Menikmati Raptor Bermigrasi di Gunung Sega Bali

Menikmati Raptor Bermigrasi di Gunung Sega Bali
info gambar utama

Jalan berkelok dan sangat terjal harus dilalui sekitar 30 menit berkendara sampai tiba di sebuah bukit tertinggi, di ujung timur Pulau Bali. Nama dusun dan bukitnya Gulinten, tapi kadung populer dinamakan Gunung Sega. Karena menjadi lokasi stasiun transmisi TVRI Gunung Sega sejak 2005.

Mesin motor panas saat berhasil tiba dan parkir di halaman stasiun pemancar TVRI. Seorang perempuan muda sedang bersiaga tiap jam memantau langit, berbekal teropong binocular dan kamera. Beberapa kali ia pindah posisi, di halaman depan, halaman belakang, sampai titik bukit lainnya.

Santi Tyas, mahasiswa jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana ini sangat bersemangat melakukan penelitian untuk skripsinya, menghitung jumlah dan jenis burung raptor yang bermigrasi. Ditemui pada Rabu (31/10/2018), Santi mengatakan sudah memantau tiap hari sejak 4 Oktober hingga 30 November ini. Periode bermigrasinya ribuan raptor dari daerah dingin ke hangat.

Bukit Sega yang berada di seberang bebukitan Pura Lempuyang, Karangasem, Bali ini dinilai salah satu tempat pemantauan terbaik. Para raptor yang terbang mengarah ke Pulau Lombok, bahkan bisa terbang sepinggang para pengamat burung jika berada di titik bukit tertentu.

Panoraman Gunung Agung terlihat di salah satu sisi Gunung Sega, Karangasem, Bali. Gunung Sega merupakan tempat favorit meilhat burung migran di Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Pada Oktober sampai November adalah puncak migrasi raptor-raptor ini. Tak sulit menemukan mereka sedang terbang dengan sayap terbentang di langit. Terutama pagi sampai tengah hari. Jelang sore, jumlah yang melintas makin sedikit, bisa dihitung jari.

Selain raptor yang bermigrasi, juga terlihat sejumlah burung elang seperti ular bido yang tinggal di kawasan ini, mereka disebut residen. Suaranya tajam membelah bebukitan. Beberapa kali terbang berputar mengamati wilayah kekuasaanya. Sangat mendebarkan mengamati pemangsa ini dari jarak lebih dekat, namun tetap harus dibantu teropong. Mata dimanja dengan kekuatan rentang sayap dan kecepatan terbangnya.

Santi memulai pemantauan dari jam 8 pagi sampai 5 sore dengan mencatat jumlah, arah, dan pola terbang, apa sendiri, bergerombol, atau bareng sesama jenisnya. Tiap hari jumlahnya fluktuatif, pernah dalam sehari sampai ribuan ekor.

Salah seorang staf transmisi TVRI, Dono Waluyo juga menjadi pengamat dan fotografer burung. Ia sudah terbiasa menghitung rombongan ribuan raptor di langit. Menggunakan sistem kotak, hanya untuk mereka yang terlatih dan berpengalaman sebagai birdwatcher.

Saat musim dingin di bumi belahan Utara, rombongan raptor ini mencari tempat hangat ke negara-negara di garis khatulistiwa. Arus balik diperkirakan Maret-Mei, juga melewati bebukitan di Bali Timur ini. “Titik favorit di bukit itu, burung muncul dari bawah naik ke atas ke arah Lombok,” tunjuk Santi.

Santi sedang memantau migrasi burung raptor di kawasan Gunung Sega, Karangasem, Bali. Kawanan burung ramai pagi sampai tengah hari saja. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Mochamad Saifudin, adalah salah satu pengamat burung setia yang menghelat event pemantauan pada 14 Oktober lalu di Gunung Sega. Dengan fasih ia bercerita tentang migrasi burung pemangsa di Bali.

Peta jalur burung pemangsa misal dari Rusia, Jepang, Cina, memiliki rute mayor dan minor. Salah satu lintasan mayor adalah Dusun Gulinten, Abang, Karangasem ini. “Rutin lewat tiap tahun selain daerah dan negara lain seperti Lombok, Flores, dan lainnya di Indonesia,” kata Udin, panggilan akrabnya.

Sebelum sampai Bali, burung pemangsa ini masuk dari Baluran, Ijen, Alas Purwo (Jatim) ke Bali Barat (TNBB). Kemudian lewat pesisir utara Bali sampai Singaraja, dan terakhir Gunung Sega di Karangasem.

Dari pengalamannya, dipetakan ada tiga jalur utama migrasi. Bali Utara, Tengah, dan Selatan. Jika lewat Bali Tengah, mereka terbang di atas gunung Batukaru dan 3 danau (Buyan, Tamblingan, dan Beratan).

“Gunung Sega seperti mulut botol, titik kumpul sebelum ke Pulau Lombok,” sebutnya kenapa jumlah yang dipantau bisa sangat banyak di kawasan ini. Burung itu masuk Lombok lewat Malimbu, Gunung Tunak, pesisir Utara. Pengamatan dilakukan tiap tahun, bahkan bisa dua kali saat perkiraan datang dan pergi, arus datang dan balik.

Dalam satu hari bisa melintas 500-1000 ekor tapi bisa juga saat yang sama tahun berikutnya satu pun tak melintas. Tiga jenis raptor dominan yakni Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhyncus/Oriental Honey-buzzard), Elang-alap Cina (Accipiter soloensis/Chinese Sparrowhawk), Elang-alap Jepang (Accipiter gularis/Japanese Sparrowhawk).

Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhyncus/Oriental Honey-buzzard) salah satu jenis burung migran yang paling banyak dan sering melewati Gunung Sega, Karangasem, Bali. Foto : Santi Tyas/Mongabay Indonesia
info gambar

Saifusin berkisah, lokasi pengamatan Gunung Sega diketahui dari seorang peneliti asing bernama Fransisco yang melakukan penelitian jalur migrasi di Bali. Saat itu yang teramati jumlahnya fantastik 3000-5000 ekor selama musim migrasi.

Karena penasaran, ia janjian dengan pengamat burung itu. Sejak menekuni pengamatan burung pada 2009, ia mengaku belum pernah bisa melihat burung di udara dalam jarak dekat. “Ternyata benar, elang sejajar pinggang, pernah 7-10 meter jarak terdekat,” serunya. Ada yang bertengger di atas kepalanya seperti Alap-alap Cina namun saat itu belum ada kamera hanya bengong.

Sejak 2012, Saifudin dan pengamat lain baru mulai rutin ke Sega. Festival pengamatan pertama yakni Bali Bird of Prey Migration Watch Festival dihelat bersama Sewaka Elang, awal November puncak migrasi. “Hal yang langka, Elang Jawa terbang bersama burung-burung migrasi lain,” ingatnya. Raptor residen itu kerap siaga ketika akan ada melintas. Karena sifatnya teritorial, jika ada individu lain masuk, coba mengusir tapi kalah jumlah dengan Elang alap Cina yang lebih banyak lewat.

Cerita-cerita Saifudin inilah yang membawa berkunjung ke Gunung Sega. Bukit yang memang indah dengan hamparan sawah dan pemukiman penduduk di lereng dan kakinya, megahnya bukit Lempuyang, dan panorama Gunung Agung.

Menurut Udin, lokasi ini berpotensi sebagai ekowisata birdwatching, fotografi, ekowisata berbasis migrasi burung pemangsa, dan sarana pendidikan.

Elang-alap Jepang (Accipiter gularis/Japanese Sparrowhawk). Foto: Khaleb Yordan/Mongabay Indonesia
info gambar

Populasi raptor terbanyak diperkirakan melalui jalur migrasi pintu masuk utama Bali Barat. Namun, cuaca dan posisi yang terlalu jauh dari kawanan burung ini menyulitkan pemantauan. Sementara di Gunung Sega, titiknya tinggi. Para raptor memanfaatkan thermal untuk naik dan hembusan angin untuk membantu terbang melewati selat Lombok. Sementara arus balik lebih sulit memantau, burung migrasi ini bisa dijumpai di Bali Barat seperti Pulau Menjangan.

Udin berharap area migrasi ini dilestarikan sebagai daerah penyangga. Selain ekowisata juga diharap mendorong edukasi perlindungan pemangsa tak boleh diperjualbelikan, ditangkap, juga untuk rekreasi.

Frank Williams Museum Patung Burung Unud bekerja sama dengan Minpro Rothschildi FKH Unud, Bird Study Club Curik Bali Prodi Biologi FMIPA Unud, KPB Kokokan dan SAB Wildlife Photographer Community menyelenggarakan Festival Pengamatan Migrasi Burung Pemangsa pada Oktober 2018.

Pada festival ini, terdapat 2 kegiatan yang dilakukan yaitu on site migration watch yang dilaksanakan di Gunung Sega pada 14 Oktober 2018 serta seminar ‘Sang Garuda di Pulau Dewata” 27 Oktober 2018 di kampus Unud.

On site migration watch di Gunung Sega diikuti oleh 60 peserta dari civitas akademik Unud dan berbagai unsur masyarakat umum. Peserta mengamati 3 jenis burung pemangsa yang terbang melintas di atas Gunung Sega dari arah Gunung Agung yaitu Chinese Sparrowhawk, Oriental Honey Buzzard, dan Japanese Sparrowhawk. Dari jam 8.00-14.00, tercatat 2.064 individu yang terbang melintas.

Rombongan burung migran yang menempuh ribuan kilometer setiap tahun. Foto: Jussi Mononen/WorldMigratoryBirdDay.org
info gambar

Ketua Unit Museum Patung Burung Unud Luh Putu Eswaryanti Kusuma Yuni mengatakan Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa merupakan salah satu wilayah transit dan tujuan bagi berbagai burung migran.

Burung pemangsa melalui Indonesia, termasuk Pulau Bali, dari dua jalur koridor yaitu Eastern Inland Corridor/East Asian Continental Flyway dan Pasific Corridor/East Asian Oceanic Flyway. Gunung Sega Karangasem merupakan tempat yang strategis untuk mengamati migrasi burung pemangsa karena merupakan bottleneck dari jalur migrasi tersebut.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini