Mengenalnya, Si Pencetus Konsep Republik Indonesia

Mengenalnya, Si Pencetus Konsep Republik Indonesia
info gambar utama

Ialah Tan Malaka. Salah satu tokoh besar yang memiliki jasa mendalam bagi bangsa ini. Beliau bisa dikatakan merupakan orang yang pertama kali berjuang menentang antikolonialisme di Hindia Belanda, bahkan sebelum Soekarno dan Hatta. Menariknya, beliau juga lah yang menjadi orang pertama dalam mencetuskan konsep “Negara Indonesia” melalui bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925).

Buku tersebut yang kemudian menginspirasi Soekarno, Hatta, juga Sjahrir dkk untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sementara, seperti yang tertulis dalam Zenius, di tempat lain ada Tan Malaka yang berjuang “sendiri” untuk memerdekaan Indonesia melalui caranya sendiri. Mulai dari menulis buku, membentuk kesatuan massa, berbicara dalam kongres internasional, ikut bertempur di lapangan melawan Belanda secara langsung, hingga turut berani keluar-masuk penjara berkali-kali demi memperjuangkan bangsa ini.

Malangnya, ia justru ditembak mati oleh tentara Republik yang didirikannya tepat pada tahun 1949 di Kediri. Bahkan sampai hari ini jenazahnya belum dapat dipastikan keberadaannya. Kendati begitu, Presiden Soekarno telah mengangkat namanya menjadi salah seorang Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963.

Memiliki nama panjang Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka, ia bahkan dianggap oleh sebagian orang sebagai The True Founding Father of Indonesia.

Tan Malaka | Sumber dok: Youtube
info gambar

Mulanya ia dikenal sebagai seorang pemuda desa di Pandan Gadang, Suliki (sekarang Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat). Seperti pemuda asal Minangkabau pada umumnya, ia tinggal di surau sejak usai lima tahun dan mempelajari ilmu agama juga beladiri Pencak Silat.

Saat berusia 11 tahun ia mendaftarkan diri ke Kweekschool yakni sekolah calon guru di daerah Kota Bukit Tinggi. Di sana ia diketahui menggemari Bahasa Belanda bahkan ia pun mendapat tawaran untuk menjadi guru Bahasa Belanda.

Singkat cerita, setelah lima tahun mengenyam pendidikan di Kweekschool, orang-orang di desa menganggapnya sebagai sebuah aset kampung yang harus didukung keberadaannya. Oleh sebab itu tak heran jika di desanya, kalangan engku (kakek) membantu mengumpulkan uang guna menjadi bekal Ibrahim agar bisa melanjutkan studi ke Negeri Belanda.

Tak berapa lama, ia akhirnya berhasil diterima di Sekolah Kejuruan Guru Kerajaan/Negeri di Kota Haarlem, Belanda. Di sanalah Ibrahim belajar banyak soal filsafat ekonomi dan sosial.

Dibarengi dengan arus perkembangan ekonomi dan sosial di Eropa yang pada akhirnya membakar semangat Ibrahim untuk terus belajar meski situasi keamanan di sana sedang rawan sebab hadirnya Perang Dunia I.

Kondisi yang serupa juga membuat Ibrahim, yang telah dikenal sebagai Tan Malaka, semakin penasaran dengan berbagai hal salah satunya terhadap gagasan komunisme. Tan Malaka pun melahap habis buku Karl Marx, Friedrich Engles, Vladimir Lenin, dll yang mampu menawarkan kesetaraan hak ekonomi bagi masyarakat. Lambat laun, ideologi Tan Malaka terarah pada ideologi sosialisme dan komunisme.

Setelah menyelesaikan studi di Belanda, Tan Malaka menjadi seorang guru Bahasa Melayu bagi anak-anak buruh di perkebunan teh dan tembakau di Sanembah, Sumatera Utara. Pengalaman mengajar ini yang menjadi inspirasi utama Tan Malaka untuk memperjuangkan hak rakyat untuk lepas dari jarahan kolonialisme Belanda.

Berbekal semangat untuk membela kaumnya, Tan Malaka memutuskan bergabung dengan organisasi ISDV yang merupakan organisasi bentukan para anggota partai buruh di negeri Belanda tahun 1914 yang bermukim di Hindia Belanda. Seiring berjalannya waktu, Tan Malaka yang benar-benar geram melihat penderitaan para buruh, memutuskan untuk pindah ke jawa. Di Jawa, tepatnya di Semarang, Tan Malaka dipercaya merintis Sekolah Rakjat untuk kemudian menjadi guru sekaligus kepala sekolah di Semarang.

Di sisi lain, Tan Malaka juga memiliki kesempatan untuk menjadi pimpinan di PKH. Gaya pimpinannya pun mengambil jalur radikal yang tidak peduli terhadap penilaian Belanda. Melalui hal tersebut Tan Malaka berhasil mengambil kepercayaan masyarakat dalam rangka membantu melawan penindasan terhadap para pekerja.

Lambat laun, setelah melalui banyak cerita juga perjalanan, Tan Malaka melihat sendiri bagaimana bangsanya menyambut kemerdekaan Indonesia dengan semangat yang membara. Namun, Tan Malaka justru melihat pergerakan pemimpin negara layaknya Bung Karno, Bung Hatta, dan Sjahrir cenderung disetir oleh Barat. Untuk itu Tan Malaka berpendapat bahwa kemerdekaan yang sudah diraih sepenuhnya tidak perlu lagi dilakukan perundingan apapun sebab nanti isi perjanjian yang ada justru merugikan bangsa ini di kemudian hari.

Kemudian, setelah memenangkan peperangan di Surabaya pada Desember 1945, Tan Malaka kembali berjuang di Purwokerto dengan menyusun strategi perlawanan total terhadap para penjajah Barat yang akhirnya menjadi sebuah perkumpulan yakni Persatuan Perjuangan.

Ironisnya, pendirian kelompok yang memiliki tujuan untuk mempertahankan kemerdekaan inilah yang nantinya membuat Tan Malaka terbunuh oleh tentara Indonesia. Walau mendapat banyak dukungan dari rakyat, akan tetapi kepentingan para elit politik di Jakarta justru mengintervensi “perjuangan lapangan” yang dilakukan Tan Malaka.

Di puncak perjuangan Tan Malaka, tepatnya di pertengahan tahun 1946 para pemimpin PP ditangkap oleh pemerintahan Sutan Sjahrir karena dianggap pembangkang yang tidak nurut dengan pemerintah pusat. Namun jasa dan perjuangannya tetap abadi sepanjang masa.


Sumber: Zenius

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini