agresi militer I dan II nya. Dan Djawatan Geologi dan Tambang yang dipegang Arie merupakan salah satu target operasi Belanda yang harus dikuasai. Arie juga menjadi incaran Belanda saat itu.

Semula orang yang meragukan kesetiaan Arie karena ia orang Manado (orang dahulu berpendapat bahwa orang Manado lebih berpihak pada Belanda - M.M. Poerbo - senior geologist, murid Arie dan Soenoe), ternyata menolak mentah-mentah untuk bekerjasama dengan Belanda. Bahkan Arie tergabung dalam KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), sebuah gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia sering ikut merebutkan pos-pos yang dijaga Belanda, mengambil senjatanya dan membagikan kepada anak buahnya. Arie yang juga berjuang bersama adiknya, Willy Lasut (TNI AD) juga membantu para pejuang dengan menyumbangkan bahan-bahan kimia pembuat bom yang ia ambil dari laboratoriumnya.

Sebagai seorang kepala Djawatan, Arie paham betul pentingnya dokumen-dokumen yang berisi informasi kekayaan pertambangan negara ini. Ia beberapa kali memmindahkan kantor Djawatannya ke berbagai tempat guna menghindari Belanda. Dari Bandung ia berpindah ke Tasikmalaya, kemudian ke Magelang, Arie juga sempat melarikan dokumen-dokumen tersebut ke Bukittinggi, lalu kembali ke Magelang, dan terakhir ia berpindah ke Yogyakarta. Selama pelariannya, Arie dan Soenoe mendirikan sekolah Geologi untuk mencetak generasi-generasi penerus.

Disamping jabatannya sebagai kapala Djawatan Geologi, Arie tergabung dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Poesat)dengan wewenang setara DPR saat ini. Arie juga masuk dalam anggota delegasi Mohamad Roem dalam berunding dengan Van Roijen. Jabatan-jabatan penting Arie ini semakin membuat ia menjadi incaran Belanda. Beragam cara yang dikeluarkan Belanda agar Arie mau bekerjasama dan memberikan dokumen-dokumen penting tentang kekayaan pertambangan Indonesia ini. Mulai dari jabatan tinggi, gaji dan fasilitas mewah, bahkan sekolah di luar negeri. Namun semua tawaran tersebut kembali ditolak mentah-mentah oleh Arie. Setelah segala upaya bujuk rayu gagal, dan usaha terakhir Belanda untuk menariknya dalam perundingan Roem Royen pun kandas. Hal ini membuat Belanda semakin meradang.

Puncaknya pada pagi tanggal 9 Mei 1949, masuk radiogram dari Pemerintah Belanda di Jakarta kepada Komandan Pasukan Belanda di Yogyakarta yang berisi : "A.F. Lasut secepat mungkin dihilangkan". Arie Lasut kemudian "dijemput" dikediaman dan dibawa ke Pakem, Kaliurang. Dalam perjalan ia menerima berbagai siksaan agar mau memberitahukan informasi dan dokumen-dokumen kekayaan geologi Indonesia. Arie tetap tak bergeming, bahkan makin menimbulkan semangat berani mati untuk bangsa dan negaranya. Hingga akhirnya dengan gagah ia menatap tentara Belanda yang mengarahkan moncong senjatanya kearah Arie. Arie ditembak dengan keji oleh Belanda yang putus asa. Arie meninggal dihari tepat ditandatanginya perjanjian Roem Roijen diusia 30 tahun. Jenazahnya ditemukan terbujur kaku mengenakan celana dan kaus putih serta tangan yang menggenggam granat.

Arie gugur sebagai pahlawan dalam menjaga dokumen dan informasi mengenai kekayaan negara yang ada padanya. Untuk mengenang sepak terjang Aire F. Lasut, pemerintah memberikan gelar pahlawan Nasional melalui SK Presiden RI No. 12/T.K/1969 tanggal 20 Mei 1969. Bersama rekannya, Arie dan Soenoe juga dinobatkan menjadi bapak Pertambangan Indonesia. Di beberapa tempat namanya banyak diabadikan, di Sulawesi nama Arie diabadikan menjadi nama jalan dan nama GOR. DI Yogyakarta, nama Arie Lasut diabadikan menjadikan nama gedung Fakultas Teknologi Mineral sebuah kampus ternama. Prasasti untuk mengenang Arie pun dipasang di tangga menuju lantai 2 museum Geologi Bandung.

Arie sudah lama gugur meninggalkan kita, namun kisahnya patut kita contoh dan menjadi teladan bagi kita semua. Sebuah keserhanaan, kesetiaan, dan semangat pantang menyerah demi menjaga harkat dan martabat negara agar tidak jatuh ke tangan asing. Indonesia merdeka disegala sektor.

Selamat Hari Pahlawan.


Sumber: https://naldoleum.blogspot.com/2018/09/arie-lasut-geologi-pertambangan.html

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini