Inilah Solusi Pertanian Berkelanjutan

Inilah Solusi Pertanian Berkelanjutan
info gambar utama

Pertanian organik kini mulai dikenal luas masyarakat seiring dengan adanya tren hidup sehat. Banyak pelaku pertanian organik bermunculan seiring dengan pangsa pasar yang semakin terbuka. Tidak hanya karena bernilai ekonomis tinggi, pertanian organik penting untuk perbaikan ekosistem pertanian yang kian rusak terpapar bahan sintetik atau kimiawi seperti pestisida.

Guru Besar Perlindungan Hama dan Penyakit Tanaman Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Sylvia Sjam menyatakan perlunya mempromosikan pertanian organik ini sebagai sebuah solusi pertanian berkelanjutan, khususnya pada petani.

“Harus diajarkan bahwa penanganan hama dan penyakit tidak hanya melalu pestisida sintetik, begitu pun dengan pupuk yang bisa disiapkan sendiri, yang lebih murah dan terjangkau, sekaligus sehat bagi ekosistem pertanian,” ungkap Sylvia dalam sebuah diskusi di Unhas, Makassar, Jumat (23/11/2018).

Menurut Sylvia, tanaman yang dikelola secara organik biasanya lebih tahan hama penyakit. Hal itu terkait dengan kesuburan tanaman yang tumbuh di tanah yang sehat.

“Kalau tanah subur maka tanaman akan jauh lebih bagus tumbuhnya. Tanaman lebih akan tahan hama. Kalau tanah itu menjadi subur karena penambahan bahan organik, kita asumsikan tanaman di atasnya akan mendapat unsur hara yang lebih bagus,” tambahnya.

Sebaliknya, jika tanah mengandung banyak bahan sintetik maka mikroorganisme dalam tanah tidak berkembang. Padahal mikroorganisme berfungsi penting menjaga keseimbangan ekosistem.

“(Mikroorganisme) bisa sebagai biodekomporser. Ada juga yang sifatnya antagonis bisa mengendalikan penyakit, tetapi tak bisa berkembang karena penggunaan bahan kimia,” jelasnya.

Guru Besar Perlindungan Hama dan Penyakit Tanaman Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Sylvia Sjam menyatakan perlunya melakukan edukasi pada petani dalam mempromosikan pertanian organik sebagai sebuah solusi pertanian berkelanjutan. Foto : Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia
info gambar

Sylvia mencontohkan penggunaan pupuk urea yang cukup tinggi untuk pertanian padi dan sayur-sayuran, justru berdampak menurunkan kualitas tanah dan membunuh mikroorganisme tanah.

“Penggunaan urea dengan kandungan nitrogen bukannya tak dibolehkan, namun harus sesuai aturan standar. Hanya memang dalam aturan organik memang tidak bisa menggunakan pupuk sintetik seperti urea ini.”

Menurut Sylvia, untuk mengubah lahan konvensional menjadi lahan organik butuh kesabaran. Bisa setahun, meski ada juga yang mengatakan bisa 6 bulan. Semuanya akan tergantung pada sejarah lahan, apakah pernah terpapar pupuk sintetik dan pestisida atau herbisida dalam skala besar. Jika ekosistemnya sudah rusak maka harus diperbaiki terlebih dahulu.

“Kalau (lahan) tidak terlalu parah, bisa cepat recovery-nya. Sepanjang kita berhenti dan terus mengobati lahannya dengan diberi pupuk organik yang cukup. Pola tanam juga harus diperbaiki. Makanya pola tanam tumpang sari sangat disarankan. Harus juga dipikirkan bagaimana tanaman mendapatkan nitrogen secara alami dari udara.”

Prof. Dr. Sylvia Sjam juga memiliki lahan pertanian yang dikelola secara organik dengan brand Presko Organic. Usaha ini menjadi penerapan keilmuannya, dan upaya edukasi dalam mengubah mindset masyarakat tentang pertanian organik. Foto : Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia
info gambar

Bertani organik juga membutuhkan totalitas dan konsistensi, sekali menyatakan organik maka tak boleh lagi menggunakan bahan-bahan kimiawi meski itu dalam skala kecil.

“Ketika kita memutuskan untuk berorganik maka harus ada totalitas, dalam artian semua penggunaan bahan kimiawi harus dihentikan. Tidak boleh sekarang organik lalu musim selanjutnya kembali ke pupuk sintetik. Butuh kesabaran yang tinggi. Pupuk organik harus selalu diberikan selama beberapa musim. Tantangannya kemudian maukah kita bercapek-capek dahulu, bersenang-senang kemudian?”

Dalam kenyataannya, sebagian besar petani ingin serba instan, padahal dalam berorganik butuh proses yang tak mudah. Misalnya harus menyediakan pupuk organik yang banyak. Meski bisa dibeli, membuat pupuk organik sendiri jauh lebih baik karena petani bisa menjamin keaslian pupuk yang dihasilkan.

“Makanya yang harus didorong adanya in situ untuk pembuatan pupuk organik di tingkat petani. Harus in situ juga agar tidak lagi capek-capek mengangkut pupuk ke lahan.”

Menurut Sylvia, untuk mendorong gerakan pertanian organik ini butuh dukungan dari pemerintah. Salah satunya pemberian bantuan peralatan mesin pencacah tanaman untuk bahan pembuatan kompos. Selain itu, pemerintah bisa menetapkan satu atau daerah sebagai sentra penghasil produk organik.

“Kita bisa lihat contohnya di Bali yang mengeluarkan Perda bahwa Bali itu harus keluar produk organik. Mungkin mereka bikin Perda karena konsumennya banyak dari luar yang senang produk organik. Mereka difasilitasi pemerintah untuk diberi sertifikasi pada petani-petani agar produknya organik.”

Petani Bali dengan padi lokal dan menerapkan pertanian organik. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Lanjut dikatakan Sylvia bahwa pertanian organik ini bisa juga diterapkan untuk tanaman keras dan jangka panjang, seperti kakao. Tidak hanya untuk produk sayur-sayuran, seperti yang banyak dilakukan selama ini.

“Sekarang kan ada pasar untuk kakao organik seperti Jepang, yang sangat ketat mengatur tentang hal ini.”

Untuk mewujudkan hal ini maka perlu pendampingan intens ke petani-petani agar tidak lagi tergantung pada pupuk dan pestisida sintetik.

“Kepada petani diajarkan kalau tidak perlu dipakai pestisida ya tak usah digunakan. Ini butuh ada pendampingan sinergi petani, swasta dan pemerintah. Petani juga bisa melakukan diversifikasi tanaman.”

Tingginya serangan hama di pertanian kakao karena penekan biotiknya yang tak ada, pola tanam dan cara penanganan yang keliru. Dicontohkan ketika petani melihat hama maka pikirannya harus disemprot yang malah kemudian juga membunuh predator.

“Kalau musuh alami mati maka tak ada penekan hama ini. Kalau kita menanam yang sama sepanjang tahun maka makanan akan tersedia terus menerus, inangnya banyak, padahal harus diputus siklus yang sama. Bisa dengan menggunakan varietas yang sama.”

Sylvia juga menyoroti pentingnya manajemen ekosistem dalam pertanian. Dalam hal ini ekosistem diatur sedemikian rupa sehingga kalau pun ada hama maka tidak akan pernah berada dalam populasi yang bisa menimbulkan kerugian ekonomi.

“Makanya saya bilang kalau kakao orang bilang pengendalian hama pada kakao. Tidak seperti itu. Pikirannya ada hama, baru dikendalikan. Yang bisa kita lakukan adalah manajemen ekosistem sebagai cara meredam serangan hama pada tanaman kakao. Itu sudah kami buktikan. Bagaimana pemakaian pupuk, mulsa, pengaturan naungan ada tanaman lain selain kakao, rumput tidak dibersihkan menggunakan herbisida, tetapi digunakan sebagai bahan organik pupuk. Termasuk membuat lubang rorak di kebun.”

Pertanian organik warga Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, yang mengandalkan sumber mata air dan sungai untuk pertanian dan perkebunan mereka. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia
info gambar

Selain sebagai akademisi, Sylvia juga memiliki lahan pertanian yang dikelola secara organik dengan brand PreskoOrganic. Usaha ini sekaligus menjadi sarana pembelajaran penerapan keilmuannya, serta upaya edukasi dalam mengubah mindset masyarakat.

“Saya senang orang-orang sudah bicara organik, pelakunya sudah banyak, setidaknya sudah banyak usaha dengan klaim organik.”

Menjalankan usaha organik ini dilalui Sylvia sejak 10 tahun lalu dengan banyak tantangan. Masih banyak pihak yang pesimis, bahkan itu dari kalangan akademisi sendiri.

Terkait masa depan bisnis budidaya tanaman secara organik ini Sylvia melihatnya memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan, meski dikelola dengan lahan yang terbatas.

“Prospek secara ekonomi sangat menguntungkan karena ada perbedaan harga. Apalagi jika biaya pemenuhan pupuk organik bisa dipangkas melalui pembuatan pupuk sendiri memanfaatkan limbah-limbah yang ada di sekitar. Tak butuh lahan yang luas, apalagi untuk sayur-sayuran, karena kita cukup atur jadwal tanam saja. Ditanam secara bergiliran. Pemasaran juga lebih mudah karena bisa dilakukan melalui pemasaran online, seperti Facebook dan Instagram.”


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini