Divercity: Mengulik Potensi Kampung Wisata di Bandung

Divercity: Mengulik Potensi Kampung Wisata di Bandung
info gambar utama

Apa yang ada di benak Kawan GNFI kalau mendengar kata “kampung”? Sebuah pemukiman di area persawahan? Akses jalan yang sulit? Fasilitas yang terbatas? Atau udara yang segar mungkin?

Dari kata “kampung”, ada makna konotasi negatif dan positif sekaligus. Kampung kerap dianggap sebagai tempat tinggal warga lanjut usia, dengan jumlah muda-mudi yang sangat terbatas. Persoalan itu acapkali membuat kampung sulit berkembang, walau dibekali sumber daya alam dan keunikan hayati yang melimpah.

Berawal dari persoalan itu, rekan-rekan komunitas di Bandung Creative City Forum dan The Local Enablers berinisiatif mengadakan kegiatan bernama Design Action. Bertempat di Pendopo Kota Bandung, acara Design Action yang ke-6 ini mengangkat tema “Divercity”.

Peserta acara Divercity | Dok. GNFI
info gambar

“Yang ingin kita angkat adalah keberagaman. Perbedaan-perbedaan itu kita mau ubah sudut pandangnya. Jadi potensi wisata di Bandung bukan cuma Ciwalk, Alun-alun Bandung, tapi di dalamnya juga masih ada warga yang menjaga warisan budaya,” terang Haris Setiawan, panitia Design Action 2018.

Lebih lanjut, Haris juga memberi contoh seperti di Gegerkalong. Suatu kawasan di Bandung itu ternyata memiliki sebuah kampung yang masih menjaga warisan budayanya. Namun karena akses masuknya cukup jauh sampai ke dalam, tidak banyak yang mengetahuinya.

“Termasuk kampung yang sudah tematik tapi tidak jalan seperti Kampung Akustik, itu juga kita berempati kenapa bisa seperti itu,” imbuhnya.

Salah satu bentuk maket, dari Kelompok 16 | Dok. GNFI
info gambar

Apa sih Design Thinking itu?

Untuk memberdayakan sebuah kampung menjadi Kampung Wisata, peserta Divercity diharuskan berkemampuan design thinking. Kawan GNFI, tahukah kamu apa itu design thinking?

Masih di kesempatan yang sama, Haris menjelaskan konsep design thinking yang dipakai di acara Divercity. Diawali dengan observasi untuk mencari cerita (bukan mencari data), peserta mengulik informasi sampai ditemukan pola tersembunyi yang menjadi pondasi design thinking.

“Jadi mereka dikumpulkan di satu tempat, kemudian dibebaskan. Mereka nyebar, ngobrol sama warga, tukang warung, sampai akhirnya ketemu polanya kehidupan di kampung itu kayak gimana.”

“Nah setelah pulang baru dipanen ide-idenya pake tools seperti customer journey, context map, sampai akhirnya ketemu problem statement-nya setelah dipetakan itu. Akhirnya masuk di tahap ideasi itu tahap ketiga, dan mereka keluarin semua idenya,” ungkap Haris.

Untuk mengeluarkan ide juga ada caranya tersendiri agar terstruktur. Contohnya dengan menuliskan di kertas Post-it kemudian ditempel, dan dikerucutkan jadi satu ide utama. Ide tersebut kemudian divisualisasikan dalam bentuk maket atau permainan peran di acara yang berlangsung pada 14-15 November tersebut.

Kelompok 11, pemenang maket terbaik | Dok. GNFI
info gambar

Ini dia juaranya maket terbaik!

Setelah ide utama ditentukan, langkah berikutnya adalah memetakan ide tersebut dalam bentuk maket atau permainan peran. Di Divercity, Kelompok 11 yang mengeksplorasi ide kawasan Linggawastu terpilih sebagai pemenang di desain maket terbaik.

Dalam penuturannya, Argin yang mewakili Kelompok 11 menjelaskan konsep Kampung Wisata yang akan dibangun di Linggawastu.

“Linggawastu ini sebuah kampung yang memiliki tekstur jalan berkelok-kelok. Jadi dengan potensi berkelok-kelok tadi, kita punya ide untuk membuat kampung atau tempat yang bisa dijadikan labirin para (generasi) milenial.” tuturnya.

Argin menambahkan, konsep wisata labirin belum ada di Bandung. Jadi nantinya tempat yang dinamakan Lost in Linggawastu ini menjadi wisata labirin pertama di Bandung, yang ada permainan di dalamnya.

Permainannya berupa mencari jalan keluar dari labirin. Sesuai dengan desain maket, pengunjung akan masuk di garis start, dan berlomba dengan pengunjung lain untuk menyentuh garis finis. Pemenang lomba labirin ini akan mendapat hadiah dari perusahaan transportasi daring.

“Kenapa ojek online, karena kita ingin menggandeng mereka sebagai mitra. Pengunjung yang datang ke labirin tidak bisa membawa kendaraan karena tempatnya tidak memadai untuk parkir,” ucap Argin.

Bobby selaku perwakilan lain dari Kelompok 11 menambahkan, konsep Lost in Linggawastu ini juga berdasarkan generasi milenial yang lebih menggemari wisata bertema petualangan.

Dengan adanya Labirin Linggawastu, diharapkan bisa menyedot banyak pengunjung karena tidak perlu jauh-jauh mencari wisata labirin. Di Bandung pun ada, dan kawasan ini masih menyimpan banyak kearifan lokal.

Dok. GNFI
info gambar

***

Sekitar 200 peserta berpartisipasi di acara Divercity. Dengan latar belakang yang beragam mulai dari wirausahawan, mahasiswa, desainer, pegawai kecamatan, hingga siswa SMA dan penggiat difabilitas, mereka berkolaborasi untuk membuat konsep memajukan pariwisata kampung-kampung di Bandung.

Muara dari acara ini adalah kemitraan dengan dinas terkait, yang bertujuan tidak hanya dalam hal anggaran saja, tapi juga untuk memperluas dampak.

Acara di tahun 2018 ini merupakan rangkaian acara rutin sejak enam tahun lalu, dengan tema-tema yang berbeda di tiap pagelaran. Pada tahun 2017 tema yang diangkat adalah Serendicity (didapat dari kata serendipity), dan di tahun sebelumnya mengangkat tema Connecticity.

Semoga dengan adanya kegiatan ini bisa semakin menambah ide-ide kreatif untuk pembangunan daerah, ya…

Maju terus, Indonesia!


Sumber: Dokumentasi GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini