Ialah Tata Mandong. Lelaki kelahiran 1938 yang sejak tahun 2003 menempati rumah panggung di tengah Lembah Ramma. Lelaki yang memiliki tinggi 165 cm tersebut telah terbiasa hidup sendiri setelah sebelumnya sempat dua kali beristri dan tidak memiliki anak.
Diketahui bahwa Tata Mandong merupakan panggilan dari banyaknya petualang dan penikmat alam yang sering mengunjunginya. Nama Tata sendiri merujuk pada bapak.
Di tempat tinggalnya, Tata mengaku tak memiliki tetangga. Untuk menjangkau desa terdekat, Lembanna, diperlukan waktu berjalan kaki tanpa istirahat sekitar dua jam.
Diakuinya, sesaat sebelum tidur ia selalu memikirkan banyak hal termasuk persoalan alam dan lingkungan yang menurutnya harus selalu dijaga.
Ia menjadi perbincangan banyak pihak berkat dedikasinya terhadap alam khususnya Gunung Bawakaraeng. Perkenalannya dengan gunung tersebut dimulai pada usia 10 tahun. Bersama orangtua dan puluhan warga desa di Panaikang dan Lompobattang, ia melakukan perjalanan menuju puncak.
Ketika itu, ia tak bisa lagi merinci suasana dan detail yang terjadi. Ia justru mengaku menikmati semua yang terjadi. Ia dapat melihat kampung dari ketinggian, lembah, dan awan. Disebut pula bahwa masyarakat kaki Bawakaraeng memandang gunung sebagai tempat suci yang tak boleh dikotori dan harus sopan.
Melalui Mongabay diketahui bahwa secara harafiah Bawakaraeng dalam bahasa Makassar terdiri dari dua kata. Bawa berarti mulut dan Karaeng ialah orang mulia. Bawakaraeng berarti dapat pula disimpulkan sebagai mulut orang mulia atau suci. Oleh sebab itu tak heran dulu jika hendak naik ke Puncak Bawakaraeng maka di pos delapan para pendaki harus membuka alas kaki untuk ke puncak.
Diakui oleh Tata Mandong bahwa di tahun 1972 ialah kali pertama baginya bersentuhan dengan Bawakaraeng. Mulanya dia menjadi tenaga honorer melalui Dinas Kehutanan Gowa untuk menanam juga menjaga bibit pohon pinus.
Tak hanya itu, Mandong rupanya turut dipercaya untuk menjaga dan menelisik perubahan hutan di pegunungan Bawakaraeng dan Lompobattang. Dengan upah sebesar Rp 500,- perbulannya di tahun 1972 ia berupaya memberikan yang terbaik. Lambat laun Mandong tak menerima upah dalam bentuk uang melainkan diganti dengan beras, sabun, ikan, dan garam.
Dalam kesehariannya, Tata Mandong tinggal di sebuah rumah dengan tiga sekat kecil. Satu sekat depan sebagai ruang utama, tempat tidur. Ada pula sekat kamar kecil yang bersisihan dengan dapur tungku kayu. Di bagian depan, terdapat teras beratapkan seng yang masih mengkilap, yang rupanya merupakan sumbangan dari pendaki.
Beberapa tahun terakhir jalur Lembanna menuju Lembah Ramma diketahui cukup ramai. Bahkan jika di akhir pekan akan ada puluhan tenda yang berdiri di pinggir aliran sungai, juga di tepi telaga atau di antara pinus. Di tengah lembah berkibar bendera Indonesia yang tertancap pada tiang besi. Diketahui bahwa tiang bendera tersebut didirikan beberapa kelompok pencinta alam saat peringatan Kemerdekaan Indonesia tahun 2015.
Sebagai orang yang mengabdikan hidupnya untuk alam, Tata Mandong selalu menghimbau agar setiap orang mampu menjaga lingkungan dengan baik. Termasuk salah satunya seperti yang ia lakukan dalam menjaga kawasan Gunung Bawakaraeng. Ada satu kutipan yang hingga kini teringat atas apa yang pernah disebutkan Tata Mandong, “Saya mau kalau mati dikubur di sini (Bawakaraeng). Nda dikubur juga nda apa, yang penting dekat Bawakaraeng.”
Sumber: Mongabay
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News