Seperti Apa Rencana Aksi Nasional untuk Penyelamatan Duyung dan Lamun?

Seperti Apa Rencana Aksi Nasional untuk Penyelamatan Duyung dan Lamun?
info gambar utama

Upaya penyelamatan mamalia laut Duyung (Dugong dugon), memasuki babak baru menjelang berakhirnya 2018. Hewan laut tersebut, kini resmi masuk dalam rencana aksi nasional (RAN) yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan RAN, penyelamatan Duyung dari ancaman kepunahan bisa semakin intensif dilakukan oleh banyak pihak.

Demikian dikatakan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi saat membuka Simposiun Duyung dan Lamun II di Jakarta, Rabu (21/11/2018). Menurut dia, keberadaan Duyung di perairan Indonesia memerlukan perhatian semua orang, karena populasinya dari waktu ke waktu juga semakin menurun.

“Saat ini, jumlahnya (diperkirakan) tidak lebih dari 1.000 individu saja,” ungkapnya.

Berkaitan dengan RAN, Brahmantya mengatakan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan Keputusan Menteri KP RI No.79/Kepmen-KP/2018 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Mamalia Laut Tahun 2018 – 2022. Di dalam RAN, dijabarkan tentang rencana aksi selama lima tahun mendatang untuk penyelamatan Duyung.

Dengan RAN, nantinya pengelolaan konservasi mamalia laut, termasuk duyung dan habitatnya akan merujuk pada dokumen yang ada di dalam RAN. Rujukan itu akan dipakai oleh Pemerintah dan juga pihak lain yang ikut terlibat dalam upaya penyelamatan, termasuk lembaga nirlaba dan juga instansi swasta yang ada di dalam dan luar negeri.

Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi saat membuka Simposiun Duyung dan Lamun II di Jakarta, Rabu (21/11/2018) mengatakan KKP telah mengeluarkan RAN Konservasi Mamalia Laut termasuk penyelamatan duyung dan padang lamun | Foto: Humas KKP/Mongabay Indonesia
info gambar

Untuk menjabarkan isi dalam RAN, Brahmantya mengungkapkan, bantuan dari pihak lain memang sangat diperlukan. Selain dari lembaga nirlaba dan instansi swasta serta perseorangan, pemerintah daerah di seluruh Indonesia harus terlibat dalam penyelamatan tersebut. Salah satunya, adalah dengan penyusunan rencana aksi daerah (RAD) yang menjadi turunan dari RAN.

“Dengan RAD, itu akan menjadi referensi bagi stakeholder di daerah dalam upaya perlindungan dan pelestarian Duyung,” jelasnya.

Langkah yang sudah ditempuh Pemerintah tersebut, menegaskan bahwa perhatian terhadap penyelamatan Duyung tidak main-main. Terlebih, sejak mamalia laut tersebut ditetapkan sebagai salah satu dari 20 spesies prioritas yang dilindungi dalam Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, baru sekarang RAN diterbitkan.

“Belum pernah ada sebelumnya, dan belum pernah diwujudkan sebelumnya dalam bentuk sebuah kebijakan nasional seperti saat ini,” ucapnya.

Riset dan Penyadartahuan

Selain dari sisi kebijakan, Brahmantya menyebutkan, upaya penyelamatan Duyung juga dilakukan dari fokus isu riset dan penyadartahuan tentang mamalia laut tersebut. Untuk tugas tersebut, lembaga yang dibentuk dan dijalankan bersama oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), WWF Indonesia dan Institut Pertanian Bogor (IPB), berperan sebagai pelaksananya. Lembaga tersebut, adalah Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP).

LIPI, WWF-Indonesia dan IPB, bekerjasama dalam lembaga bernama DSCP bersama KKP melakukan konservasi duyung dan padang lamun | Foto: Humas KKP/Mongabay Indonesia
info gambar

Menurut Brahmantya, pelaksanaan riset dan penyadartahuan menjadi poin penting untuk penyelamatan Duyung, karena hingga saat ini masih sangat sedikit riset ataupun penyadartahuan tentang mamalia laut itu. Untuk itu, RAN diharapkan bisa memandu upaya penyelamatan Duyung dengan berfokus pada riset dan penyadartahuan juga.

“Untuk upaya kedua tersebut, DSCP sudah melakukannya dengan baik dan itu dilanjutkan dengan pengambilan sampel dan proses penanganan Duyung terdampar, seperti yang terjadi di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah dan Pandeglang, Banten beberapa waktu lalu,” tuturnya.

Selain melaksanakan riset secara langsung, LIPI juga berhasil mengembangkan sistem database yang akan digunakan untuk pemetaan sebaran Duyung di Indonesia. Sistem tersebut, juga menjadi platform untuk pelaporan kejadian tentang Duyung, baik yang terdampar ataupun lainnya.

Terkait pemetaan, Senior Advisor WWF-Indonesia Wawan Ridwan mengatakan, sejak 2016 DSCP mengawal empat lokasi (site) di Kabupaten Bintan (Provinsi Kepulauan Riau), Kabupaten Tolitoli (Sulteng), Kabupaten Alor (Nusa Tenggara Timur), dan Kabupaten Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah). Keempat lokasi tersebut, secara bersamaan menjalankan pemetaan dengan melibatan masyarakat setempat secara aktif.

Pengembangan tersebut, menurut Wawan, menjadi bagian dari upaya penyelamatan Duyung dan Lamun di masing-masing site. Dengan melibatkan masyarakat, upaya penyelamatan juga akan berjalan semakin baik, karena mereka adalah stakeholder utama yang ada di pesisir dan langsung beraktivitas di atas laut.

“Semua upaya ini dilakukan tidak hanya semata-mata dalam rangka menyampaikan larangan-larangan terkait konservasi kepada masyarakat, akan tetapi juga menawarkan kompromi atau alternatif solusi yang bisa dilaksanakan,” ungkapnya.

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang mencari makan dengan mangaduk padang lamun di dasar perairan pesisir. Seorang penyelam mengabadikan momen itu. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia
info gambar

Tentang habitat lamun yang menjadi tempat satu-satunya bagi Duyung untuk mendapatkan makanan, baik Brahmantya atau Wawan juga sepakat bahwa penyelamatan harus sama-sama dilakukan. Terlebih, karena padang lamun saat ini semakin terdegradasi karena menjadi korban dari kemajuan dan pembangunan yang ada di kawasan pesisir.

“Lamun itu biasanya ada di perairan dangkal, karenanya itu sangat rentan dari kerusakan. Biasanya, karena jaring kapal ikan, atau terkena polusi dari bahan bakar minyak (BBM) kapal, dan atau juga karena ada faktor lain,” ucap Wawan.

Degradasi Lamun

Sementara, Brahmantya menyebutkan, penyebab utama terjadinya degradasi kawasan padang lamun, di antaranya adalah konversi lahan untuk permukiman, kegiatan industri, area pertambangan, dan area perikanan budidaya. Faktor-faktor tersebut, menjadi penyumbang utama kerusakan padang lamun di kawasan pesisir. Untuk itu, perlu kesadaran semua pihak tentang pentingnya menjaga lamun sebagai bagian dari konservasi Duyung.

“RAN menjadi panduan bagi siapapun di Indonesia saat akan melaksanakan aktivitas di kawasan pesisir,” tegasnya.

Diketahui, lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang tumbuh di dasar perairan pesisir. Biasanya, lamun dapat membentuk hamparan yang disebut padang lamun. Di Indonesia, lamun dikenal dengan sebutan berbeda di sejumlah daerah.

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang memakan lamun di perairan Filipina. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia
info gambar

Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Dirhamsyah menjelaskan, lamun adalah tumbuhan sejati yang memiliki daun, rimpang/ atang yang menjulur (rhizome), dan akar sejati, sedangkan rumput laut (seaweed) adalah ganggang (algae). Sebagai tumbuhan laut, lamun biasanya tumbuh terendam di dalam air laut yang bersubstrat pasir atau campuran pasir, lumpur, dan pecahan karang, sampai ke kedalaman air laut yang tidak lagi terkena penetrasi sinar matahari.

Di Indonesia, lamun umumnya tumbuh di daerah pasang surut dan sekitar pulau-pulau karang. Dan karenanya menjadi habitat penting dan sebagai tempat bagi biota laut mengasuh dan membesarkan anaknya, serta tempat mencari makan bagi ikan-ikan karang, seperti kakap dan satwa laut berukuran besar seperti penyu dan duyung.

Di Indonesia, terdapat 13 jenis lamun dari total 60 jenis lamun di seluruh dunia. Meski cukup banyak, namun DSCP mengingatkan bahwa lamun berpotensi bisa terkena penyakit diakibatkan air laut yang tercemar. Biasanya, itu dipengaruhi dari kesadaran warga pesisir untuk bisa menjaga laut dari pencemaran.

Padang lamun di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Lamun merupakan makanan dari duyung. Foto : DSCP Indonesia/Mongabay Indonesia
info gambar

Sementara, Ketua Yayasan Lamun Indonesia (Lamina) Aditya Hikmat Nugraha menjelaskan, Dugong adalah mamalia laut yang tubuhnya bisa mencapai antara 2,4 hingga 3 meter dengan rentang berat badan dari 230 hingga 908 kilogram. Dugong termasuk lambat dalam reproduksinya, karena memerlukan waktu 14 bulan kehamilan untuk mendapatkan satu anakan.

Biasanya, anakan Dugong akan disusui selama 14 bulan dan akan terus bersama induk betina hingga berusia 7 tahun. Setelah itu, anakan Dugong akan dilepas oleh induk untuk kawin. Selanjutnya, Dugong akan menjadi dewasa dan hidup mencapai rerata hingga 70 tahun.

Sebagai negeri kepulauan, Indonesia diuntungkan karena menjadi negeri habitat bagi Dugong. Dari barat di Aceh hingga timur di Papua, populasi Dugong dinyatakan ada. Ilmuwan spesialisasi laut, Mark Spalding pernah memaparkan bahwa populasi Dugong di Indonesia sebagian besar ada di Indonesia Timur, khususnya di perairan Arafura, Papua, perairan Nusa Tenggara (Lesser Sunda), Paparan Sunda, dan selat Makassar.

Keberadaan Dugong di alam sangatlah penting. Perannya sebagai pengendali ekosistem laut tidak bisa digantikan oleh biota laut lainnya. Sebagai pemakan lamun, Dugong biasa memakannya dengan cara mengaduk substrat yang ada di bawah pasir laut. Cara tersebut membantu siklus nutrien di alam dan menyuburkan tanah yang ada di bawah perairan.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini