Inovasi Anak Bangsa yang Mampu Olah Limbah Minyak Goreng, Bagaimana Caranya?

Inovasi Anak Bangsa yang Mampu Olah Limbah Minyak Goreng, Bagaimana Caranya?
info gambar utama

Kawan GNFI mungkin sedikit bergidik, tatkala mendengar limbah minyak goreng, yang rupanya juga bisa diolah untuk sesuatu yang bermanfaat. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa sisa minyak goreng atau yang akrab dikenal jelantah, merupakan limbah yang seringkali dibuang begitu saja.

Ialah sekelompok anak muda, yang menamakan diri sebagai GenOil, yang rupanya memiliki langkah jitu untuk menjadikan jelantah sebagai bagian dari energi terbarukan.

Di tahun 2014, kelompok anak muda ini melakukan riset mengenai limbah minyak goreng di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam riset tersebut mereka menemukan 300.000 rumah tangga yang menggunakan minimal 250 ml minyak perharinya. Limbah minyak goreng itu kemudian mengendap di saluran air, got, dan masuk ke tanah.

Diketahui bahwa minyak jelantah merupakan persoalan kompleks dan acap kali tak diperhatikan warga. Di banyak tempat layaknya restoran cepat saji, minyak jelantah dicampur bersama bahan kimia agar beku hingga mudah dibuang. Di tempat pembuangan akhir, minyak beku seringkali terkena paparan sinar matahari dan mencair.

View this post on Instagram

A post shared by CV. Garuda Energi Nusantara (@genoil) on

Disebutkan pula oleh GenOil melalui Mongabay bahwa potensi pencemaran lingkungan dan kesehatan dalam mengkonsumsi minyak tak sehat, jika ditambahkan dengan penggunaan 111 hotel maka akan semakin mencengangkan. Untuk sarapan, hotel menghasilkan 20 liter minyak bekas perhari, belum lagi jika ditambah dengan pabrik mie dan restoran, yang estimasinya mampu mencapai 17 ton minyak setiap hari.

Berton-ton jelantah berubah menjadi minyak goreng curah yang bercampur dengan H2O2 (Hydrogen Peroxida) yang kemudian membuat minyak kotor dapat menjadi pucat. H2O2 merupakan racun, yang rupanya bisa digunakan untuk menjadi bahan bakar roket cair.

Salah satu penggiatnya ialah Hilmy, seorang mahasiswa antropologi Universitas Negeri Makassar. Ia merupakan pengagum ilmu pengetahuan dan dunia penelitian sejak SMA yang bercita-cita membuat energi terbarukan.

Bersama rekannya, Ahmad Sahwawi, ia menyisipkan uang jajan untuk membeli perlengkapan, mengakses jaringan internet di warung internet, mengevaluasi dan mengkaji hingga larut malam. Keduanya kemudian membuat Kelompok Remaja Ilmiah (KIR), namun sayangnya tidak pernah mendapat pengakuan. Tak patah arang, KIR kemudian merekrut banyak anggota yang kurang lebih berjumlah 20 orang dengan jaringan lintas sekolah.

Mereka pun membuat puluhan prototip roket bahkan yang mampu terbang mencapai 10 km. Penelitian lain turut mereka garap layaknya pembangkit listrik air, bioethanol, bahan bakar air, sistem aliran irigasi, peningkatan mutu tanah empang untuk budidaya ikan, dan udang hingga bioedesel.

Tak kenal lelah, mereka terus melakukan percobaan dengan berbagai kegagalan, namun juga akhirnya berhasil. Mimpi itu kemudian berlanjut hingga mereka membangun CV IAR Jaya Persada, yang tahun 2013 mulai memasukkan penawaran tender ke Pemerintah Pangkep mengenai perlakuan ramah lingkungan dalam budidaya perikanan. Perusahaan ini fokus memproduksi prebiotik, yang kemudian mendapat keuntungan 100 juta.

Uang itu mengendap di rekening dan mereka tabung untuk membuat usaha di Makassar. Sampai akhirnya mereka bertemu dengan Achmad Fauzi Ashari dari Universitas Hasanuddin melalui Organisasi Himpunan Pengusaha Muda Perguruan Tinggi yang mereka ikuti.

Krisis energi yang terjadi membuat mereka terpaksa memutar kepala untuk kemudian memberi solusi. Dengan suntikan modal Rp 3,5 juta, ketiganya mengumpulkan jelantah 30 liter per hari dari penjual gorengan pinggir jalan, yang kemudian diketahui dari 30 liter jelantah tersebut mampu menghasilkan 30 liter bioedesel.

Cara kerjanya pun bisa dibilang cukup sederhana, singkatnya, jelantah disaring kasar. Kemudian disaring kembali hingga menjadi sangat halus melalui pompa. Lalu untuk menguji tingkat keasaman jelantah itu akan ditampung dan dipanaskan dalam reaktor.

Kemudian minyak tersebut dipindahkan pada separator yang mampu menghasilkan endapatan biodesel (90%) dan gliserol (10%), yang selanjutnya diumpan ke evaporator untuk menghilangkan zat pengotor dan menstabilkan Ph. Selanjutnya biodesel siap ditampung dan dipakai pada mesin diesel.

Melalui hal tersebut, mereka kemudian mematangkan niat membangun perusahaan stabil yang kemudian terbentuklah GenOil.

Tepat Maret 2015, perusahaan itu berdiri dengan kantor pinjaman di Perumahan Departemen Agama Daya, Makassar. Kapasitas produksi pabrik 2000 liter perhari namun realisasi awal hanya 500 liter, dengan mesin bangun mandiri.

Masalah baru kemudian muncul, di mana harga minyak kala itu jatuh. GenOil kelimpungan. Diketahui di Kawasan Industri Makassar (Kima), estimasi penggunaan minyak diesel mencapai 1 juta liter per hari sedangkan GenOil hanya mampu 500 liter per hari, yang artinya hanyalah setetes dari kebutuhan.

Hal itu yang kemudian membuat GenOil memutar arah bisnis menuju kewirausahaan sosial. Riset mereka kemudian menemukan terdapat keperluan mendasar nelayan yang tidak pernah kelar mengenai kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).

Di Pelabuhan Paotere, solar diketahui seharga Rp 10.000 per liter. Namun GenOil datang dengan membawa Rp 5.500 per liter. Hal tersebut sontak membuat para nelayan tak percaya. Sebagai pemain baru, GenOil masuk sebagai teman yang hadir memberikan solusi mengenai bahan bakar yang minim kuantiti.

GenOil kemudian dapat melihat peluang dan berupaya meyakinkan nelayan tentang keamanan biodesel. Sebab bagi nelayan bahan bakar yang berubah warna saja bisa menjadi persoalan. Selama ini, katanya, solar subsidi dari pemerintah berwarna kuning agak kebiru-biruan sedangkan produk GenOil kuning murni.

Data BPS Indonesia 2003 – 2013 pun menyebut bahwa ada 1,6 juta nelayan yang berkurang hingga 50%. GenOil menganggap alih nelayan itu karena akses bahan bakar yang terbatas. Jika tidak bisa ditangani dengan baik, maka di masa mendatang nelayan Indonesia bahkan bisa hilang.

Diketahui bahwa selain ramah lingkungan, biodiesel juga merupakan bahan bakar hemat biaya. Jika solar satu liter hanya mampu menjangkau jarak 800 meter maka biodesel dicampur solar mampu menjangkau satu km perliternya. Bahkan jika mengenakan biodiesel penuh satu liter mampu mencapai jarak lebih dari satu km.

Kini, GenOil sudah mampu produksi 1.300 liter perhari biodiesel. Nilai aset perusahaan sudah Rp 1,3 miliar dan omzet Rp 300 juta perbulan.

Bangga dan tercengang ya dengan inovasi tersebut.

Semoga ke depannya akan semakin banyak pembaruan dan perubahan yang baik untuk negeri ini.

Maju terus Anak Bangsa!


Sumber: Mongabay

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini